Rabu, 05 Juni 2013

Upaya Mendamaikan Israel-Palestina

Upaya Mendamaikan Israel-Palestina
Dinna Wisnu ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 05 Juni 2013
 
 


Salah satu berita yang ramai dibicarakan dalam politik internasional minggu ini adalah inisiatif Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry untuk menghidupkan lagi upaya perdamaian antara Israel dan Palestina.

Di satu sisi, berita ini mengindikasikan meskipun di satu sisi AS mendengungkan “US pivot to Asia” (alias fokus perhatian AS yang membesar pada Asia) ternyata dalam hati perhatian AS tetaplah ke Timur Tengah. Tapi, bukan itu yang akan menjadi fokus bahasan saya minggu ini. Saya akan mengulas situasi terkini di Israel dan Palestina serta dampaknya bagi upaya John Kerry ini.

Yang membedakan dalam upaya perdamaian Israel-Palestina kali ini adalah usulan untuk berangkat dari titik awal kesepakatan akan berdirinya dua negara yang hidup berdampingan secara damai dengan keamanan yang terjamin. Istilahnya, two-state solution. Ini dianggap sebagai titik win-win, artinya tak ada satu pihak yang akan merasa dirugikan atau kalah; semua bisa menang. Dengan tawaran ini, Palestina secara tidak langsung sudah diakui oleh AS sebagai negara yang siap untuk dianggap berdaulat.

Sayangnya, situasi di lapangan tidak seindah dan semudah yang tergambar di media massa sehingga tawaran two-state solution tadi ditanggapi dingin oleh Palestina. Kebetulan minggu lalu saya berkesempatan berkunjung ke Israel dan sempat bertemu pula dengan pihak otoritas Palestina. Beruntung, saya berkesempatan berdialog dengan warga biasa dan melihat dengan mata kepala sendiri kehidupan masyarakat Israel dan Palestina.

Di situ tampak jelas bahwa tawaran damai John Kerry sesungguhnya samasama dipandang sebelah mata oleh Israel maupun Palestina; bukan karena mereka tak ingin berdamai, melainkan karena kedua belah pihak sama-sama terpenjara rasa tidak aman dan ketakutan yang sebagian bersumber dari persaingan bisnis. Pertama-tama terkait permukimanYahudi. Kitatahubahwa sejumlah upaya perdamaian sebelumnya terpaksa kandas karena tak ada kesepakatan atas status permukiman Yahudi.

Israel bersikukuh untuk mempertahankan permukimanpermukiman mereka. Sementara Palestina bersikeras menyatakan perlakuan Israel membangun permukiman merupakan hambatan terbesar dialog perdamaian di kawasan ini. Kini saya paham mengapa isu permukiman Yahudi sangat kritis direspons Israel dan Palestina. Awalnya saya membayangkan permukiman Yahudi adalah tempat tinggal khusus bagi keturunan Yahudi, warga negara Israel, yang dilingkari pagar beton tinggi dan warganya selalu hidup dalam ketakutan dengan lingkungan yang cenderung kumuh.

Gambaran tersebut ternyata keliru. Pembangunan permukiman Yahudi tak ubahnya pembangunan real-estate atau kompleks perumahan. Ada kompleks perumahan mewah (bahkan ada yang supermewah) dan ada pula yang biasa dengan rumah tipe RSS atau RSSS. Satu kompleks biasanya cukup besar sehingga bisa dianggap satu kelurahan atau desa. Ada yang murni dihuni orang Yahudi, tetapi ada juga yang dihuni keturunan Arab dan Afrika yang bekerja di Israel dan sebagian sudah menjadi warga negara Israel.

Tidak ada tembok-tembok beton tinggi; justru lebih banyak pagar-pagar kawat yang tembus pandang. Pagar tersebut berjarak sekitar 2-3 meter saja dari rumah-rumah permukiman. Di perbatasan Israel-Lebanon, pagar tersebut dibuat berlapis. Satu di sisi kiri jalan sehingga kendaraan militer Israel masih bisa berpatroli di jalan. Di sisi kanan jalan adalah pagar sisi terluar yang langsung berbatasan dengan Lebanon.

Pagar kawat tadi dialiri sensor; sehingga siapa pun yang mendekat ke situ akan terdeteksi oleh penjaga militer Israel yang dalam hitungan detik akan langsung menghampiri tempat yang disentuh. Permukiman yang paling sederhana pun disubsidi pemerintah Israel dengan berbagai fasilitas sehingga tak kalah nyaman dengan permukiman mewah. Jadi yang diributkan ketika menyangkut pembangunan permukiman Yahudi sebenarnya lebih terkait pemberian izin pemerintah Israel pada developer real-estate yang memilih untuk membangun di lokasilokasi strategis yang seringkali sangat indah pemandangannya atau subur tanahnya.

Sejumlah permukiman didiami oleh orang-orang kaya dari Amerika, Inggris, Australia, yang ingin punya rumah di Tanah Suci; dan mereka belum tentu menetap di situ. Seperti kebiasaan orang kaya di Indonesia, mereka senang membeli rumah-rumah mewah di daerah perbukitan dengan pemandangan cantik, tetapi hanya didiami ketika sedang berwisata. Dengan begitu, soal permukiman menyangkut bisnis.

Para developer ini tak mau pusing soal apakah lahan itu “halal” (dibangun di atas wilayah Israel) atau sebenarnya menyodok tanah Palestina. Para developer ini cenderung tidak bisa menahan diri melihat potensi sejumlah lahan “tidur” apalagi di daerah perbatasan. Permintaan akan perumahan sedang tinggi di Israel; maklum jumlah penduduk meningkat terus. Bagi pemerintah Israel, bisnis permukiman ini jelas menggiurkan. Secara politik permukiman ini menjawab kebutuhan masyarakat akan perumahan.

Pembangunan perumahan mewah secara tidak langsung mendukung penggalangan dukungan dana dari para keturunan Yahudi kaya dan para turis. Secara sosial permukiman ini menjawab kebutuhan masyarakat Israel akan permukiman nyaman di wilayah yang bergengsi. Tak heran sejumlah tokoh Israel bersikukuh mempertahankan permukiman ini. Bagi pemerintah Palestina, tak heran bila bisnis permukiman ini memancing emosi. Logika bisnis tentu sulit ditekan oleh desakan politik, bukan?

Apalagi desakan itu berasal dari politisi negara lain. Jadi ketika Israel bicara tentang tukar guling wilayah permukiman (swap), naluri bisnis pula yang sesungguhnya mengemuka dari pimpinan Palestina. Mereka tak hanya berebut lahan, tetapi juga berebut akses ke tempat-tempat strategis dan atas lahan yang subur. Betlehem misalnya salah satu tempat wisata terkenal tempat kelahiran Nabi Isa atau Yesus yang secara de jure berada di bawah otoritas Palestina, tetapi mereka mengeluh bahwa wilayah yang relatif lebih subur di Betlehem Barat justru dikuasai Israel.

Secara umum Betlehem adalah kota kecil di pegunungan yang cenderung tandus sehingga persoalan kekeringan menjadi isu penting di sana. Palestina merasa tak puas diberi otoritas atas pengelolaan kota yang notabene selalu penuh turis ini karena peningkatan bisnis di sana juga bergantung ketersediaan air. Bayangkan bila persaingan bisnis antara Israel dan Palestina ini tidak diwarnai pula kecurigaan politik, inisiatif John Kerry akan lebih mudah dilaksanakan.

Repotnya, baik Israel maupun Palestina sama-sama negara yang dikelola atas prinsip-prinsip militer. Faksifaksi di dalam pemerintahan Israel maupun dalam otoritas Palestina sama-sama terdiri atas kelompok-kelompok yang sebenarnya menghalalkan penggunaan senjata dan kekerasan untuk mempertahankan posisi masing-masing. Kampanye politik antarfaksi di masing-masing negara ini sama-sama mengerikan.

Di sisi Palestina dan masyarakat Arab, mereka tak segan mengutuk dan mengumandangkan kebencian (bahkan pembunuhan) atas keturunan Yahudi. Di sisi Israel, mereka tak henti mengobarkan semangat untuk menentang mati-matian segala upaya atau gerakan yang dianggap mengancam nyawa keturunan Yahudi. Israel juga menghalalkan pembunuhan atas teroris.

Anak-anak kecil di Israel maupun Palestina sudah diajarkan ihwal ini sejak usia dini. Akhirnya tak heran, suasana yang berkembang di Israel maupun Palestina adalah saling mengutuk, saling curiga, dan saling benci. Ke mana pun kami bertanya tentang makna perdamaian bagi mereka, tak dapat kami temukan perasaan damai dalam pernyataan mereka. Ihwal yang sesungguhnya sederhana menjadi makin rumit ketika faksi-faksi di sana merujuk pada ajaran agama dan janji-janji kitab suci.

Singkat kata, dari kondisi riil di lapangan dapat disimpulkan bahwa inisiatif damai dari John Kerry belum menyentuh kebutuhan riil penduduk Israel maupun Palestina. Jika damai tidak datang dari hati masing-masing, apa pun pesan damai yang dikampanyekan pihak-pihak luar tak akan ada artinya, apalagi kepentingan politik berkait pula dengan urusan bisnis. Harus ada terobosan lain yang memutus lingkaran setan dari perasaan serbaketakutan dari Israel maupun Pales.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar