Selasa, 04 Juni 2013

Bahasa Rahasia Koruptor

 Bahasa Rahasia Koruptor
Marwan Mas ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar,
Anggota Forum Dosen Majelis Tribun
Tribun Timur, 03 Juni 2013



Kekuasaan dan kewenangan yang besar, berpeluang untuk melakukan korupsi (power tends to corrupt). Begitulah teori yang membuat korupsi semakin marak, yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara lantaran terjadi pada hampir semua institusi negara. Tidak hanya eksis di pusat pemerintahan, tetapi telah mewabah ke daerah tanpa bisa dibendung.

Salah satu pemicunya, lantaran mahalnya biaya politik dalam mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung. Makanya, episentrum (akar) korupsi di negeri ini ternyata ada di ruang politik. Saat terdakwa korupsi dihadirkan memberi keterangan di depan sidang pengadilan, ada permainan bahasa yang cukup menarik perhatian. Muncul sejumlah “bahasa rahasia” yang dipakai berkomunikasi melalui telepon dalam upaya menggarong uang negara.

Dalam persidangan dugaan suap pengadaan daging sapi impor, muncul ungkapan “pushtun” dan “jawa syarkiah” yang konon merujuk pada perempuan Pakistan, Iran, atau Afghanistan, dan Jawa Timur. Itu salah satu percakapan antara mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq dengan Ahmad Fathanah. Tetapi banyak kalangan yang masih menduga-duga apa makna dari bahasa rahasia itu.

Memiliki Makna

Menelusuri persidangan para koruptor di pengadilan, sebenarnya kemunculan bahasa rahasia bukan sesuatu hal baru. Sudah didigunakan oleh Al-Amin Nur Nasution, mantan anggota DPR yang terlibat dalam kasus pengalih-fungsian hutan lindung di Sumatera. Al-Amin menyembunyikan berbagai fakta lewat kata-kata sandi yang diungkapkan kepada Sujud Suradjuddin. Ia mengganti kata “uang” dengan “baju atau tailor”. Ternyata mereka sedang memperbincangkan uang haram.

Dalam percakapan pengusaha Artalyta Suryani dan jaksa Urip Tri Guna-wan untuk mengatur persidangan di Pengadilan Tipikor, juga menggunakan bahasa rahasia alias bahasa sandi. Mereka menyebut dirinya sebagai “bapak dan ibu guru”, sedangkan hakim dipelesetkan sebagai “rektor”. Betapa cerdik sekaligus licik, karena bahasa rahasia itu digunakan saat keduanya ditahan menunggu persidangan, tetapi percakapannya disadap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Yang juga cukup heboh adalah percakapan via BBM antara Mindo Rosalina Manulang dengan Angelina Sondakh yang terlibat kasus korupsi Wisma Atlet. Ia menggunakan ungkapan "apel malang" untuk mengganti kata rupian dan "apel washington" untuk mata uang dolar AS. Tujuan dari permainan itu untuk menyembunyikan kejahatan lewat bahasa. Bukan sekadar menghaluskan kata "uang" dengan sandi yang pada awalnya hanya mereka sendiri yang paham maknanya.

Esensi dari perbincangan korupsi berbias arah substansinya, sehingga perlu dilihat secara jernih sebagai sebuah pembelajaran. Kode komunikasi itu merupakan hubungan kekerabatan interpersonal yang secara formal digunakan untuk mencoba mengelabui KPK, polisi, dan kejaksaan salam melakukan penyidikan.

Tentu saja tidak semua bahasa rahasia itu gampang dibedah maknanya, apalagi terdengar begitu santun dan halus. Tetapi karena hakikat bahasa yang selalu ada maknanya, maka serahasia bagaimanapun selalu dijadikan sebagai alat berkomunikasi. Semuanya dimaksudkan agar terjadi pengaburan, hanya para koruptor dan kroninya yang bisa memahami maksudnya.

Setiap bahasa rahasia (sandi) selalu ada kuncinya. Maka itu, para penegak hukum juga harus memahami permainan bahasa para koruptor bersama kaidah pembentukannya. Bagi preman jalanan juga punya bahasa khusus untuk merumitkan ungkapan-ungkapan yang mereka buat. Tetapi bisa dikiaskan, sepandai-pandai koruptor menyembunyikan bahasa busuk, sewaktu-waktu akan terendus juga.

Tidak Sembarangan

Menyimak perlawanan sejumlah petinggi PKS atas penanganan kasus dugaan suap dalam kebijakan impor daging sapi, sebetulnya bisa dipahami karena merupakan reaksi alamiah jika disudutkan. Hanya saja, yang membuat publik gerah karena menuding langkah KPK melakukan "festival pemberantasan korupsi". Padahal KPK selama ini selalu berjalan di rel hukum yang dapat dilihat pada reputasi penuntut KPK dalam membuktikan dakwaannya di depan sidang pengadilan.

Dalam berbagai diskusi publik di media elektronik, Juru Bicara KPK Johan Budi selalu menghindar masuk ke ranah substansi hasil penyidikan. Sebab KPK selalu dituding tidak memiliki bukti yang kuat, sehingga Johan Budi selalu mengelak bahwa lihat saja nanti pada pembuktian di pengadilan.

KPK tidak sembarangan dalam penyidikan, sebab saat semua alat bukti yang dimiliki dibeberkan dalam sidang, ternyata yang mengeritik jadi bungkam. Tudingan penyidikan KPK tidak rasional dan sangat gegabah, bisa berbalik arah. Termasuk saat bahasa rahasia yang disadap dari percakapan telepon para koruptor, malah bisa membuat muka koruptor dan para penuding jadi merah karena malu dan tidak kuasa disangkal. Makanya, sikap dan tudingan miring bisa jadi bumerang yang kontraproduktif.

Kenapa bahasa rahasia dan berbagai persoalan yang mestinya tidak perlu diungkap, tetapi terpaksa diperdengarkan di pengadilan lewat rekaman percakapan karena untuk membalikkan penyangkalan terdakwa. Begitulah ketentuan Pasal 26A UU Nomor 20/2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi) yang memperluas makna alat bukti “petunjuk”.

Alat bukti “petunjuk” menurut Pasa 188 ayat (2) KUHAP diperoleh dari “keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa”. Tetapi dalam Pasal 26A UU Korupsi diperluas, yaitu dapat juga diperoleh dari “informasi dan dokumen”. Informasi adalah “yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu”.

Sedangkan dokumen adalah “setiap rekaman...yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar... yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna”. Bahasa rahasia dalam melakukan transaksi suap atau mengakali anggaran negara, termasuk alat bukti petunjuk. Bantahan dan opini yang gencar diumbar untuk mereduksi langkah KPK, bisa membuat malu dan jadi bumerang. Tetapi begitulah fenomena korupsi politik, selalu berkonsekuensi sensitif yang akan memicu perlawanan dari ranah politik pula. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar