Senin, 10 Juni 2013

Islam Inklusif

Islam Inklusif
Moh Mahfud MD ;    Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 08 Juni 2013
 
 

Begitu keluar dari Masjid Istiqlal, seusai menyampaikan khotbah Jumat, 7 Juni 2013, saya ditelepon oleh seseorang bernama Mursalin. ”Saya dari Makassar, Pak. Baru mengikuti khotbah Bapak di televisi. Sangat mengesankan dan mencerahkan,” kata orang itu.

Saya menganggap itu biasa sebagai basa-basi. Sering sekali orang memberi pujian kepada orang yang baru berceramah bahwa ceramahnya bagus dan mencerahkan. Itu saya anggap tata krama ketimuran untuk menyenangkan orang yang berceramah. Akan tetapi, Mursalin melanjutkan keterkesanannya yang dalam atas khotbah saya tentang penegakan hukum dan keadilan. Tidak ada yang baru sebenarnya dari khotbah saya itu.

Saya hanya mengatakan bahwa salah satu tugas kenabian yang harus kita ikuti sebagai umatnya adalah tugas politik, yakni menegakkan keadilan di antara manusia. Saya mengutip hadis Nabi yang dihafal oleh hampir semua santri, ”Hancurnya bangsa dan negara itu disebabkan oleh ketidakadilan. Kalau ada orang kuat punya salah tidak dihukum, tetapi kalau ada orang kecil dilaporkan bersalah langsung dihukum. Maka seandainya Fathimah, anakku, mencuri pasti saya potong tangannya,” kata Nabi.

Itu saja yang saya jelaskan. ”Apanya yang mengesankan bagi Pak Mursalin? Itu, kan sudah dihafal oleh semua aktivis muslim,” tanya saya. Dia menjawab, yang mengesankan adalah penjelasan saya bahwa keadilan itu harus ditegakkan tanpa pandang bulu, tak peduli terhadap orang Islam atau bukan orang Islam.

Pokoknya kalau melakukan kesalahan dan merusak masyarakat dan negara harus ditindak tegas, tak boleh dinegosiasikan dengan politik apa pun. ”Itu pun bukan pendapat baru, sudah lama pemahamannya begitu,” kata saya lagi. ”Ya, Pak. Itu tidak baru sebagai paham, tetapi cara mengaktualisasikannya yang baru dan mengena,” kata Mursalin lagi. Setelah berdiskusi sebentar hubungan telepon kami tutup.

Saya mendapat banyak tanggapan, bukan hanya melalui telepon dari Mursalin, melainkan juga melalui SMS dan Twitter. Banyak yang khawatir dengan munculnya gejala eksklusivisme Islam di negeri ini. Eksklusivisme yang dimaksud adalah ketertutupan Islam sebagai ”rahmat bagi alam” terhadap orang yang tidak Islam. Eksklusivisme selalu mengandaikan bahwa dirinya atau kelompoknyalah yang paling benar. Ada orang yang melakukan kejahatan atas nama Islam dan dibela atas nama Islam pula.

Ini sungguh pengkhianatan terhadap ajaran suci agama Islam: rahmatan lil alamien. Sejatinya, dalam soal penegakan keadilan, kebenaran, dan persaudaraan Islam itu bersifat inklusif. Islam menganggap bahwa derajat manusia pada dasarnya sama. Setiap manusia berhak mendapat perlakuan adil dan tak boleh didiskriminasi karena perbedaan primordial (suku, ras, agama) dan gender.

Di dalam penegakan hukum dan keadilan misalnya, Allah menegaskan di dalam surat An- Nisaa’ ayat 58: kalau kita menghukumi (mengadili dan memerintah) di antara manusia (bainan-naas) maka hendaklah menghukumi dengan adil. Di dalam ayat itu, Allah menggunakan kata ”bainan-naas” bukan menggunakan kata ”bainal muslimin” (di antara sesama muslim).

Maksudnya keadilan harus diberikan bukan hanya kepada kaum muslimin, melainkan juga kepada semua manusia— apa pun agamanya. Menegakkan hukum dan keadilan itu harus dilakukan kepada siapa pun. Tak boleh menyalah- nyalahkan orang benar karena tidak Islam, dan tak boleh membela-bela orang salah karena sama-sama Islam atau seorganisasi. Cara-cara seperti itu sungguh merusak dan merendahkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Terkait dengan itu ada dua hal lain, yaitu soal ”tolong-menolong” dan soal ”persaudaraan”. Dalam soal tolong-menolong, Allah memerintahkan agar kita melakukan tolong-menolong dalam ”kebaikan dan takwa” dan bukan tolong-menolong dalam ”kejahatan dan permusuhan”. Siapa pun yang berbuat salah harus diadili, tak boleh ditolong hanya karena kesamaan agama atau organisasi.

Hak manusia dan masyarakat yang dirampas oleh kejahatannya harus dipulihkan dan dijernihkan posisinya secara terbuka di pengadilan dan pemerintahan. Adapun dalam soal persaudaraan, Islam mengajarkan persaudaraan antarmanusia secara islami, yaitu berbuat baik kepada siapa pun seperti kepada saudara sendiri, meskipun berbeda agama. Istilah ”ukhuwah islamiah” tak boleh hanya diartikan sebagai ”persaudaraan antarorang Islam”.

Sebab, kalau persaudaraan antarorang Islam istilahnya adalah ”ukhuwah bainal muslimin”. Ukhuwah islamiah harus diartikan sebagai persaudaraan yang berjiwa atau bernapas Islam (islami) karena kata islamiyyah dalam istilah itu adalah ”sifat”. Ukhuwah atau persaudaraan islamiah adalah persaudaraan antarmanusia yang dijiwai semangat Islam, meski berbeda ras, suku, dan agama.

Persaudaraannya harus dilandasi kasih sayang, kejujuran, kesetaraan, menghormati, kedamaian, dan kesejukan sesuai dengan inti makna dan maksud dari kata Islam itu sendiri. Cara memandang dan menghayati Islam yang seperti itu dalam bahasa mentereng sering disebut sebagai Islam inklusif. Sering juga disebut sebagai Islam kosmopolit.

Cara memandang dan menghayati Islam seperti itulah yang dipraktikkan Nabi Muhammad ketika memimpin negara Madinah sesuai dengan konsep civil society. Itu pula sebabnya civil society dipadankan dengan istilah masyarakat madani yang berarti masyarakat yang berperadaban (madinah, tamaddun).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar