Selasa, 04 Juni 2013

Relasi Bisnis Politik Tembakau

Relasi Bisnis Politik Tembakau
Apung Widadi ;   Analis Politik Independen
DETIKNEWS, 03 Juni 2013




Tanggal 31 Mei sering diperingati sebagai Hari Anti Tembakau Sedunia. Walaupun Indonesia sebagai yang belum ikut meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau (Frame Convention on Tobacco Control/FCTC) dari WHO namun tidak kalah meriah merayakan imbauan untuk tidak merokok. Apalagi saat ini publik sedang dihadapkan pada pro kontra kebijakan publik tentang RUU Pertembakauan yang konon “nylonong” tiba-tiba masuk Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) padahal belum melalui proses usulan dari komisi ataupun pemerintah.

Dalam sebuah majalah nasional belum lama ini bahkan disinggung tentang potensi dan indikasi adanya kongkalikong antara industri rokok dengan politisi di DPR. Hal tersebut khususnya terkait dengan kebijakan tembakau.

Sebelumnya, tahun 2012 lalu RUU Pengendalian Tembakau dan Kesehatan telah dibatalkan oleh DPR. Aroma kuat adanya deal bisnis dan politik dalam sektor tembakau khususnya rokok ini kiat menguat menjelang Pemilu 2014. Tidak lain dan tidak bisa dipungkiri ‘bisnis kebijakan” rokok diduga bisa menjadi bahan bakar agar “dapur partai” mengepul jelang pertempuran politik tahun depan.

Setidaknya analisis tersebut tidak berlebihan, saat jelang Pemilu tahun 2009 di DPR, ayat tembakau dalam UU Kesehatan pada pasal 2 ayat 13 tiba-tiba hilang. Diduga ada proses transaksional suap untuk kepentingan Pemilu saat 2009. Padahal pasal tersebut sudah disetujui dalam rapat paripurna.

Ayat tersebut berbunyi “zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masayrakat sekelilingnya”. Sekilas, pasal ini dapat “membunuh” produksi rokok oleh industri.

Sayangnya, penanganan kasus tersebut menguap. Kasus penghilangan ayat-ayat tembakau tersebut yang ditangani Kepolisian di SP3 (surat Perintah Penghentian Penyidikan). Awalnya salah satu anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan yaitu Ribka Tjiptaning menjadi tersangka dalam kasus tersebut, namun telah di SP3 oleh Kepolisian. Ribka saat itu menjadi orang yang paling bertanggungjawab karena sebagai ketua Pansus RUU Kesehatan.

Bahkan proses penegakkan kode etik di Badan Kehormatan (BK) DPR juga berjalan setengah hati, Ribka hanya diberi sanksi tidak diperkenankan memimpin Panja dan Pansus di DPR. Vonis ringan tersebut dirasa tidak memuaskan publik, bahkan aktivis anti tembakau sebaliknya menyerukan di sanksi yang lebih berat maksimal yaitu pemecatan.

Kembali kepada momentum Prolegnas, RUU Pertembakauan yang banyak didorong oleh petani tembakau dan koalisi kepada DPR saat ini perlu diwaspadai oleh publik. Kecenderungan di Indonesia, dalam sektor apapun, dalam kebijakan apapun, menjelang Pemilu 2014, relasi bisnis politik saling menguat.

Perkawinan bisnis politik biasanya lahir saat momentum haram dana kampanye dari insentif keduanya bertemu dan lahir dalam bentuk investasi politik jangka panjang. Sayangnya aksi tersebut akan menyandera kebijakan publik, dalam konteks ini yaitu dalam bentuk jaminan kesehatan akan kebebasan dari asap rokok yang melemah. Bahkan dihilangkan, rokok tidak dibatasi, produksi rokok selalu meningkat setiap tahun.

Akibat dari kongkalikong kebijakan tersebut, jaminan kesehatan masyarakat menjadi tidak terjamin. Jumlah perokok di Indonesia sendiri Januari 2013 menurut Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menduduki peringkat ketiga di dunia setelah Cina dan India. Dengan jumlah perokok 62 juta pria dan 30 juta wanita, sedangkan jumlah perokok pasif mencapai 92 juta jiwa.

Dampak dari rokok, pada tahun 2012 menurut Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Ekowati Rahajeng, diperkirakan rokok menyebabkan kematian 300 ribu orang pertahun di Indonesia. Sedangkan di dunia diperkirakan meningkat menjadi 5,4 juta kematian per tahun atau satu kematian tiap 6,5 detik.

Memutus Rantai
Menyikapi kuatnya relasi bisnis politik di sektor tembakau menjelang Pemilu 2014 membutuhkan pengawasan publik yang ekstra. Bagaimana tidak, di Indonesia belum mempunyai UU tentang Konflik Kepentingan yang mengatur bagaimana hubungan pembuatan regulasi dan mitra antara politisi di DPR dengan industri atau pengusaha.

Di Amerika, UU ini cukup kuat dan detail ditambah dengan aturan kode etik yang sangat mengikat. Sehingga anggota DPR tidak berani main-main membuat kebijakan sesuai selera pengusaha atau industri.

Di Indonesia, banyaknya anggota DPR yang terjerat kasus di KPK biasanya selain korupsi anggaran dan suap dari mitra Komisi DPR yaitu pengusaha. Sebagai contoh terhangat adalah kasus impor sapi, di mana kebijakan ekonomi diatur oleh politisi dan pengusaha sebagai bentuk hasil kesepakatan politik bisnis yang kotor.

Kasus lain di DPR sebenarnya banyak, di mana anggota DPR yang mempunyai bisnis kesehatan seperti rumah sakit misalnya, akan banyak berada pada Komisi Kesehatan, anggota DPR yang memiliki sekolah akan duduk di Komisi Sekolah, anggota DPR yang berbisnis sektor keuangan akan berada pada Komisi keuangan dan seterusnya. Di Indonesia, hal ini belum diatur dalam UU sehingga peluang suap korupsi dan buruknya kebijakan publik terjadi berulang-ulang tanpa perbaikan berarti.

Oleh karena itu dalam pembahasan RUU Pertembakauan yang penuh kontoversi, semua pihak harus memantau dan sadar akan posisi dan kepentingan masing-masing. Misalnya dari sisi petani tembakau hal apa yang harus dijamin dengan jaring ekonomi yang kokoh, dari sisi masyarakat yang terkena dampak tembakau tentunya juga perlu diperhatikan jaminan kesehatannya, dari sisi industri juga perlu diatur terkait regulasi kebijakan yang tidak hanya mencari untung tetapi aspek kesehatan masyarakat diabaikan.

Akan lebih baik, jika tensi relasi bisnis tembakau jelang Pemilu 2014 tersebut diturunkan dengan membatalkan Prolegnas “siluman” terkait RUU Pertembakuan. Pertama, agar hasilnya mewakili kepentingan publik, bukan sepihak industri rokok, petani atau masyarakat peduli kesehatan. Kedua, agar menghindari transaksional politik berupa suap, rente, dan upaya menghimpun dana kampanye haram.Ketiga, dari segi legislasi harus sesuai aturan, tidak melanggar prosedur dan tahapan pembuatan legislasi di DPR.

Akhirnya, tidak ada kado terindah pada Hari Anti Tembakau sedunia dan selamanya ke depan selain pembatalan RUU Pertembakuan sebagai bentuk cara memutus rantai relasi bisnis politik yang mengancam jaminan kesehatan publik. Selain itu semoga Presiden sadar dan segera meratifikasi FCTC dari WHO tentang pengendalian tembakau dan rokok di Indonesia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar