Selasa, 11 Juni 2013

Kumpulan Orang Baik

Kumpulan Orang Baik
Herie Purwanto ;   Pemenang Lomba Karya Tulis Populer 
Nasional untuk Umum pada HUT Bhayangkara Tahun 2011
SUARA MERDEKA, 10 Juni 2013
 
 
 
POLISI adalah kumpulan orang baik. Kalimat ’’artifisial’’ itu saya dengar langsung dari Chrysnanda Dwi Laksana, doktor bidang Kajian Ilmu Kepolisian dari Universitas Indonesia, tatkala memberi kuliah kepada peserta Sespimma Polri tanggal 14 Mei 2013. Dia menyitir penyataan Profesor Satjipto Rahardjo. Teramat dalam muatan psikologis dari pemaknaan kalimat tersebut.

Bagi polisi yang mempunyai karakter bersih dan ikhlas mengabdi masyarakat, tentu tidak akan gerah. Sebaliknya, polisi yang menyalahi kodrat ’’artifisial’’ kalimat tersebut seharusnya merasa gerah dan risi. Bahkan pantas merasa terasing dari komunitas institusi yang memang seharusnya terdiri atas orang-orang baik. Institusi polisi menjadi bagian dari cermin hukum di negeri ini karena ibarat gerbang pertama penegakan hukum.

Realitasnya, fakta yang menjerat beberapa petinggi polisi hingga bawahan (kasus rekening bengkak Aiptu Labora Sitorus) dalam pusaran kasus hukum, mengantarkan pada kondisi kontraproduktif. Bagaimana dikatakan polisi adalah orang yang baik bila fakta menunjukkan ia menyalahgunakan anggaran kesatuan atau uang negara? Terlebih lagi penyalahgunaan itu dilakukan tatkala Polri bertekad memerangi korupsi. Sebuah ironi yang mengharubirukan polisi lain yang berkomitmen menjalankan tugas pengabdian kepada bangsa ini.

Saya percaya masih banyak polisi yang baik, yang peduli pada keprihatinan bangsa ini terkait korupsi yang telah menggurita dan menyengsarakan jutaan rakyat. Polisi yang baik itu bisa jadi hidup dalam keterasingan. Ia harus mengalahkan stigma bahwa polisi itu korup, polisi itu sumber masalah, polisi itu suka mencari-cari kesalahan orang. Belum lagi stigma lain, semisal polisi membuat permasalahan mudah menjadi sulit, menjadikan persoalan sepele menjadi rumit, atau berurusan dengan polisi berarti harus sedia uang dan segudang persepsi yang menjelma pada sikap apriori dan skeptis.

Dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan bagaimana menjadi polisi yang baik? Pasalnya tak mudah mengubah mindset yang terbentuk pada masyarakat. Polisi harus memulai dari diri masing-masing mengingat dari semangat reformasi yang berawal 1999, mindset tadi belum berubah. Kalaupun ada perubahan lebih pada sifat instrumental dan struktural. Dalam hal budaya atau culture, masih ibarat terjebak oyot mimang atau berputar-putar membuang energi namun masih tetap pada titik yang sama.

Tanpa menafikan keberhasilan yang sudah dicapai Polri dalam beberapa bidang, masyarakat belum juga beranjak pada tangga teratas kepercayaan, meskipun publik juga melihat berbagai terobosan yang bersifat human approach. Itulah yang mestinya jadi entry point untuk mengubah mindset yang stagnan dari masyarakat, yaitu masing-masing individu polisi harus berubah, menstransformasikan diri sebagai sosok baik. Untuk menjadi sosok yang baik, kuncinya ada di hati bukan pada institusi.

Membentuk Reputasi

Selama ini, polisi seperti terjebak untuk meraih citra baik dari masyarakat. Padahal citra identik dengan kamuflase atau sebatas retorika. Seharusnya yang perlu dibangun adalah membentuk reputasi. Reputasi lebih pada tindakan nyata, sedangkan membangun citra hanya muncul di permukaan, lebih dangkal dari reputasi. Inilah kekeliruan organisasi Polri yang gencar membangun citra dengan mengabaikan pemaknaan reputasi.

Dalam paradigma membentuk reputasi maka substansinya pun adalah keinginan untuk berubah. Mengubah dari sesuatu yang bersifat hanya lips service menjadi tindakan nyata. Penerapannya adalah tidak perlu memperbanyak slogan, banner, ataupun spanduk dengan rangkaian kata-kata indah namun yang dibutuhkan adalah melaksanakan apa yang menjadi tugas dengan keikhlasan.

Hal nyata yang mudah dilaksanakan oleh polisi tapi berpengaruh besar terhadap reputasi adalah dengan mau membaur di tengah masyarakat, tanpa membeda-bedakan mereka, berdialog, diawali menegur, menyapa sampai akhirnya menjadi sebuah keakraban, sebagaimana dijalankan polisi Jepang. Di Negeri Sakura, polisi membaur dengan komunitas atau masyarakat dengan tinggal di koban atau chuzaiso.

Di tempat tinggal yang sekaligus menjadi kantor tersebut, polisi membuka diri 24 jam untuk menampung semua pengaduan ataupun permasalahan. Kasus penganiayaan ringan antartetangga, saling mengejek, atau pencurian kecil-kecilan, diselesaikan dengan melibatkan solidarity maker atau tokoh masyarakat setempat. Dengan demikian, secara tidak langsung polisi telah menempatkan diri sebagai problem solver, yang menjadikan masyarakat membutuhkan kehadirannya.

Kapan konsep seperti itu menjadi roh bagi polisi di negeri ini? Bisakah polisi benar-benar mengaktualisasikan diri sebagai kumpulan orang baik? Kapan memulainya? Sekarang juga, tak ada istilah terlambat ketimbang tidak sama sekali. Siapa yang memulainya? Diri sendiri, diri pribadi polisi itu sendiri.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar