Sabtu, 01 Juni 2013

Belajar Toleransi dari Banuroja

Belajar Toleransi dari Banuroja
 Damang Averroes Al-Khawarizmi; Peneliti Republik Institute
dan Co-Owner negarahukum.com 
Fajar, 4 Juli 2012




PENULIS tak pernah memikirkan sebelumnya akan menemukan sebuah desa yang rukun, damai. Penduduknya tidak ada yang bertikai, tidak terjadi konflik etnis atas nama agama, konflik horizontal, saling memperebutkan tafsir “Tuhan tunggal” buat mereka.
Tapi, rupanya masih ada negeri yang bisa menjadi guru untuk mengajarkan sikap saling menghargai sesama, dan budaya toleransi yang tinggi. Negeri itu adalah sebuah desa kecil yang terletak di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, Kecamatan Randangan Desa Banuroja.

Walaupun kampung ini dihuni empat kelompok etnis dari negeri berbeda; Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo dan Jawa, hingga sekarang belum pernah terdengar konflik dari mereka. Padahal jika ditelisik lebih jauh, di sana ada empat agama (Islam, Kristen, Hindu dan Buddha) dengan tempat peribadatan yang saling berdekatan.

Saat memasuki Desa Banuroja, tidak ada yang lebih mencorong daripada bangunan sebuah pura besar yang dikelilingi pura-pura keluarga berukuran lebih kecil. Tapi suasana Hindu itu berakhir di depan bangunan sekolah dengan tulisan mencolok pada salah satu temboknya; Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah.

Posisi Pohuwato yang berbatasan Sulawesi Tengah juga menarik diperhatikan. Ketika konflik bernuansa agama di Sulawesi Tengah merembet ke sejumlah wilayah di Sulawesi, ia tak mampu menembus Pohuwato. Hal ini terjadi karena tokoh-tokoh agama Pohuwato punya kesadaran cukup tinggi. Mereka paham bahwa konflik di Palu awal 2000-an adalah konflik kepentingan elite yang mengorbankan rakyat jelata dengan menggunakan simbol-simbol agama.

Menurut Kepala Desa Banuroja, Abdul Wahid awal mula terbentuknya kata Banuroja adalah berdasarkan hasil konsensus dari semua warga. Banuroja adalah singkatan dari Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, dan Jawa.Abdul Wahid sendiri hanya tamatan SMA. Tapi, kepala desa itu memiliki style dan paradigma setingkat Abdurrahman Wahid yang sangat menghargai perbedaan. Kepala desa yang mengakui pluralisme.

Dengan latar belakang dosen ilmu hukum, penulis yakin bahwa warga Banuroja tentulah tidak tahu benar konstitusi yang mewajibkan untuk saling menghargai perbedaan seperti termaktub dalam Pasal 29 UUD 1945. Tapi, kenapa tidak ada permusuhan di antara mereka seperti di Ambon, Poso dan beberapa daerah yang menyulut konflik hanya karena atas nama agama? Semua itu pastilah didasarkan oleh karena “kesadaran personal” warga Banuroja semua. Mereka sadar bahwa mereka butuh negeri, desa yang aman dan tenteram.

Di sinilah hukum dalam kajian sosiologis dan antropologi bukan sekadar dilihat semata dalam undang-undang. Hukum bukan logika dan matematika, melainkan pengalaman sebagaimana disatir Oliver W Holmes.Hukum adalah perilaku. Perilaku warga desa Banuroja yang sadar (Identification: HC Kelman) pentingnya nilai-nilai. Patut untuk saling toleransi antar-sesama. Hukum mereka bukanlah lahir dari setumpuk aturan perundang-undangan, tetapi lahir dari perilaku hukum mereka. Pengalaman mereka bermasyarakat.

Perilaku hukum itu tampak di antara mereka pada saat pembangunan tempat peribadatan. Tidak ada yang berpandangan, bahwa ini bukan masjid kami, bukan gereja kami, bukan wihara kami. Semua sadar secara bergotong royong untuk saling membantu hingga tempat ibadah mereka masing-masing selesai terbangun. Sebuah kesadaran toleransi yang santer diperjuangkan oleh negeri kecil ini di tengah gempuran media yang semakin hari banyak memberitakan konflik atas nama SARA.

Perilaku hukum mereka adalah hukum yang sadar akan toleransi begitu urgen disematkan sebagai negeri yang tahu “bhineka tunggal ika” sekalipun warga setempat tidak pernah membaca tafsir filsufis pancasila untuk mengakui kemajemukan. Di sinilah membuktikan bahwa hukum itu lahir dari masyarakat (ubi society ibius), hukum sebagai jiwa masyarakat, jiwa bangsa (Volkgeist: Carl V Savigni), hukum adalah pencerminan masyarakat.

Ada kesadaran toleransi yang juga tak kalah menariknya di Desa Banuroja. Dari hasil pembicaraan lepas penulis dengan pemangku Kepala Desanya. Katanya, saat umat Muslim melantunkan azan, melaksanakan salat berjemaah, melaksanakan zikir, maka mikrophon dari wihara pemeluk agama Hindu di sebelahnya, tidak diperbesar suaranya.

Bagi penulis, di sanalah “ruh” kebhinekaan yang sejati. Karena itu, silakan berkunjung ke Banuroja untuk belajar toleransi beragama. Kita dapat merasakan Tuhan benar-benar membumi. Ketika mereka sadar untuk tidak saling menyerang tempat peribadatan. Saling toleran ketika pemeluk di sebelahnya sedang melaksanakan ibadah.

Tidak terlepas juga dari kepala desa Banuroja, yang mengangkat ketua BPD dari tokoh agama Hindu kemudian anggota BPD-nya ada yang beragama Nasrani, bahkan Pendeta, Muslim, seorang Uztaz. Dengan alasan, katanya ketika ada dana untuk pembangunan, cukup tokoh-tokoh ini yang akan menyampaikan program kerja itu kepada para umatnya.

Desa Banuroja, hemat penulis adalah Indonesia kecil yang mampu menjadi cikal-bakal toleransi dan perilaku hukum untuk “taat” menjalankan hukum masing-masing tanpa memaksakan tafsir “Tuhan tunggal” terhadap pemeluk agama berbeda.
Negeri Indonesia yang besar, di nusantara ini dengan masyarakat yang majemuk, mesti belajar cara bertoleransi dari negeri yang kecil ini. Di sanalah terdengar kedamaian ketika suara azan terdengar merdu diiringi suara lonceng gereja dan pujian Tuhan buat pemeluk agama Hindu yang sedang melaksanakan ibadah di pura-pura mereka.

Sejatinya, kata yang tepat bagi mereka, aku cinta pada kalian, namun aku tetap pasrah pada Tuhanku. “Sesungguhnya ketaatan yang diridai oleh Allah adalah agama yang pasrah.” (*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar