Selasa, 04 Juni 2013

Kawasan Tanpa Asap Rokok Kurangi Beban Masyarakat

Kawasan Tanpa Asap Rokok
Kurangi Beban Masyarakat
Nurul Nadia HW Luntungan;   Tobacco Treatment Specialist
  Tribun Timur, 04 Juni 2013




Selama ini, merokok telah menjadi bagian dari gaya hidup dan dianggap sebagai kebiasaan yang membudaya. Angka perokok di dunia telah mencapai 1,3 miliar jiwa dimana 84% perokok ini berasal dari negara miskin dan berkembang. (Michael Eriksen, 2012) Indonesia sendiri telah meraih peringkat ketiga negara dengan jumlah perokok tertinggi setelah Cina dan India. Pada tahun 2011, jumlah perokok aktif di Indonesia telah mencapai angka 60 juta jiwa, di mana sebagian besar perokok ada pada usia produktif dan memulai merokok pertama kali pada usia 15-19 tahun. (Indonesia Ministry of Health, 2012)

Saat ini rokok telah terbukti sebagai penyebab kematian 50 juta jiwa di dunia dalam 10 tahun terakhir, penggunaan produk tembakau yang seringkali dikaitkan dengan peninggalan budaya bangsa ini telah menyebabkan setidaknya 600,000 kematian di Indonesia pada tahun 2008. (Nurul Luntungan, 2011) Selain itu, di saat cukai rokok memberikan sumbangsih sekitar 55 triliun rupiah, kerugian ekonomi yang diterima akibat pembelian rokok, biaya perawatan, dan kehilangan produktivitas akibat penyakit terkait rokok mencapai 231,27 triliun rupiah. (Kosen, 2009)

Besarnya jumlah konsumsi rokok di Indonesia ini tanpa disadari telah menjadi beban bagi masyarakat dan juga pemerintah. Tidak hanya berbahaya bagi kesehatan, kebiasaan merokok juga memperburuk tingkat kemiskinan dimana mayoritas perokok di Indonesia adalah kelompok kpetani, nelayan, dan buruh. Pada kelompok ekonomi sosial terbawah, anggaran belanja keluarga yang dikeluarkan untuk rokok telah 3 kali lebih tinggi dari pengeluaran untuk pendidikan dan 4.3 kali lipat dari biaya kesehatan. (Tobacco Control Support Center, 2010)

Tidak hanya merugikan perokok, kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya asap rokok juga telah memberikan dampak negatif pada bukan perokok. Asap rokok di udara yang merupakan campuran asap rokok utama, asap yang dihembuskan perokok , dan asap rokok sampingan, asap rokok kedua dari asap hasil ujung pembakaran rokok, mengandung 7000 racun dengan 69 kandungan yang telah terbukti menyebabkan kanker. (Michael Eriksen, 2012) (Tobacco Control Support Center, 2010) Di saat penelitian telah membuktikan banyaknya penyakit yang terkait oleh asap rokok, seperti berat lahir rendah, infeksi saluran pernapasan, kematian mendadak pada bayi, dan penyakit lainnya seperti kanker dan serangan jantung, 90 juta penduduk di Indonesia telah terpapar asap rokok di rumahnya pad atahun 2010. (Tobacco Control Support Center, 2010) Angka perokok pasif ini pun meningkat drastis menjadi 133,3 juta jiwa pada tahun 2011. (Indonesia Ministry of Health, 2012)

Sebagai upaya untuk pengendalian bahaya asap rokok ini, Kawasan Tanpa Rokok (KTR) pun telah dicanangkan sebagai usaha pengendalian yang tidak hanya melindungi bukan perokok, tapi juga diharapkan akan memberikan keuntungan bagi para perokok. Perlu digarisbawahi KTR ini bukanlah usaha melarang orang untuk merokok apalagi memaksa orang untuk berhenti merokok, tapi hanyalah usaha pengendalian bahaya asap rokok. Pada area KTR, perokok dilarang untuk merokok di dalam ruangan sehingga paparan asap rokok tidak membahayakan orang lain. Namun, larangan merokok di dalam ruangan ini tidak hanya telah secara konsisten terbukti melindungi perokok pasif dari paparan asap rokok, tetapi juga terbukti memberikan keuntungan ekonomi akibat peningkatan produktivitas dan penurunan biaya yang harus dikeluarkan akibat penyakit terkait asap rokok. (Stillman, 2012)

Pemerintah Indonesia pun akhirnya telah mengeluarkan UU No.36 Tahun 2009 yang menyatakan rokok sebagai zat adiktif dan Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk ketersediaan akses informasi dan edukasi terkait bahaya dan pengendalian tembakau serta penetapan pelaksanaan Kawasan tanpa Rokok pun telah tercantum dalam peraturan tersebut. Meskipun demikian, dari 496 kabupaten dan kota di Indonesia, baru ada 15 kabupaten/kota yang memiliki Perda dan 23 peraturan terkait KTR.

Keberhasilan KTR untuk memberikan perlindungan maksimal bagi masyarakat memerlukan komitment dan dukungan penuh, baik dari pemerintah maupun seluruh kalangan masyarakat. Komitmen politik, intervensi dari industri rokok, penerimaan masyarakat umum, dan penegakkan aturan yang berlaku merupakan tantangan pelaksanaan kebijakan Kawasan Tanpa Asap Rokok . (Samet, 2012) Meskipun demikian, kesuksesan berbagai negara di dunia untuk melindungi warganya dari bahaya paparan asap rokok membuktikan bahwa implementasi KTR bukanlah mustahil atau pun tidak berguna bila diterapkan di negara berkembang.

Apabila sudah dijalankan, penerapan KTR pada akhirnya tidak hanya akan memberikan dampak positif pada bukan perokok tetapi juga pada masyarakat umum secara luas. Bagi para perokok, kebijakan ini dapat membantu mereka yang ingin berhenti merokok atau mengurangi jumlah rokoknya. Bagi perokok yang ingin berhenti merokok, adanya KTR akan meningkatkan kemungkinan mereka untuk berhasil berhenti merokok. (Samet, 2012) Sehingga, beban kesehatan dan ekonomi akibat konsumsi rokok pun akan menurun. Sedangkan untuk bukan perokok, paparan asap rokok mereka akan menurun sampai lebih dari 90% . Hal ini tentu saja akan memberikan keuntungan yang besar bagi bukan perokok, dimana sebagian besar perokok pasif adalah perempuan dan anak-anak.

Namun pada pelaksanaannya, penerapan KTR ini tidaklah semudah membeli sebatang rokok di Indonesia. Rendahnya komitmen politik dan kesadaran masyarakat akan bahaya asap rokok, belum lagi besarnya intervensi industri rokok di negara berkembang, menjadi tantangan terbesar penerapan KTR ini. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi khusus dalam penerapan KTR ini seperti penentuan area prioritas KTR dan pendekatan masyarakat sebagai upaya mendapatkan dukungan penuh. Peningkatan kesadraran masyarakat akan bahaya asap rokok juga harus terus ditingkatkan melalui kampanye kesehatan dan optimalisasi gambar peringatan kesehatan pada semua kotak dan iklan rokok.

Pendekatan pengendalian tembakau dari tingkat desa oleh pihak Puskesmas selaku penanggung jawab kesehatan primer, seperti yang telah diterapkan di Desa Buntu Buangin, diharapakan dapat lebih mudah diterapkan daripada pendekatan masyarakat di tingkat kabupaten atau kota yang masyrakatnya jauh lebih heterogen. Pendekatan dari bawah ke atas ini juga diharapkan dapat meyakinkan para pembuat kebijakan dan politisi akan pentingnya dan dampak positif penerapan KTR secara menyeluruh.

Keberhasilan kawasan tanpa asap rokok lagi-lagi tidak lepas dari dukungan masyarakat dan komitmen pemerintah. Tanpa adanya pendekatan masyarakat, pelaksanaan KTR akan sangat sulit meskipun sudah ada penerapan peraturan. Dan tanpa adanya penerapan peraturan terkait KTR, disertai usaha pengendalian tembakau lainnya yang bersifat komprehensif, maka kebiasan merokok yang sudah menjadi kecanduan masyarakat luas ini akan terus membebani masyarakat dan pemerintah, baik perokok maupun bukan perokok.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar