Sabtu, 01 Juni 2013

Banalitas Kekerasan Politik dan Postspiritualitas Partai Agama

Banalitas Kekerasan Politik 
dan Postspiritualitas Partai Agama
 Bahrul Amsal; Alumnus UNM, 
Pengurus Badko HMI MPO Sulambanusa
Tribun Timur, 30 Mei 2013



Pada dua puluh mei kemarin, bangsa indonesia baru saja memperingati hari kebangkitan nasional. Momen yang merefleksikan sikap bangsa atas sejarah hari lahirnya Boedi Utomo dan Sumpah Pemuda. Sikap kebangkitan atas keterjajahan yang dialami Indonesia dari bangsa-bangsa penjajah terdahlu. Jika ditilik dari sejarah, bangsa Indonesia telah memperingatinya selang selama seratus lima puluh tahun. Dimana bukan waktu yang singkat dalam proses pendewasaannya. Artinya bangsa Indonesia bukan lagi bangsa yang kerdil dan kecil, melainkan bangsa yang selalu tumbuh besar dan  memetik pelajaran ditiap tahunnya untuk menampil perbaikan dari waktu kewaktu. Namun jika kita melihat kenyataan bangsa Indonesia di waktu sekarang, rasa-rasanya bangsa Indonesia banyak mengalami cobaan yang menghambatnya untuk menjadi bangsa yang digdaya. Banyak hal yang membuat kita miris. Salah satunya adalah bidang perpolitikan.
Politik sejatinya adalah penyelenggaraan kekuasaan negara dalam rangka untuk menetapkan tujuan dari suatu kebijakan. Dengan tujuan untuk mengikat kepentingan bersama dalam rangka pemenuhan hak-hak dari seluruh masyarakat. Dalam hal ini selama politik dijalankan atas etika pemenuhan hak-hak rakyatnya, maka suatu bangsa telah menyelenggarakan kekuasaannya dengan baik atas dasar kepentingan bersama.

Tetapi apa yang banyak kita simak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maupun apa yang diberitakan oleh media-media massa justru sebaliknya. Peragaan parlemen yang sering kita saksikan adalah ilustrasi perpolitikan yang banal dan dangkal. Dalam pengertian ini, anggota-anggota dewan sebagai the second hand Politic menampilkan perayaan akan matinya nalar etis berpolitik.

Banalitas Kekerasan Banalitas kekerasan pertama kalinya dibilangkan oleh seorang filsuf politik kontemporer Hanna Arend dalam mengkonseptualisasikan situasi pelaku kekerasan yang tak memiliki tanda-tanda pernah berbuat tindak kekerasan. Hal demikian dilihatnya bahwa seorang pelaku kekerasan merasa wajar berbuat demikian (kekerasan) karena mendapatkan legal prosedural dari sistem yang menyituasikannya. Atau dengan kata lain suatu mekanisme kekerasan dapat terjadi berkat adanya dukungan kekuasaan yang membenarkannya.

Apa yang menghebohkan kita dari penyelenggaraan politik tanah air, dengan banyaknya kasus yang menjerat para pelaksana mandat politik rakyat, mendapatkan ilustrasinya dari apa yang dinyatakan oleh Hanna Arendt di waktu yang lain sebagai thoughtlessness (ketiadaan Pikiran).  Thoughtlessness adalah keadaan dimana penyelenggaraan kekerasaan atau kejahatan yang oleh pelaku dilakukan dengan kondisi psikis dan pikiran yang tampak biasa-biasa saja. Dimana kejahatan yang terjadi, dilakukan pada saat normal seperti manusia biasa pada umumnya, tanpa menyadari bahwa apa yang sebenarnya sedang dilakukan adalah sebuah tindak kejahatan.  Bisa kita bayangkan, di saat sedang menjalankan tugas sebagai seorang wakil rakyat yang notabene adalah warga pilihan, seorang koruptor dengan leluasanya menjalankan aksi kejahatannya tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang yang akan di alami oleh Negara dan keberlangsungan hajat orang banyak. Lebih mengecewakan lagi, ketika diproses dan diberikan tindak hukum, dijalani dengan berpenampilan seperti orang yang normal dan tampak lugu.

Bisa kita lihat dari banyaknya kasus-kasus korupsi yang menimpa elitet parpol di Tanah Air, yang selama menjalani proses hukum berpenampilan seperti orang yang tak  pernah melakukan kejahatan apapun. Yang mana kesan yang diperankan seperti orang yang tampak religius, bermoral, taat hokum dan lain sebagainya. Salah satu contohnya adalah kasus dagang sapi yang menimpa salah satu kader partai yang berlabelkan agama di tanah air akhir-akhir ini. Kasus yang turut melibatkan perempuan-perempuan cantik, perhiasan, uang dan mobil ini merupakan penanda bahwa kekerasan politik yang dilakukan memiliki spektrum yang luas dengan dukungan kekuasaan di dalamnya. Kekerasan yang berlangsung mendapatkan legitimasinya dari embel-embel agama di belakangnya. Sehingga kekerasan yang ditampilkan adalah kejadian yang tampak normal akibat polesan dari yang berbau agama.

Postspritualisme Agama Apa yang dimaksud dengan postspiritualisme adalah keadaan dimana nilai-nilai dari suatu agama baik etis, moral, hukum, dan spritualitas mengalami kelampauan dari agama itu sendiri. Atau dengan bahasa yang lebih sederhana, terbalik dan terjungkirnya sistem tatanan nilai yang dimiliki oleh ajaran yang di anut oleh para penganut suatu agama. Dimana terjadi kekaburan pemaknaan antara yang hak dan yang bathil, yang bermoral dan yang amoral, yang sakral dan yang profane maupun yang halal maupun yang haram.

Dari kasus yang menimpa salah satu partai agama di negara ini, merupakan kondisi yang menjungkirbalikkan seluruh proses edukasi politik dalam era demokrasi sekarang ini. Partai yang merunut seluruh visi misi politiknya berdasarkan suatu ajaran agama, mendapati dirinya dalam situasi yang tragis. Tentu demikian, karena partai yang bernafaskan agama, notabene adalah partai yang dianggap mengemban amanah politiknya berdasarkan prinsip-prinsip yang berasal dari agama yang bersangkutan. Dimana figur-figur yang ada adalah orang-orang yang dipilih dan dianggap mampu menjalankan amanah berdasarkan prinsip-prisnsip etis agamanya.

Namun apa yang dihadapi sekarang merupakan kenyataan yang sungguh mengenaskan. Oleh sebab terbaliknya apa yang dijargonkan dengan apa yang dilaksanakan. Keadaan ini secara kebudayaan adalah cermin buruk yang mengekspresikan dari apa yang di bilangkan oleh Yasraf Amir Pilliang sebagai dromologi politik. Yang mana penggambarannya dapat kita simak yakni, terjadinya pembalikkan dengan percepatan tiada tara atas nilai-nilai etis dalam dimensi politik. Sehingga nilai-nilai yang dianut dalam penyelenggaraan politik mengalami erosi penandaan dengan terjadinya pendangkalan arti dan kehilangan makna secara cepat.
Sehingga dari apa yang kita saksikan dalam pelaksanaan demokrasi pada perpolitikan kita adalah keadaan yang kehilangan rujukan nilainya. Oleh karena perpolitikan yang dalam mekanisme dan pengaplikasiannya ditampilkan dalam hingar binggar yang sarat kehampaan. Dimana efek dari keadaan demikian adalah degradasi yang membawa masyarakat pada keadaan yang bisa jadi berujung pada sikap apolitis. Hal ini dimungkinkan dengan  sebab maraknya letusan bencana yang menimpa para elit parpol selama ini. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar