Sabtu, 01 Juni 2013

Menakar Sikap Pemilih Makassar

 Menakar Sikap Pemilih Makassar
 Asri Abdullah; Peneliti IDEC 
(Indonesian Development Engineering Consultat Makassar)
Tribun Timur, 3 Mei 2013


 Kini Makassar tengah berubah. Jalan protokol yang dulunya sepi, kini ramai dipenuhi spanduk, poster, dan baliho kandidat wali kota. Tidak hanya jalan, ruang publik, kendaraan umum dan pribadi, tak luput dari media sosialisasi kandidat. Makassar kemudian menjelma menjadi ‘kota seribu wajah’. Kota dengan begitu banyak wajah calon Wali Kota Makassar 2013.

Se-juta lebih pemilih Kota Makassar kini disibukkan dengan beragam pilihan calon wali kota. Lembaga Riset di Makassar, Indonesia Development Engineering Consultant (IDEC) mencatat 35 kandidat menyatakan keinginannya maju sebagai calon Wali Kota Makassar 2013. Walaupun pada akhirnya hanya beberapa yang menyatakan serius, dan beberapa lainnya menyatakan mundur.

Pilkada di beberapa kota di Indonesia banyak memberikan dampak positif dan negatif bagi daerah. Mengingat sistem politik di Indonesia berbiaya tinggi (high cost) mengakibatkan perputaran uang semakin tinggi jika mendekati pilkada. Dengan begitu, kandidat mesti menyiapkan ribuan poster, baliho, dan spanduk untuk mengenalkan diri mereka ke pemilih. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk tim sukses dan berbagai kegiatan yang dilaksanakan untuk mendekati hati pemilih.

Selain itu, momentum politik juga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Profesi sebagai tim sukses pun bermunculan di setiap kompleks/perumahan. Pilkada juga turut meramaikan lorong-lorong atau gang-gang yang dulunya sepi. Berbagai kegiatan pun digelar jika dikunjungi kandidat. Masyarakat juga tak ketinggalan memanfaatkan momentum pilkada dengan mendadak menjadikan obrolan politik sebagai obrolan sehari-hari. Termasuk tumbuhnya beberapa lembaga survei.

Suatu ketika penulis melihat sekumpulan tukang ojek sedang berdebat mengenai calon wali kota yang mereka dukung. Sekumpulan dari mereka alot berdebat mengunggulkan calon yang mereka dukung. Keseriusan mereka tampak saat seorang penumpang tak dilayani.

Bukan hanya di pangkalan ojek saja. Bahkan ibu-ibu arisan pun menjadikan obrolan politik menjadi obrolan mereka. Semua orang tiba-tiba melek politik. khususnya masyarakat kelas bawah. Seperti inilah potret kehidupan kelompok bawah menyikapi pesta demokrasi yang digelar lima tahun sekali di Makassar.
Pilkada memang mengisahkan beribu cerita yang menarik menjadi bahan diskusi. Khususnya di Pemilihan Wali Kota Makassar. Berbagai tawaran konsep pembangunan kota pun menjadi tawaran para kandidat. Visi membangun kota dunia menjadi konsep yang banyak dipilih. Berharap menjadi pelanjut Ilham Arief Sirajuddin, Wali Kota Makassar dua periode.

Selain visi kandidat, kampanye gratis menjadi kalimat sakti yang digunakan kandidat merebut simpati pemilih. Khususnya pemilih yang belum sejahtera. Seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan listrik gratis. Kata gratis menjadi janji yang akan dilaksanakan jika terpilih nanti. Janji seakan menjadi syarat ketika calon bertemu dengan kontituennya.

Arus BawahBerdasarkan hasil Survey Independen IDEC: Wali Kota Harapan Warga Makassar,  pada April 2013, tenyata harapan pemilih sangat jauh dengan apa yang menjadi harapan kandidat dalam membangun Kota Makassar. Kota Dunia yang diusung oleh beberapa kandidat tak banyak dipahami pemilih. Pemilih lebih berharap kebutuhan dasar mereka bisa terpenuhi. Seperti tempat tinggal yang layak, pendidikan, kesehatan, dan tata ruang kota yang lebih manusiawi.

Dari puluhan kandidat, tak satupun kandidat yang merencanakan bagaimana penanganan sampah, banjir, macet, tata ruang dan kemiskinan yang merupakan masalah serius di kota Makassar. IDEC mencatat harapan warga Makassar terhadap persoalan kota Makassar yang harus dibenahi segera yakni sampah 28,06 %, banjir dan kemiskinan  17,60 % serta macet 13,78 %.

Disparitas rencana pembangunan Kota Makassar versi kandidat dan masyarakat merupakan ironi demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kuasa. Ketidakpahaman kandidat terhadap pemilih mengindikasikan kandidat hanya menilai pemilih sebagai angka-angka suara saja. Bukan sebagai manusia yang memiliki hak politik. Kandidat tidak melihat warga Makassar sebagai pemilih yang mesti dilayani untuk keluar dari setiap persoalan sosial yang dihadapi.

Padahal, warga Makassar khususnya masyarakat kelas bawah merupakan warga yang paling antusias terhadap proses politik Pilwali Makassar. Antusias warga masyarakat bukanlah tanpa dasar. Masyarakat arus bawah tentunya menaruh harapan besar pada pesta demokrasi kali ini untuk mengangkat kesejahteraan mereka.

Pemilih GolputBerdasarkan data KPU Sulsel, pemilihan Gubernur Sulsel 2013, angka pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya (Golput) di Makassar yakni 39.46 %. Angka partispasi terendah berada di 3 kecamatan yakni kecamatan Tamalanrea (50.18%), Panakukang (56.49%), dan Wajo (56.81%). Di tiga kecamatan tersebut merupakan kawasan pemukiman kelas menengah ke atas.

Setidaknya preferensi di atas menjadi alasan bahwa kelas bawahlah yang menjadi penentu kemenangan kandidat. Antusiame kelas bawah sangat bertolak belakang dengan sikap politik kelas menengah ke atas. Kelas menengah justru apatis terhadap Pilwali Makassar. Ada banyak hal yang mempegaruhi, diantaranya sibuk, dan menganggap siapapun terpilih tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Hal ini disebabkan karena kelas menengah ke atas tak mempersoalkan lagi kebutuhan dasar hidup mereka.
Partispasi kelas bawah menunjukkan keseriusannya memberikan hak suaranya. Karena begitu besar harapan mereka terhadap pemimpin yang akan memberikan kebaikan bagi kehidupan mereka. Terkhusus dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya.

Sikap politik masyarakat bawah sangat bergantung terhadap kandidat. 66,07 % pemilih mengharapkan kandidat turun langsung ke masyarakat dengan mendengar langsung keluhan pemilih.
Pemilihan Wali Kota Makassar di tahun 2013 seharusnya menjadi momentum perbaikan demokrasi di Makassar. Tidak hanya mengutamakan demokrasi prosedural tanpa melupakan subtansi demokrasi. Pentas demokrasi sebaiknya juga tidak hanya menjadi ajang pamer wajah melalui baligho dan spanduk yang menghiasi setiap ruas jalan. Yang pada akhirnya hanya melahirkan demokrasi basa-basi.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar