Sabtu, 08 Juni 2013

Rezim Destroyer Mengganas

Rezim Destroyer Mengganas
Nazil Muhsinin ;    Direktur The Cibinong Center
SUARA KARYA, 07 Juni 2013
 
 
Apa yang paling menonjol terjadi di banyak daerah Indonesia sejak reformasi digulirkan, 15 tahun silam? Jawabannya adalah makin rusaknya lingkungan akibat kesewenang-wenangan penguasa setempat. Misalnya, banyak pemda yang makin ganas mencaplok lahan hijau dan ruang-ruang terbuka untuk membangun gedung-gedung baru. Bahkan, sejumlah daerah kini sudah tidak lagi punya lahan hijau di tengah kota karena semua sudut kota telah dijadikan "hutan beton".

Dalam konteks global, makin rusaknya lingkungan suatu daerah layak dianggap berbahaya bagi semesta, karena bisa berdampak luas ke daerah-daerah lain dan bahkan ke negara-negara lain. Contohnya, kabut asap akibat pembakaran lahan di wilayah Kepulauan Riau sering menyebar sampai ke Singapura dan Malaysia.  
 
Dalam konteks lokal, sejumlah pemda telah banyak merusak lingkungan di daerah masing-masing, sehingga bencana banjir menjadi tradisi yang dapat dipastikan selalu terjadi pada setiap musim hujan. Bahkan banyak daerah yang semula tidak pernah dilanda banjir kemudian ikut-ikutan selalu dilanda banjir.

Elite Nakal
Pemda akan menjadi perusak lingkungan, jika jajaran elite politik lokal berperilaku nakal. Disebut nakal, jika perilakunya sewenang-wenang dan menang-menangan. Misalnya, dengan alasan mengembangkan kawasan ekonomi daerah, pemda mencaplok lahan pertanian untuk pembangunan gedung perkantoran dan pusat bisnis baru.

Layak dicemaskan, jika rencana pengembangan kawasan ekonomi daerah nyata-nyata merusak lingkungan tidak bisa dicegah maka bakal disusul rencana-rencana lain yang lebih destruktif terhadap lingkungan. Misalnya, bisa jadi akan muncul rencana membangun rumah dinas plus rumah peristirahatan yang super mewah dan super megah bagi masing-masing pejabat dan wakil rakyat di daerah-daerah dengan alasan sudah menjadi keputusan sidang paripurna DPRD.

Dalam rumus politik, jajaran elite lokal yang berkuasa di daerah memang bisa berbuat apa saja yang berpotensi merusak lingkungan. Dalilnya bisa untuk memajukan daerah, atau untuk sekadar memenuhi kebutuhan tanpa peduli efek domino yang berbahaya di kemudian hari.

Dalam rumus psikososial, perilaku nakal identik dengan jahat. Misalnya, anak-anak yang dibiarkan semakin nakal bisa saja tidak hanya gemar membahayakan anak-anak lain tapi juga membahayakan semua pihak termasuk dirinya sendiri. Dengan kata lain, anak-anak yang dibiarkan nakal bisa saja membunuh teman, saudara dan orangtua, dan bahkan bunuh diri, setelah suka mencuri dan ketagihan plesiran, miras, narkoba serta seks bebas.

Namun, sangat tidak proporsional jika menyamakan elite nakal dengan anak-anak nakal, karena kenakalan elite sangat jauh lebih berbahaya dibanding kenakalan anak-anak. Dalam hal ini, jika elite nakal pasti akan sulit diatasi karena mereka merasa lebih hebat dan benar. Jika ada yang menganggapnya salah serta-merta akan ngotot mengaku benar karena sudah sesuai dengan prosedur. Misalnya, dengan mengatakan, "Ini sudah menjadi keputusan bulat dan sudah disahkan dalam sidang paripurna DPRD, tidak bisa diganggu gugat lagi!"

Perang Wacana
Jika banyak pemda sudah merusak lingkungan, tentu akan ditentang banyak pihak di daerahnya sendiri. Dalam hal ini, selama semangat demokratisasi damai bisa dipertahankan, mungkin akan terjadi perang wacana yang sangat dahsyat, karena publik akan melakukan perlawanan sengit dengan pernyataan-pernyataan verbal di media maupun di ruang-ruang publik lain.

Dalam konteks mempertahankan lahan hijau di daerah yang semakin menipis, kini semakin banyak generasi muda yang peduli lingkungan di daerah masing-masing. Mereka layak diapresiasi karena merekalah pewaris masa depan. Dan, mereka umumnya lebih mengerti dampak lingkungan dibanding elite, karena mereka secara aktif memperkaya diri dengan berbagai ilmu dan wawasan tentang lingkungan. Karena itu, sangat keterlaluan, jika elite di daerah-daerah tetap bernafsu merusak lingkungan hanya karena ingin mendapatkan bagian keuntungan dari nilai proyek-proyek yang sengaja digelembungkan.

Selain itu, jika banyak pemda sudah merusak lingkungan di daerah masing-masing, sangat mungkin akan ditiru oleh pemerintah-pemerintah desa. Konkretnya, jika sisa lahan hijau di kota-kota kabupaten terus-menerus menipis akibat pembangunan gedung-gedung baru, lahan-lahan hijau di desa-desa pasti juga akan ikut menipis oleh sebab yang sama.

Karena itu, elite daerah selayaknya belajar untuk menjadi teladan yang baik bagi elite di desa-desa. Dalam hal ini, elite daerah yang tak peduli lingkungan berpotensi ditiru oleh jajaran kepala desa. Untuk konteks didaktika politik, belajar menjadi teladan yang baik memang sangat sulit bagi elite daerah (maupun pusat) yang telanjur bercitra buruk. Tapi, dalam hal belajar apa saja, tidak mengenal terlambat. Atau, lebih baik terlambat belajar menjadi teladan yang baik daripada menyempurnakan keburukan sehingga semua ikut-ikutan semakin buruk.

Sedangkan untuk konteks pelestarian lingkungan di suatu negara, kuncinya adalah keteladanan elite di daerah-daerah. Jika elite di daerah-daerah sangat peduli terhadap lingkungan setempat, lingkungan di suatu negara akan bisa terhindar dari kerusakan-kerusakan.

Layak ditegaskan, kebijakan pembangunan yang merusak lingkungan sama dengan korupsi lingkungan yang seharusnya dikutuk dan dihukum berat, agar tidak semakin ganas di negeri ini. Sungguh amat sangat layak disayangkan jika reformasi hanya melahirkan rezim perusak lingkungan yang mengganas di hampir semua daerah di Indonesia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar