Rabu, 12 Juni 2013

Otentisitas Jokowi

Otentisitas Jokowi
Agus Sudibyo ;   Direktur Indonesia Research Centre Jakarta
KOMPAS, 11 Juni 2013
 
 
 



Waktu tak lebih dari satu tahun sebenarnya tak cukup untuk menilai kinerja seorang gubernur. Apalagi di provinsi yang permasalahannya sangat kompleks seperti Jakarta.

Namun, hal ini tidak berlaku pada Joko Widodo (Jokowi). Belum genap setahun memimpin Ibu Kota, Jokowi sudah mendapatkan apresiasi luar biasa. Dia selalu disambut hangat dan dielu-elukan warga Ibu Kota.

Jokowi kemudian secara cepat juga bertransformasi jadi tokoh nasional terdepan. Survei sejumlah lembaga penelitian telah menempatkan Jokowi sebagai unggulan pertama dalam bursa calon presiden pilihan masyarakat. Partai-partai politik pun mulai mewacanakan kemungkinan ”berkoalisi” dengan dirinya. Fenomena Jokowi tak diragukan lagi telah mengubah konstelasi politik nasional.

Komunikasi yang khas
Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Pandangan umum menyatakan, masyarakat Indonesia jenuh dengan kepemimpinan nasional yang ada. Masyarakat kehilangan antusiasme terhadap nama-nama pemimpin nasional yang itu-itu juga, dengan model kepemimpinan, gaya komunikasi, dan pendekatan masalah yang serupa tapi tak sama. Masyarakat merindukan tokoh-tokoh muda yang lebih menjanjikan perbedaan dan perubahan.

Sesungguhnya Jokowi tidak seorang diri dalam hal ini. Namun, dia diuntungkan oleh situasi dengan banyak tokoh pemimpin muda yang belum-belum sudah terlilit masalah korupsi, direpotkan kendala struktural-hierarkis parpol, atau belum dapat momentum untuk muncul ke permukaan. Dengan jabatannya yang sangat strategis, dengan model komunikasinya yang sangat simpatik di mata masyarakat dan pers, Jokowi terlihat melesat sendirian.

Di sisi lain, Jokowi juga mampu mengobati kerinduan bangsa Indonesia terhadap figur manusia politik dalam pengertian yang otentik dan luhur. Pertama-tama, tentu saja kita harus menyebut gaya komunikasi Jokowi yang khas dan di luar kelaziman.

Kebiasaan blusukan ke kampung-kampung pinggiran untuk kemudian berdialog langsung dengan rakyat kecil, tanpa ada jarak dan kekakuan protokoler, jelas terlihat kontras dengan model pendekatan formalistik dan hierarkis khas pejabat publik pada umumnya. Preferensi dan simpati masyarakat dengan cepat terbentuk karena Jokowi mampu menjadi antitesa dari apa yang selama ini diam-diam membikin jengkel masyarakat: tembok pemisah antara realitas kekuasaan dan realitas kehidupan warga.

Bisa jadi sesungguhnya model blusukan juga diadopsi Jokowi dari tokoh lain. Namun, masyarakat tak peduli dan terus menganggap blusukan sebagai inovasi dan ciri khas Jokowi. Tokoh politik yang mencoba menerapkannya tanpa modifikasi seketika akan dicap sebagai pengekor.

Seorang manusia politik diuji dari kemampuannya melahirkan sesuatu yang otentik dan menerobos kelaziman. Di sini Jokowi menunjukkan keberhasilan dalam melampaui kelaziman pola komunikasi struktural-formalistik khas pejabat publik di Indonesia.

Jokowi juga bereksperimen dengan gaya kepemimpinan yang merakyat dan kontekstual. Tanpa ragu-ragu, dia melantik wali kota di tengah-tengah permukiman kumuh, di antara jemuran baju yang berseliweran, diselingi bau selokan yang tak sedap. ”Untuk mendekatkan Pak Wali Kota pada permasalahan warganya,” begitu Jowoki menjelaskan pelantikan pejabat yang nyleneh itu.

Berani ambil risiko
Manusia politik juga diuji dari keberaniannya mengambil tindakan tak populer dan berisiko guna memperjuangkan prinsip. Jokowi juga menunjukkan kelebihannya di sini. Dia berani memangkas anggaran yang tak masuk akal dengan risiko mendapatkan perlawanan dari jaringan politik-bisnis yang terbiasa menangguk keuntungan dari alokasi dana pemerintah daerah.

Jokowi juga berani melakukan penggusuran permukiman liar, sebagaimana terjadi dalam normalisasi Waduk Pluit. Selama ini banyak pejabat publik menghindari penggusuran karena takut tidak populer dan menimbulkan kontroversi. Namun, Jokowi berani mengambil risiko ini untuk kepentingan yang lebih besar: mengurangi dampak banjir bagi warga Ibu Kota.

Mengapa Jokowi tak takut menghadapi kontroversi? Barangkali karena memang tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Sebagai pemimpin eksekutif, Jokowi merasa tidak dililit oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Jokowi tidak berpikir ”harus kembali modal”, sebagaimana lazim membebani politisi yang baru memenangi pilkada.

Jokowi barangkali juga tidak merasa harus membalas budi para sponsor. Karena itu, dia leluasa mengambil keputusan semata-mata berdasarkan pertimbangan kepentingan publik. Dia berusaha memeragakan kualitas lain dari manusia politik: kemampuan memisahkan urusan publik dan urusan privat.

Tanpa pemberitaan media, kelebihan-kelebihan di atas tidak akan memengaruhi preferensi masyarakat. Di sini Jokowi menunjukkan kelebihannya yang lain. Berbeda dengan pejabat publik umumnya, Jokowi tidak menutup diri dari media, tidak menganggap wartawan sebagai momok yang harus dihindari. Sebaliknya, dia menyadari pemberitaan media dapat membantu mempercepat pelaksanaan target-targetnya.

Tak mengherankan, Jokowi selalu jadi magnet pemberitaan media. Menjadi ”media-darling” di tengah kelangkaan tokoh muda nasional yang berkualitas, kredibel, dan populer, menjelaskan mengapa nama Jokowi begitu meroket belakangan ini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar