Selasa, 04 Juni 2013

Mencerdaskan Rakyat Memilih Legislatif

 Mencerdaskan Rakyat Memilih Legislatif
Fadli Andi Natsif ;   Dosen Program Studi Ilmu Hukum 
Pascasarjana Universitas 45 Makassar
Tribun Timur, 03 Juni 2013




Beberapa waktu lalu banyak media, televisi maupun koran, mengulas tentang kredibilitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Beberapa narasumber yang dimintai komentar pada prinsipnya menilai bahwa beberapa anggota DPR (untuk tidak mengatakan semuanya) tidak mampu melaksanakan fungsinya secara optimal. Apakah ini karena kompotensi dan kapabilitasnya (tentu juga integritasnya) yang memang pas-pasan, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan dengan baik?

Tiga indikator ini menjadi ukuran untuk menilai kinerja anggota legislatif yang memengaruhi kualitas anggota DPR. Salah satu sorotan berita Kompas tentang kualitas anggota DPR dapat terlihat dalam persidangan, seperti kebiasaan membolos dalam persidangan. Ini menunjukkan anggota DPR tidak memiliki tanggung jawab sebagai wakil rakyat. Kebiasaan membolos ini menyebabkan produk legislasi selalu di bawah target dan dapat dikatakan ini sebagai bentuk lari dari tanggung jawab untuk memperjuangkan aspirasi rakyat (Kompas, 17/05/2013).

Sorotan media terhadap kinerja anggota DPR ini merupakan momentum di tengah gencarnya orang-orang untuk ikut bertarung menjadi anggota ‘wakil rakyat yang terhormat’ tahun 2014. Sorotan media ini dimaksudkan untuk menjadi pembelajaran bagi masyarakat yang memiliki hak pilih untuk selektif dalam menentukan orang yang akan duduk di kursi legislatif. Dengan sorotan ini berarti media juga berperan untuk mencerdaskan rakyat dalam memilih anggota legislatif.

Apa yang telah partai politik (parpol) lakukan dengan menyetor para caleg-nya di Komisi Pemilihan Umum (KPU), tidak boleh begitu saja dipercaya bahwa itulah yang terbaik. Karena disadari bahwa parpol dalam menentukan caleg-nya cenderung hanya berpikir pragmatis semata, melihat elektabiltas (keterpilihan) saja dengan mengabaikan kompotensi, kapabilitas bahkan integritasnya. Padahal ketiga hal itulah yang akan menentukan kinerja sehingga produk legislasi yang dihasilkan betul-betul bermanfaat untuk kepentingan rakyat.

Rakyat tentu tidak mengharapkan anggota legislatif yang terpilih nanti sama kualitas anggota DPR yang sudah menjadi ‘buah bibir’ di masyarakat, seperti cerita di bawah ini entah benar atau tidak. Suatu waktu di tengah rapat di DPR, lagi asik berdiskusi membincangkan suatu persoalan. Saking alot dan serunya diskusi tersebut, tiba-tiba ada salah seorang anggota DPR angkat tangan dan nyelutuk mengatakan “voting-voting’.

Sontak saja anggota DPR lainnya merasa kaget dan tercengang mendengar seorang temannya yang nyeletuk meneriakkan kata itu. Dalam hati mereka pada bertanya-tanya apa yang mau diputuskan? Inikan forum pertemuan semacam diskusi yang membicarakan sesuatu bukan forum untuk mengambil keputusan. Setelah pimpinan menanyakan apa maunya, barulah diketahui bahwa sebenarnya anggota DPR itu ingin berbicara juga sebelum dipersilahkan bicara.

Ini biasa dikenal dalam teori persidangan namanya ‘interupsi’ – memotong pembicaraan sementara orang lagi berbicara. Ternyata anggota DPR yang satu ini tidak tahu membedakan apa itu ‘voting’ dan apa itu ‘interupsi’.

Cerita lainnya, ketika seorang anggota DPR lagi melakukan perjalanan dinas dengan menumpangi pesawat. Ketika seorang pramugari meminta tiket anggota DPR tersebut untuk melihat posisi seat (kursi), pramugari itu berkata, “oh bapak duduknya di depan karena tiketnya kelas eksekutif”. Spontan saja bapak anggota DPR itu membusungkan dada sambil meletakkan tangannya di situ dan mengatakan, “Saya ini bukan eksekutif, saya ini legislatif karena anggota DPR.”

Buah Bibir
Terlepas cerita ini apakah termasuk ‘kabar burung’ yang asalnya entah dari mana, tetapi sekali lagi ini sudah menjadi ‘buah bibir’. Tentu tidak bermaksud mengeneralisasi bahwa semua anggota DPR atau legislatif seperti itu. Kalau memang ada mudah-mudahan ini hanya sebagian kecil dari sekian banyak anggota legislatif baik di tingkat pusat maupun provinsi, kota dan kabupaten.

Sampai saat ini penulis belum pernah membaca hasil penelitian tentang kapabilitas dan kompotensi anggota legislatif dalam menjalankan tugas dan fungsinya seperti yang diamanatkan dalam konstitusi dan undang-undang tentang eksistensi anggota legislatif, yaitu dibidang legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

Penelitian yang ada hanya terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhi anggota legislatif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif dibidang legislasi. Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa program studi ilmu hukum Pascasarjana Universitas 45 yang kebetulan penulis sebagai penguji.
Hasil penelitian mahasiswa tersebut mendeskripsikan bahwa kualitas anggota DPRD (khususnya di lokasi penelitiannya Kabupaten Bone Sulsel) yaitu variabel tingkat pendidikan dan latar belakang keilmuan serta pengalaman dalam bidang pemerintahan sangat memengaruhi kemampuan dan keterampilan teknis yang terkait dengan penyusunan peraturan daerah (perda).

Menurutnya kurangnya pengetahuan dan pengalaman, anggota DPRD ini sangat menyulitkan menuangkan pikiran serta menganalisis suatu permasalahan yang akan dituangkan dalam pembentukan perda. Hal ini juga dibuktikan dengan tidak dapatnya mereka mempergunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan rancangan perda. Meskipun mereka telah diberikan kesempatan untuk mengikuti Bimbingan Teknis (bimtek) selama tiga kali dalam setahun. (Asia, tesis pascasarjana Univ. 45 Makassar, 2012).

Meskipun hanya penelitian di satu daerah tetapi bisa jadi deskripsi kapasitas anggota legislatif ini juga terjadi di daerah lain. Tentu ini dapat menjadi catatan atau pekerjaan rumah dari parpol pengusung anggota legislatif. Apakah parpol sudah menjadikan variabel kapabilitas dan kompotensi seseorang untuk diusung mewakili partainya menjadi anggota legislatif. Jangan hanya persoalan elektabilitas (potensi keterpilihan) yang menjadi prioritas dalam mengusung calon, tapi sejogyanya dua hal ini juga yang harus dipertimbangkan.

Kalau proses pengaderan di parpol berjalan optimal, saya kira hal ini tidak menjadi problem, karena dari proses pengkaderan inilah dapat diasah kemampuan anggota untuk duduk nanti di parlemen. Sehingga menjadi anggota legislatif bukan lagi tempat belajar lebih-lebih untuk mencari pekerjaan semata, tetapi ‘lembaga yang terhormat’ ini harus dijadikan sarana untuk mengapresiasikan kapabilitas dan kompotensi yang sudah dimiliki sebelum menjadi anggota legislatif. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar