Sabtu, 01 Juni 2013

Efek Pospornografi Lady Gaga(L) Konser

 Efek Pospornografi Lady Gaga(L) Konser

 Damang Averroes Al-Khawarizmi; Peneliti Republik Institute
dan Co-Owner negarahukum.com 
Fajar, 30 Mei 2012



Minggu pagi, 27 Mei benar-benar menyudahi pro dan kontra konser Lady Gaga. Diva asal Amerika itu akhirnya gagal manggung di Indonesia karena alasan keamanan. Kepolisian pun menjadi sarang “caci maki” karena dianggap tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga konser yang sedianya dihelat 3 Juni, gagal terlaksana.

Di balik pembatalan konser Lady Gaga, ada pemutarbalikan, pembauran, tarik- menarik kepentingan antara nilai etik, moral dengan estetika, dan seni terhadap aksi kebiasaan manggung sang idola. Lady Gaga memang kerap tampil sensual, dan erotis, mengindikasikan bahwa tubuh bagi artis pendukung dan pejuang gay itu adalah sebuah nilai komoditas.

Penonton konser Lady Gaga, baik melalui televisi maupun konser, dapat menyaksikan secara langsung liukan tubuhnya. Para fans (baca: pemuja) secara tidak sadar telah terperosok dalam pemujaan hasrat sensual, menuhankan tubuh, menuhankan sensual dari tubuh moles, sintal, dan langsing milik diva asal Amerika itu.

Nilai jual tubuh Lady Gaga sangat mahal. Setiap dia manggung tidak terlepas dari pro kontra. Berawal dari Lady Gaga yang pernah membangun musik berkarakter elektro pop. Kemudian dikeluarkan setelah bergabung tiga bulan, sebelum selesai proyek album yang ditawarkan padanya. Pemecatan ini membuatnya kecewa berat, dan membuatnya mengenal kehidupan malam di Lower East Side.

Dipicu kekecewaannya dalam proyek album tersebut membuat Lady Gaga merevolusi seni, revolusi hasrat termasuk revolusi tubuh, hingga membawa namanya tercatat dalam 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Time, artis terbaik 2010 versi Billboard, dan peringkat satu dari 100 selebriti paling berkuasa dan berpengaruh di dunia versi majalah Forbes. Selain itu, dia sudah memperoleh 5 Grammy Awards di bidang musik, dan penjualan album yang fantastis di seluruh dunia.

Kemenangan Lady Gaga hingga dikenal jutaan penduduk dunia, tidak luput dari deteritorialisasi media, kecepatan waktu, dan cybermedia yang memainkan popularitasnya. Tubuh seksi dan wajah eksotiknya menghipnotis para penggemarnya. Tubuh, media, ekonomi, dan hasrat telah bersimbiosis dalam bentuknya yang artificial. Sebuh konsep libidonomi ketika sistem ekonomi, yang di dalamnya terjadi eksplorasi secara ekstrem.

Lady Gaga telah menjadi alat ideologi libidonomi kapitalis yang menjadikan tubuhnya sebagai “titik sentral” dalam produksi dan reproduksi ekonomi serta pembiakan kapital. Jean Baudlirrad mengemukakan di dalam Seduction, gejala demikian menunjukan bahwa kekuatan tubuh khususnya tubuh perempuan di dalam masyarakat capital, terletak pada kekuatan rayuan yang dimilikinya. Yaitu kemampuan mengeksplorasi secara bebas tanda-tanda dirinya untuk menghasilkan daya pikat dan pesona.

Pospornografi
Tubuh perempuan seperti Lady Gaga adalah bagian dari produk kapital yang laris terjual dalam masyarakat postmodern. Apalagi dengan pembiasan nilai etik dan moral terhadap estetik pornografi. Persepsi negatif terhadap pornografi dipakem dalam tata aturan seni. Seni yang maih wajar, sehingga pertunjukan manggung dengan tubuh terbuka masih dalam batas wajar. Pornografi telah mengalami reduksi dalam dirinya hingga mengalami apa yang disebut pospornografi.

Komodifikasi tubuh melalui media, modal sebagai sarana pelepasan hasrat kapital pada akhrinya telah mereduksi peniadaan batas-batas etika, agama, budaya, moral dengan estetika/seni. Pornografi telah mengikut serta dalam budaya hyper, postrealty, multiplicity sehingga terjadi penihilan kekuatan agama, moral dan etik untuk membatasi seni yang “porno”. Inilah sutu keadaan ketika pornografi telah berada di puncak karier “kejayaan” dan kesuksesanya melakukan hybridisasi dengan kapitalisme. Sebuah situasi yang disebut pospornografi.

Penciptaan tanda dan pemujaan tubuh melaui bagian tubuh-tubuh tertentu seperti rambut, wajah, hidung, bibir, lipstik, payudara, kulit mulus, juga tidak terlepas dari sumbangsi pospornografi dalam “semotisasi tubuh”. Dengan pospornografi, bagian komunitas sosial tertentu telah melupakan identitas lokalnya sebagai sebuah bangsa yang beradab, religius, dan penuh tata krama, serta sopan santun.

Penolakan Lady Gaga dianggap sebagai sikap tidak toleran, tidak mengakui keanekaragaman (multiplicity). Banyak pengamat, terutama penggemar Lady Gaga mengaku, bahwa ini awal dari bangsa ini tidak akan dilirik lagi sebagai negara teritori investor. Etika dan moral pelak, tak signifikan lagi, ketika kebesaran negara terlalu dipentingkan dari pada identitas negara yang mempunyai peradaban tersendiri.

Hilangnya batas-batas dan opini tentang tidak pentingnya lagi filterisasi budaya barat, merupakan penciptaan keadaan yang bias pada wilayah teks agama, teologik dan budaya bangsa. Pospornografi telah menjadi senjata “pemusnah massal”, bahwa etika, moral, dan penghargaan terhadap identitas tubuh bukan domain yang perlu diulas. Jauh lebih penting adalah menjadi bangsa yang memiliki industri besar. Karena negara yang diperhitungkan, hanya negara maju, negara industri.

Pospornografi nyatanya menciptakan kesia-siaan, kondisi banal, pemuasan hasrat tanpa makna. Apa artinya menghadiri konser Lady Gaga di Singapura, kemudian ratusan hingga jutaan rupiah uang ludes, hanya untuk melihat wajah eksotik nan erotis Lady Gaga sedang manggung.

Lalu mengapa pula banyak sekali fans Lady Gaga meneteskan air mata karena tidak bisa melihat wajah idolanya? Bagaimana pula penggemar yang rela melakukan pekerjaan serabutan, membuka celengan (baca: tabungan) untuk mendapatkan tiket harga konser itu? Apa yang didapatkan dari semua kegelisahan hasrat demikian? Jawabanya adalah sebuah kondisi pemuasan hasrat banal. Pemuasan hasrat yang sia-sia saja. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar