Rabu, 05 Juni 2013

Moderasi Berjamaah Menjawab Terorisme

Moderasi Berjamaah Menjawab Terorisme
Hasibullah Satrawi ;   Analis Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
JAWA POS, 05 Juni 2013



BELAKANGAN sepak terjang teroris mengalami perubahan-perubahan secara fundamental. Mulai perubahan secara keorganisasian (dari organisasi besar seperti JI dan Al Qaeda menjadi organisasi kecil-kecil seperti kelompok Ightiyalat Klaten dan kelompok Cibiru, Bandung) hingga perubahan pola secara ideologis (dari jihad tandzim/terorganisasi menjadi jihad fardiy/individual). Targetnya pun bergeser dari tempat umum ke individual.

Serangan di pos polisi Tasikmalaya beberapa waktu lalu (13/5) bisa dijadikan contoh. Menurut polisi, serangan itu merupakan balas dendam kelompok teroris kepada aparat. Bahkan, menurut sebagian ahli, serangan tersebut diduga melibatkan anggota jaringan kelompok Cibiru, Bandung, yang mayoritas anggotanya adalah anak-anak muda. Contoh terkini adalah bom bunuh diri di Mapolres Poso, Sulawesi Tengah (3/6).

Perubahan target serangan juga terjadi pada jaringan teroris global. Contohnya, seorang tentara Inggris dibunuh secara sadis (22/5). Kasus pembunuhan itu diduga terkait dengan kejahatan terorisme yang menurut PM Inggris David Cameron tidak terkait dan tidak sesuai dengan tata nilai agama mana pun (Ash-Sharq Al-Awsat,24/5).

Semua itu menunjukkan gagalnya pendekatan antiterorisme dengan perang. Perang hanyalah berhasil menangkap, memenjara, atau bahkan membunuh para teroris, termasuk tokoh-tokohnya seperti Osama bin Laden, Noordin M. Top, dan Azhari. Namun, terorisme jauh lebih besar dari itu. Terorisme mengandung sebab kompleks, mulai persoalan ketidakadilan global, persoalan sosial, persoalan keluarga, hingga persoalan ideologi. Karena tak sedikit pihak di luar jaringan terorisme yang merasakan persoalan-persoalan kurang lebih sama seperti dialami dan diyakini kelompok teroris, mereka siap bertransformasi masuk jaringan terorisme.

Di sinilah pentingnya proses moderasi sebagai roh obat terorisme, tidak hanya dalam konteks Indonesia ataupun negara-negara lain korban terorisme, melainkan juga global. Singkatnya, saatnya menggelorakan moderasi secara berjamaah, setidaknya di tiga aras.

Pertama, di kancah politik global. Harus diakui bersama, kancah politik global saat ini, termasuk di forum PBB, masih sangat jauh dari cita-cita keadilan dan kesetaraan di antara bangsa-bangsa. Kasatmata mencolok dominasi negara-negara maju dan sekutunya (bersama kepentingannya) di pentas global.

Tragedi Syria, misalnya. Kenapa AS dan sekutu-sekutunya (khususnya NATO) tidak turun gunung menghentikan perang saudara di Syria seperti yang mereka lakukan di Libya? Kepentinganlah (bukan keadilan dan kesetaraan) yang membedakan (antara Syria dan Libya) dan jadi penyebab pilih kasih politik itu.

Ketidakadilan global itulah yang diabaikan negara-negara maju dalam upaya memerangi terorisme global, khususnya AS. Memang, apa pun alasannya, kekejian kelompok teroris tentu tidak dapat dibenarkan. Tapi, ketidakadilan global negara-negara maju juga tidak dapat dibenarkan, bahkan oleh demokrasi dan HAM yang mereka semburkan berbusa-busa.

Kedua, proses moderasi di kancah nasional, khususnya para pejabat negara dan segenap elite bangsa di pelbagai macam partai maupun instansinya. Dalam konteks Indonesia, kelompok teroris kerap menganggap para pejabat negara dan segenap elite bangsa (termasuk aparat), juga ideologi Pancasila dan NKRI, sebagai kejahatan atau thaghut yang harus mereka perangi.

Cara menangkalnya, segenap abdi negara dan elite bangsa wajib melakukan hal-hal terbaik sesuai dengan Pancasila dan hukum. Hal itu penting dilakukan untuk membuktikan bahwa NKRI dan Pancasila justru menjiwai nilai-nilai luhur yang diyakini umat beragama di Indonesia.

Ketiga, proses moderasi di internal kelompok radikal dan teroris. Pada tahap pertama agar kelompok ini menyadari akan kondisi ''sakit''-nya dan pada tahap berikutnya agar mereka menyadari bahwa ''sehat'' secara ideologi dan gerakan itu indah dan nikmat. Tidak hanya bagi dirinya, melainkan juga bagi diri, keluarga, dan masyarakat secara umum. Tantangannya, kelompok radikal dan teroris selama ini tidak pernah menyadari dirinya sebagai orang yang ''sakit''. Mereka justru kerap beranggapan bahwa orang lainlah yang sakit, sehingga berusaha ''menyembuhkannya''.

Karena itu, proses moderasi kelompok radikal harus dilakukan secara bersama-sama, berjamaah di kancah global dan nasional.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar