Selasa, 04 Juni 2013

BBM Naik, Kenapa Tidak?


 BBM Naik, Kenapa Tidak
Abdul Rahman;   Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Angkatan 2008 Unhas
Koordinator Liputan Penerbitan Kampus Identitas
  Tribun Timur, 04 Juni 2013

 
 

 
Mari sejenak berkhayal. Bayangkan diri anda saat ini berada di kota Istanbul, Turki. Anda tengah mengendarai mobil bersama keluarga tercinta. Ditengah perjalanan anda melirik indikator bahan bakar anda dan menyadari bahwa bahan bakar mobil hampir habis. Anda pun segera mengarahkan mobil ke stasiun pengisian bahan bakar terdekat.

Sesampainya di stasiun pengisian, anda meminta petugas yang murah senyum tersebut untuk mengisi penuh tangki bahan bakar. Mesin pengisi secara otomatis menghitung jumlah uang yang harus anda bayar. Jika diasumsikan kapasitas tangki mobil anda sebesar 45 liter maka jumlah yang akan terpampang di layar mesin penghitung adalah sebesar 1.125.000. Mengapa bisa sebanyak itu? Sebab harga bensin per liter di Turki sebesar Rp. 25.000 per liter.

Tak perlu heran. Sebab saat ini Anda berada di Turki dan bukan Indonesia. Andai situasi ini terjadi di Indonesia mungkin yang terjadi adalah orang yang mencak-mencak sambil menuduh mesin penghitng yang salah atau mengumpat pemerintah yang seenaknya saja menaikkan harga bahan bakar sampai setinggi itu.
Namun Turki bukanlah Indonesia. Turki juga bukanlah satu-satunya negara yang menetapkan harga bahan bakar minyak setinggi itu jika memakai standar Indonesia. Beberapa negara Eropa pun melakukannya. Antara lain Belanda, Belgia, Inggris dan Monako. Rata-rata harga bensin per liter di Eropa sebesar Rp. 20.000. Bandingkan dengan negara kita yang ‘hanya’ Rp. 4.500.

Beberapa bulan terakhir, isu tentang kenaikan harga BBM atau menurut versi pemerintah disebut penyesuaian harga kembali santer terdengar. Pemerintah berencana menaikkan harga dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.00. Seperti sebelum-sebelumnya, berbagai penolakan muncul dari sana-sini. Mulai dari politisi yang sibuk berbicara di berbagai media tentang buruknya ide menaikkan harga BBM hingga mahasiswa yang melakukan aksi bakar ban dan tutup jalan demi turunya harga BBM.

Begitu isu ini muncul, boleh dikata hampir sebagian besar orang menolak. Argumen paling banyak adalah bahwa kenaikan ini akan merugikan rakyat kecil. Sebab berbagai ‘kenaikan’ lain akan mengikuti. Antara lain kenaikan bahan pokok, kenaikan harga angkutan umum hingga kenaikan TDL alias Tarif Dasar Listrik. Meskipun pemerintah menawarkan solusi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang berasal dari dana hasil pengurangan subsidi, tapi tetap saja masyarakat menolak. Alasannya BLT bukan solusi dan kerap salah sasaran.

Sisi Positif
Tapi pernahkah kita mencoba untuk berpikir sebaliknya. Apakah ada sisi positif jika kita sepkat dengan keinginan pemerintah ini. Salah satu orang yang punya pemikiran seperti ini adalah Jusuf Kalla alias JK. Bahkan dalam kutipan wawancaranya di beberapa media, mantan orang nomor dua di Indonesia ini justru geregetan dengan kelambanan pemerintah menaikkan harga. Entah apa alasan pasti mengapa JK sepakat, tapi yang jelas ide mendukung kenaikan harga BBM tak selamanya buruk bila dipandang dari perspektif lain.
Mari tengok Denmark. Akibat tingginya harga BBM, sebagian besar penduduk di negara Skandinavia itu tidak lagi memiliki keinginan untuk memiliki kendaraan. Dampaknya positif. Penduduk Denmark menjadi terbiasa dengan angkutan umum dan lebih senang berjalan kaki atau berpartisipasi dalam program berbagi sepeda. Hal serupa terjadi di Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Bahkan Jepang yang notabene negara penghasil kendaraan bermotor terbesar di dunia, penduduknya justru lebih senang berjalan kaki atau bersepeda.

Dengan kata lain, opsi menaikkan harga BBM justru akan ‘memaksa’ masyarakat untuk tidak lagi punya keinginan memiliki kendaraan bermotor. Siapapun tentu akan berpikir seribu kali bila ingin membeli mobil dengan harga bensin mencapai jutaan rupiah. Akibatnya masyarakat akan lebih memilih alternatif transportasi yang lebih murah. Bisa dengan naik angkutan massal seperti Busway, kereta api, sepeda atau bahkan berjalan kaki.

Bila hal tersebut terjadi maka efek positif lain akan mengikuti. Pertama dari sisi kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian, berjalan kaki dan bersepeda setiap hari adalah cara terbaik untuk menurunkan berat badan. Selain itu dapat memperbaiki efektivitas jantung dan paru-paru, meningkatkan metabolisme dan memperlambat penuaan. Hal ini terbukti di Jepang. Karena masyarakatnya doyan jalan kaki maka Jepang dinobatkan sebagai negara dengan angka harapan hidup penduduk tertinggi di dunia.

Kedua dari sisi lingkungan. Keengganan orang memiliki kendaraan bermotor tentu akan berdampak pada berkurangnya pemakaian kendaraan bermotor. Hal ini berarti polusi yang timbul akibat asap kendaraan juga akan berkurang. Yang ketiga adalah solusi kemacetan. Seperti diketahui, terutama di kota-kota besar, kemacetan adalah masalah yang sangat sulit diatasi. Semakin mudah dan murahnya kendaraan membuat orang berbondong-bondong membelinya. Akibatnya jalanan semakin sesak. Bila kendaraan berkurang tentu kemacetan pun demikian.

Energi Alternatif

Mendukung kenaikan harga BBM bukan berarti tidak setuju sama sekali dengan penggunaan kendaraan bermotor. Sebab di kondisi tertentu kendaraan khususnya kendaran pribadi sangat dibutuhkan. Contohnya bila ingin pergi liburan bersama keluarga atau ingin pergi ke tempat yang tak dijangkau angkutan umum.

Hal ini punya juga punya kaitan erat dengan kenaikan harga BBM. Yaitu ‘memaksa’ penggunaan energi alternatif yang ramah lingkungan. Telah diutarakan diatas bahwa BBM yang selama ini digunakan adalah biang kerok polusi udara. Nah, bila harganya sulit dijangkau sementara kita tetap membutuhkan bahan bakar maka kita tentu mencari cara lain. Cara pertama bisa dengan menggunakan kendaraan bertenaga listrik. Saat ini telah banyak bermunculan konsep-konsep kendaraan yang menggunakan tenaga listrik. Bahkan tak hanya listrik, beberapa perusahaan otomotif bahkan mengembangkan kendaraan bertenaga air, angin dan gravitasi.
Cara kedua adalah dengan menggunakan bahan bakar ramah lingkungan. Ide ini bukanlah ide baru. Para pakar teknologi telah lama meneliti kemungkinan memanfaatkan bahan bakar selain bahan bakar fosil (minyak bumi dan lain-lain). Contohnya adalah Biodiesel yang berasal dari biji Jarak atau minyak goreng sisa. Ada juga Etanol yang bisa diperoleh dari Jagung, Singkong atau Alang-alang. Dan masih banyak lagi bahan bakar alternatif yang efisien dan tentunya ramah lingkungan. Bahkan Rudolph Diesel, sang penemu mesin diesel dalam pidatonya yang bersejarah pernah berkata “Pemakaian minyak nabati sebagai bahan bakar untuk saat ini sepertinya tidak berarti, tetapi pada saatnya nanti akan menjadi penting, sebagaimana minyak bumi dan produk tir-batubara saat sekarang.”

Oleh karena itu, kenaikan harga BBM mungkin tidak perlu disikapi terlalu berlebihan. Sebab bila dipandang dari sisi lain, opsi ini bukannya tak punya sisi positif. Kenaikan ini mungkin akan berdampak pada naiknya harga sembako, bahan makanan menjadi mahal, listrik mahal dan lain sebagainya. Tapi hal tersebut tak akan berlangsung selamanya. Sebab kondisi tersebut secara tidak langsung akan mengubah pola hidup kita. Bangsa ini pernah menderita dalam penjajahan selama 350 tahun. Lalu mengapa kita begitu takut untuk hidup susah untuk beberapa tahun? Seperti kata JK dalam pidatonya di Makassar, “Kalau susah mari kita sama-sama susah. Kalau senang mari kita sama-sama senang.”(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar