Senin, 10 Juni 2013

Perempuan dan Surga yang Hilang

Perempuan dan Surga yang Hilang
Umbu TW Pariangu ;    Dosen Fisipol Universitas Nusa Cendana, Kupang
KOMPAS, 08 Juni 2013
 
 
Terseretnya beberapa perempuan dalam pusaran kasus suap impor daging sapi yang menimpa Ahmad Fathanah dan beberapa politisi PKS setidaknya menunjukkan citra perjuangan masa depan kaum hawa masih tersandung kerikil.

Sejatinya dalam diri perempuan tersimpan benih keperkasaan, ketangguhan, dan pantang menyerah. Ironisnya, sifat-sifat ”unggul” ini kerap dikapitalisasi untuk menghalalkan tujuan-tujuan yang bersifat melestarikan kuasa patriarkat.

Seiring gelombang feminisme, perempuan memang mulai memiliki kesempatan spiritual lebih baik untuk eksis di tengah dominasi pria. Selain berperan sebagai ibu yang sukses mengasuh anak atau merawat keluarga, juga tangguh sebagai penggiat organisasi, politisi, pekerja lintas profesi, seniman, budayawan, artis, bintang iklan, foto model, jurnalis, presenter, dan profesi terhormat lainnya (Lily Z Munir, 2008).

Namun, jumlah itu tetap masih minim dibandingkan dengan kesempatan yang direguk lawan jenisnya. Dalam derap politik, di telapak kaki perempuan masih belum tersimpan ”surga”.

Pasca-diberlakukannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No 2/2008 tentang Partai Politik yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam pencalonan politik untuk menduduki kursi parlemen, politik perempuan masih ditimpa kuasa patriarkat yang belum menghargai urgensi perempuan dalam kerja politik inklusif. Kuota 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan dipatuhi seadanya tanpa proses pengaderan yang bermutu.

Padahal, kekerasan domestik, kemiskinan, dan lemahnya akses perempuan terhadap pekerjaan dan pendidikan dapat diperjuangkan oleh kehadiran langsung perempuan di berbagai kamar pengambilan keputusan. Baik di tingkat di partai, legislatif, maupun di birokrasi pemerintahan.

Keberhasilan Puput Tantriana Sari yang memenangi kursi Bupati Probolinggo, Jawa Timur; Atty Suharti yang memenangi kursi Wali Kota Cimahi, Jawa Barat; Sri Surya Widati yang memenangi kursi Bupati Bantul; Anna Sophanah yang sebagai Bupati Indramayu, atau Widya Kandi sebagai Bupati Kendal tentunya adalah prestasi yang tak bisa dinafikan di arena politik.

Hanya saja, semringah kiprah perempuan di ranah politik ini tampaknya masih akan terancam tembok maskulinitas. Politisasi korupsi terhadap perempuan atau munculnya fenomena gratifikasi seks adalah tendensi yang menunjukkan perempuan kerap dijadikan komoditas dalam rezim politik kapitalisme.

Kualitas

Hipotesis feministik mencatat, kualitas pendidikan menjadi faktor yang menjebak perempuan dalam posisi tawar yang ringkih. Terlebih di tengah gelombang hedonisme massa yang meruyak.

Data Badan Pusat Statistik tahun 2009 masih memperlihatkan 75,69 persen perempuan usia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan tamat SMP ke bawah. Dari jumlah itu, mayoritas hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat SD, yakni sebanyak 30,70 persen. Bahkan, semakin tinggi tingkat pendidikan, persentase partisipasi pendidikan perempuan semakin rendah: SMA (18,59 persen), diploma (2,74 persen), dan universitas (3,02 persen).

Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hingga 2010, jumlah perempuan Indonesia yang belum melek huruf sekitar 5 juta lebih. Meski angka partisipasi sekolah perempuan meningkat dibandingkan pria, itu hanya pada tingkat pendidikan rendah.

Pendidikan yang rendah dan timpangnya kualitas pendidikan perempuan pada pendidikan tinggi menyebabkan daya saing kerja perempuan pun rendah. Sekitar 4,2 juta perempuan Indonesia (70 persen) dari total 6 juta tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor rumah tangga alias sebagai pekerja migran karena ekonomi sulit dan ketimpangan akses permodalan.

Paparan di atas kian mengungkung wanita pada lemahnya basis kesadaran kolektif sebagai kelas nomor dua di dalam struktur sosial. Sebaliknya, laki-laki dianggap sosok maskulin, penanggung jawab keluarga sekaligus pemimpin di masyarakat. Di Swiss, misalnya, 50 persen penduduk perempuannya dilarang memilih dalam pemilu (Huntington, 1991). Kenyataan yang masih terjadi di negara maju ini terkait dengan pandangan yang mewarisi filsafat Hegel dan Kant bahwa dalam diri perempuan tidak ada rasionalitas, selain tubuh, tenaga, dan jerih payah yang dieksploitasi.

Untuk Indonesia, mungkin bisa dilihat pada potret birokrasi. Di birokrasi Kementerian Pertahanan, pada 2012 ternyata birokrat masih didominasi laki-laki. Pejabat eselon I dari TNI tercatat 9 laki-laki dan 1 perempuan. Eselon II terdapat 60 laki-laki dan hanya 1 perempuan. Eselon III, laki-laki tetap mendominasi dengan 272 orang, sedangkan perempuan cuma 20 orang. Pada pegawai negeri sipil eselon I, laki-laki berjumlah 9 orang, sedangkan perempuan cuma 1. Di eselon II, ada 4 laki-laki dan 1 perempuan. Eselon III terdapat 7 laki-laki dan 15 perempuan.

Dilihat dari kepangkatan militer, ada 71 perwira tinggi laki-laki dan perempuan hanya 1. Perwira menengah 693 laki-laki dan 95 perempuan, sementara perwira pertama 114 laki-laki dan 26 perempuan. Jomplangnya proporsi jabatan pria dan perempuan ini karena jabatan militer dinilai kurang cocok untuk ciri fisik perempuan yang secara kodrati dianggap lemah.

Buka akses
Kita berharap partai politik secara serius menyiapkan kader-kader perempuan berkualitas sejak sekarang sebagai investasi politik di lima tahun berikut untuk mengisi pos-pos politik di parlemen ataupun birokrasi. Selain itu, pemerintah pusat dan daerah harus sungguh-sungguh membuka akses bagi perempuan dalam merajut peran dan kariernya di berbagai bidang, termasuk di birokrasi.

Penempatan atau pemberian akses tersebut tentu berdasarkan pertimbangan kualitas kompetensi, bukan karena aspek kewanitaan, sebagaimana ungkapan Marina Mahathir, most women are not elected because they are women. Apalagi menurut Sharpe (2000), perempuan memiliki keunggulan dalam hal hubungan interpersonal, kecermatan, naluri prestasi, mementingkan proses, dan kejujuran kerja serta bersikap lebih demokratis.

Jokowi sudah membuktikannya. Ketika terminal di kota Solo semrawut dan rawan premanisme, ia pun mengangkat perempuan menjadi kepala terminal. Hasilnya, wajah terminal berubah tertib, nyaman, dan steril dari tindakan kriminal. Selain itu, 17 pasar tradisional di Solo berhasil dibangun di bawah Ketua Satpol Pamong Praja yang adalah seorang perempuan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar