Rabu, 05 Juni 2013

Catatan untuk Gerakan Menanam Pohon

Catatan untuk Gerakan Menanam Pohon
IGG Maha Adi ;   Direktur The Society of Indonesian Environmental Journalists
KORAN TEMPO, 05 Juni 2013




Kenapa gerakan menanam pohon-reforestasi dan aforestasi-digemari terutama oleh perusahaan? Gerakan menanam pohon (tree planting) adalah aktivitas yang paling mudah dipahami oleh para pemangku kepentingan yang luas, dalam kerangka pengurangan risiko perubahan iklim. Menanam secara masif memiliki kesan dramatis pada lanskap, relatif murah, serta aktivitas dan dampaknya terukur jika dibandingkan dengan mengerjakan aktivitas mitigasi dan adaptasi lain yang terbatas dan rumit. Menanam menjadi gerakan lingkungan populis, bukan elitis.

Dalam pertemuan American Geophysical Union tahun 2006, dibahas makalah penelitian Govindswamy Bala dari Lawrence Livermore National Laboratory dan koleganya, Ken Caldeira, dari the Carnegie Institution of Washington. Keduanya menyimpulkan tiga hal yang mempertegas hubungan antara hutan dan perubahan iklim global. Pertama, hutan dapat mendinginkan suhu permukaan bumi dengan cara menyerap karbon dioksida selama proses fotosintesis. Kedua, hutan mampu mendinginkan suhu bumi dengan cara menguapkan lebih banyak air ke atmosfer sehingga meningkatkan persentase penutupan awan-cloudiness. Ketiga, hutan mempunyai efek pemanas karena warna yang gelap mampu menyerap sinar matahari dan mempertahankan panas di dekat permukaan bumi.

Kesimpulan lainnya, semakin jauh dari daerah tropis, efektivitas menanam pohon semakin berkurang, bahkan tidak efektif sama sekali. Menanam pohon di daerah lintang sedang dan tinggi hanya membuang-buang waktu karena justru dapat menaikkan suhu beberapa derajat sampai 2100. Alasannya, warna-warna kanopi pohon yang gelap justru memerangkap panas, bukan memantulkannya. Kemampuan memantulkan cahaya matahari (albedo) di daerah sedang dan dingin ini akan jauh berkurang bila tanah bersalju diganti pepohonan. Ini kabar baik untuk Indonesia karena program menanam dapat masuk ke skema carbon offset. Dengan skema ini, kegiatan pengurangan emisi di Indonesia dilakukan sebagai kompensasi pengeluaran emisi di negara-negara lain dan dapat diperdagangkan di pasar karbon.

Menanam pohon adalah kegiatan offset karbon paling mudah dilaksanakan dan banyak mendapatkan justifikasi. Australia, contohnya, untuk kompensasi karbon penduduknya dianjurkan menanam 17 batang pohon setiap tahun sesuai dengan laporan Working Paper 23 yang dikeluarkan Federal Bureau of Transport and Regional Economics (BTRE) pada 2012. Menurut BTRE, membakar 1 liter bensin mengemisikan 2,3 kg karbon dioksida (CO2). Maka, dengan jenis kendaraan 12 liter per 100 km dan jarak tempuh 16 ribu km per tahun, akan diemisikan 4.416 kg CO2 tiap tahun. Jika sebatang pohon di hutan tropis mampu menyerap 286 kg CO2 selama hidupnya, 17 pohon mampu menyerap 4.556 kg CO2 per tahun. Inilah rumus mengemudi bebas dosa lingkungan-free-guilty driving-versi Australia.

Menanam pohon juga menjadi kegiatan efektif-berbiaya rendah. Pakar ekologi Norman Myers dalam makalahnya pada 1991 memperkirakan kebutuhan investasi untuk mengurangi 1 ton karbon dioksida di atmosfer hanya US$ 10-16 melalui program penanaman pohon jika dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga angin, yang sekitar US$ 95, panas bumi sekitar US$ 110, tenaga nuklir US$ 535, dan fotovoltaik US$ 819. Kalaupun nilai investasinya naik 5 kali lipat hari ini, menanam tetap lebih murah dibanding yang lainnya. Singkatnya, menanam pohon adalah baik.

Namun, beberapa catatan yang lebih kritis perlu diberikan untuk program yang populer ini. Catatan pertama datang dari hasil penelitian Robert Jackson dari Duke University dalam jurnal Science nomor 310 tahun 2005. Setelah menelaah sekitar 500 laporan dari lima benua yang membandingkan lahan yang telah ditanami secara masif dan monokultur dengan lahan kritis, mereka menyimpulkan bahwa pohon menyedot air dari dalam tanah dan menguapkannya ke udara, sehingga mengurangi aliran air sungai menjadi setengahnya dan 13 persen sungai itu mengering dalam waktu satu tahun. Akibatnya, tidak cukup tersedia air untuk tanaman lain dan binatang. Robert juga menemukan bahwa nutrisi tanah terpengaruh oleh penanaman, karena terjadi penurunan kadar kalsium, magnesium, dan potasium, tapi ada peningkatan kadar sodium. Kondisi nutrisi ini merupakan indikasi rata-rata tanah itu menjadi lebih asin dan asam, yang akan mempengaruhi berbagai spesies tanaman. Penanam yang baik tidak boleh berhenti hanya pada seremonial saat hari menanam, tapi juga harus ikut memastikan bahwa pohon yang mereka tanam itu dipelihara dengan baik, tumbuh dengan baik, cukup air, serta tidak memiliki dampak lingkungan yang dapat merusak ekosistem yang ada.

Catatan kedua, hutan bisa musnah dan lahan terbatas. Penyerapan karbon (carbon sequestration) terbesar terjadi selama pertumbuhan pohon, lalu jika ia mati atau terbakar, karbon terlepas ke udara. Jadi para penanam harus memastikan kawasan reforestasi mereka dipelihara dan pohon yang terlalu tua diganti karena efektivitasnya berkurang. Luas lahan tidak bertambah, karena itu luas hutan yang tersisa harus dipertahankan agar kegiatan menanam bermakna. Jika satu kawasan hutan terus dikonversi, terjadi kebocoran (leakage) karbon, yang menyebabkan makna penanaman pohon berkurang drastis. Para penanam harus kritis melihat data hutan, terutama bila muncul lahan kritis baru dan disodorkan untuk dijadikan obyek program menanam, karena itu berarti Kementerian Kehutanan tidak mampu bertugas dengan baik, lalu mengalihkan sebagian tanggung jawab pemulihan hutan kepada pihak lain dengan memanfaatkan euforia gerakan menanam pohon.

Catatan ketiga, tentang konsep mitigasi. Sesungguhnya program mendasar dalam mitigasi perubahan iklim adalah mengurangi emisi dari sumbernya dibandingkan meningkatkan penyerapan karbon. Mengurangi pemakaian bahan bakar berbasis fosil-minyak bumi, gas bumi dan batu bara-adalah program yang lebih ideal. Perusahaan migas dan batu bara hendaknya melangkah maju dari sekadar menanam pohon secara sporadis di sana sini, menuju perubahan mendasar untuk memasarkan energi ramah lingkungan, seperti geotermal, bioenergi, atau terus mendorong pemanfaataan inovasi dan teknologi yang semakin hemat energi. Sumber daya harus dialokasikan lebih banyak ke perubahan nilai lingkungan, pemahaman konsep ekologi yang benar dan komprehensif, serta program peka perubahan iklim yang tepat, sedangkan menanam pohon tetap diperlukan dalam konteks sosial-ekonomi, untuk meningkatkan nilai tambah lahan untuk kesejahteraan masyarakat. Catatan keempat tentang bahaya monokultur. Karena alasan praktis, yaitu mudah didapat dan biaya murah, banyak pihak menanam satu jenis pohon. Penanaman monokultur dalam hamparan yang luas akan membahayakan daya tahan ekosistem. Tapi dengan menanam berbagai spesies pohon, kita ikut membantu menciptakan kembali salah satu ekosistem asli Indonesia, yaitu hutan hujan tropis, bukan sekadar kebun kayu. Satu pelajaran sederhana yang diberikan oleh ekosistem hutan hujan tropis: semakin beragam spesies semakin kuat ekosistemnya. Selamat menanam dan menciptakan hutan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar