Rabu, 12 Juni 2013

Menyiasati Kualitas Kepala Daerah

Menyiasati Kualitas Kepala Daerah
J Kristiadi ;   Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 11 Juni 2013
 
 
 
 
Untuk mengetahui betapa memprihatinkannya kadar kualitas kepala daerah, cukup mencermati angka yang disodorkan Kementerian Dalam Negeri. Pertama, sampai akhir tahun 2013 diperkirakan jumlah kepala daerah yang tersandung korupsi akan tembus hingga 300 orang. Penyebab utamanya, elite politik lokal terjebak dalam turbulensi politik uang. ”Investasi” yang ditanamkan untuk meraih kedudukan politik jauh melampaui pendapat resmi kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Kedua, sampai Mei 2013, dari 463 pelaksanaan pilkada untuk kedua kalinya, hanya 36 atau 7,77 persen kandidat yang kembali berpasangan. Disharmoni tersebut mengungkapkan hubungan antara kepala daerah dan wakilnya yang sarat konflik kepentingan. Selain itu, fenomena yang juga membuat masygul adalah semakin menguatnya dinasti politik. Akibat dari semua itu, secara agregat dapat dikatakan kinerja mutu pimpinan pemerintahan daerah sangat rendah.

Mengurai kekusutan politik lokal yang disebabkan rendahnya kinerja pemerintahan daerah, dominasi politik uang, dan menguatnya dinasti politik bukanlah perkara mudah. Hal ini karena akar masalah tersebut adalah desain organisasi kekuasaan negara yang tidak disertai dengan gagasan, konsep, serta paradigma yang komprehensif dan jelas. Praktik penyusunan regulasi selama ini tidak menempatkan hukum sebagai stimulan perubahan masyarakat dan dibentuk berdasarkan visi mengenai tatanan masyarakat masa mendatang.

Akibatnya, pengelolaan kekuasaan yang seharusnya menghasilkan kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat tersandera rancunya regulasi, terutama berkenaan dengan isu hubungan pusat-daerah dalam kerangka bentuk negara kesatuan, relasi lembaga presiden dan parlemen, sistem pemerintahan presidensial dengan multipartai, kombinasi sistem pemilu proporsional dan distrik, dan sebagainya.

Ringkasnya, regulasi yang berkaitan dengan penataan kekuasaan yang demokratis selama ini pada praktiknya tidak dipandu oleh kebijakan umum atau politik perundang-undangan yang jelas.
Konsekuensinya, peraturan perundangan rancu dan tumpang tindih. Semakin banyak produksi regulasi semakin membuat medan hukum layaknya rimba raya peraturan yang membuat penyelenggaraan pemerintahan tidak efisien dan selalu diancam gridlock (macet).

Kecenderungan merosotnya kinerja pemerintahan daerah yang semakin memprihatinkan itu disiasati dan dicoba diterobos dengan menyusun Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Dinamika proses pembahasan mengkristal dalam beberapa isu, yaitu (1) mekanisme pemilihan kepala daerah; (2) paket kepala daerah dan wakilnya (terpisah atau satu); (3) persyaratan kepala daerah (berkaitan dengan isu dinasti politik); (4) tugas, wewenang, persyaratan wakil kepala daerah; (5) penyelesaian sengketa hasil pilkada; (6) pilkada serentak; dan (7) pembatasan dana kampanye.

Upaya dan niat baik tersebut patut dihargai. Namun, perlu diberikan beberapa catatan khusus terhadap beberapa isu tersebut. Pertama, perdebatan paling alot adalah usulan pemerintah agar gubernur dipilih langsung dan bupati /wali kota dipilih DPRD. Gagasan ini didasarkan pada pakem kebijakan otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan, salah satu fungsi gubernur yang penting adalah kepanjangan pemerintah dengan tugas pokok pengawasan dan pembinaan terhadap bupati dan wali kota. Supaya mempunyai legitimasi yang kuat, sebaiknya mereka dipilih langsung. Bupati/wali kota, sebagai subordinat gubernur, cukup dipilih DPRD. Alasan pokok, efisiensi biaya penyelenggaraan pemilihan, penyederhanaan proses politik, serta meniadakan sengketa pilkada yang sering mengakibatkan konflik horizontal. Dengan penguatan politik gubernur, diharapkan penyelenggaraan pemerintahan akan lebih efektif. Namun, usulan tersebut belum disepakati parlemen. Pada umumnya, mereka beranggapan perubahan elektoral dari langsung menjadi tidak langsung merupakan kemunduran proses demokrasi.

Memperdebatkan sistem elektoral yang dianggap lebih demokratis akan sangat melelahkan. Seyogianya pemerintah dan parlemen terlebih dahulu sepakat mengenai urgensi hadirnya pemerintahan daerah yang efektif dan relatif bersih dari korupsi. Membiarkan kekusutan pemerintahan di daerah berlarut-larut hanya akan semakin memerosotkan kredibilitas lembaga pemerintahan, lembaga politik, serta demokrasi pada umumnya. Langkah berikutnya adalah mengagendakan pendidikan politik bagi masyarakat. Sebab, inti dari demokrasi adalah partisipasi publik. Pertanyaannya, apakah kalau ketentuan tersebut menjadi UU dapat mewujudkan pemerintahan daerah yang efektif dan bersih? Belum tentu. Namun, praktik demokrasi selalu melalui unsur trial and error (coba-coba). Sejauh langkah itu diperhitungkan konsekuensinya, tidak ada jeleknya dilakukan. Agenda tersebut akan lebih terjamin keberhasilannya jika isu pembatasan dana kampanye dikonversi menjadi regulasi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar