Selasa, 04 Juni 2013

Ketika Caleg Aktivis Menjanjikan Reformasi DPR

Ketika Caleg Aktivis 
Menjanjikan Reformasi DPR
Wawan Sobary ;   Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya; Saat ini tengah menempuh Studi Doktoral di Flinders University, Australia
KORAN TEMPO, 04 Juni 2013



Proses pencalonan anggota legislatif yang tengah berlangsung menunjukkan sejumlah fakta menarik. Tidak cukupnya dukungan administratif dari partai politik (parpol) dan para kandidat memaksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda pencalonan mayoritas calon anggota legislatif (caleg). KPU memperingatkan 71,5 persen caleg (4.701 dari 6.577) agar memenuhi dokumen-dokumen administratif pencalonan (Tempo.co, 7/5).

Pun, data-data faktual lainnya menunjukkan bahwa kader-kader parpol tak lagi mendominasi pencalonan. Caleg dari kalangan selebritas dan pebisnis meningkat dalam jumlah yang prospektif. Meski komentar-komentar kritis kerap dilontarkan, para penyanyi, artis, olahragawan, dan pengusaha tetap ikut dalam pencalonan. Partai pun memprioritaskan rekrutmen mereka untuk mengerek perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat.

Secara bersamaan, sejumlah aktivis gerakan reformasi 1998 ikut masuk arena. Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Faisol Reza, merupakan salah satu nama yang muncul. Selain itu, Adian Napitupulu, mantan Koordinator Forum Kota, ikut mewarnai bursa pencalegan (Tempo.co, 18/5). Tidak ketinggalan beberapa aktivis hak asasi manusia, seperti Agung Putri dan Yulianti Ratnaningsih, mencoba mengikuti jejak keberhasilan Budiman Sudjatmiko yang sukses melenggang ke Senayan dalam Pemilu 2009 (Thejakartapost.com, 23/4).

Dibanding para selebritas dan pebisnis, keterlibatan para aktivis dalam kompetisi sejatinya lebih menjanjikan bagi publik. Jiwa aktivisme yang saat ini tengah loyo dibutuhkan untuk mengangkat kinerja dan citra buruk DPR. Pengalaman dan idealisme mereka saat menggunakan protes-protes publik untuk menggerakkan reformasi 1998 merupakan modal penting. Para mantan pemrotes ini berharap mengembalikan cita-cita reformasi menuju rel yang benar.

Partai-partai pun boleh saja berargumen dalam mendorong pencalegan para aktivis. Hanya, pemilu dan kursi DPR bukan merupakan perkara mudah bagi mereka. Para aktivis mesti berhadapan dengan sejumlah hambatan institusional yang bisa menegasikan atau bahkan merusak cita-cita mereka untuk mengubah kinerja jelek parlemen.

Pada awal perjuangan, para caleg aktivis harus bertarung dalam situasi pemilih yang berorientasi populisme dan materialisme. Kecenderungan perilaku praktis para pemilih seperti itu kurang memberi toleransi bagi para aktivis yang kurang populer dan tidak kaya. Di satu sisi, mereka harus tetap idealis dengan mempromosikan tawaran-tawaran visioner kepada pemilih. Di sisi lain, strategi-strategi politik gentong babi (pork-barrel) yang dijalankan para pesaing lain cukup berhasil mempengaruhi para pemilih untuk menggadaikan suaranya. Tentunya, bukan pekerjaan mudah bagi para caleg aktivis dalam mengkompromikan dua situasi berlawanan tersebut.

Seandainya mereka sukses meraih kursi, DPR secara institusi ternyata tidak hanya menyediakan insentif bagi para aktivis untuk mewujudkan idealisme mereka. Namun parlemen juga akan menciptakan sejumlah hambatan yang bisa menghadang para legislator aktivis dalam mereformasi DPR. Meminjam premis new institutionalism, bahwa determinisme institusi akan memberikan panduan perilaku yang patut bagi para aktor dalam merespons aturan dan kebiasaan internal.

Kemudian, institusi akan menyetir mereka dalam mendefinisikan situasi, kinerja mereka, dan kewajiban-kewajiban sebagai anggota parlemen. Pemenuhan kewajiban-kewajiban itu sulit dihindari dan sangat mungkin kontras dengan pilihan-pilihan hati nurani mereka. Selain itu, logika kesesuaian akan memaksa penerapan kerangka berpikir yang bersifat adaptif terhadap situasi daripada beroposisi (March dan Olsen, 1989).

Dalam konteks tersebut, para legislator aktivis harus menyesuaikan karakter institusi dengan mengadopsi aturannya dan beraktivitas secara patut. Konsekuensinya, perilaku politik mereka di parlemen harus ditempatkan dalam situasi keterbatasan inisiatif-inisiatif personal dan berhadapan dengan tekanan-tekanan institusi yang kuat.

Selain menghadapi DPR sebagai hambatan institusi, parpol sebagai patron mereka dalam meraih kursi akan pula menuntut akuntabilitas politik para legislator aktivis. Sejatinya, para legislator bertanggung jawab secara individual terhadap konstituen yang telah memilih mereka. Namun para legislator aktivis harus pula mematuhi kebijakan-kebijakan parpol yang tentu saja tidak lepas dari kepentingan dan pertimbangan politik.

Penggunaan hak angket untuk skandal Bank Century oleh DPR pada 2010 memberikan pelajaran berharga. Faktanya, banyak legislator tidak berdaya menghadapi kebijakan parpol dan kepentingan strategis koalisi. Mereka dibatasi dalam menyuarakan fakta-fakta kritis, karena tindakan itu dianggap akan merugikan posisi patron mereka dalam ikatan koalisi.

Terakhir, para aktivis legislator harus pula berkonfrontasi dengan situasi kinerja kolektif DPR yang jelek. Sebagaimana dirilis secara terbuka, dalam rentang empat tahun (2009-2013), DPR hanya berhasil mengesahkan 70 dari 257 rancangan undang-undang yang telah masuk agenda program legislasi nasional.
Selain itu, catatan-catatan buruk para legislator saat ini bisa saja mempengaruhi legislator aktivis. Misalnya, tingginya angka bolos para legislator yang memicu keprihatinan publik. Lebih jelek lagi, beberapa kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR menambah tekanan ketidakpercayaan publik terhadap parlemen.

Karenanya, Pemilu 2014 bukanlah kompetisi yang bersahabat bagi para caleg aktivis. Ada baiknya mereka tetap mendorong advokasi eksternal daripada menerapkan metode yang kurang efektif sebagai pelaku langsung (insider) untuk mentransformasi DPR. Para aktivis bisa saja mendorong parpol untuk meningkatkan kualitas rekrutmen politiknya. Pun, mereka bisa beraliansi dengan media massa untuk mengawasi kinerja parlemen secara kritis dan simultan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar