Sabtu, 08 Juni 2013

Negeri Para Makelar

Negeri Para Makelar
Bernando J Sujibto ;    Sosiolog, Alumnus Cultural and Language
Program University of South Carolina Amerika Serikat
SUARA KARYA, 07 Juni 2013
 


Saat ini, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami kasus Ahmad Fathanah, ancaman penjahat negara bernama 'makelar' mulai terkuak. Fenomena Fathanah semakin menegaskan bahwa makelar sudah bermain di semua aspek untuk menghacurkan Republik ini. Bukan hanya di ranah hukum, politik ataupun ekonomi, makelar sudah menjalar ke sebuah isu sensasional, yaitu makelar seksual sebagai satu paket untuk para pejabat.

Satu per satu isu gratifikasi seksual bagai bola api yang menggelinding lepas ke hadapan publik dalam satu tahun terakhir. Isu yang sebelumnya sengaja diendapkan dan disembunyikan sedemikian rapat oleh patgulipat pejabat pelan-pelan mulai mencuat. Publik mulai mengetahui bahwa persoalan kekuasaan (power), politik dan seks mempunyai kedekatan erat yang nyaris menjadi satu paket.

Fenomena gratifikasi seksual terbaru diduga menimpa Ahmad Fathanah, sebagai tersangka kasus suap kuota impor daging sapi di Kementan yang menyeret mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Dalam kasus Fathanah, fenomena gratifikasi seksual tampaknya benar-benar menjadi sebuah tragedi yang membelakkan mata. Bagaimana tidak, dari hanya seorang perempuan yang ditangkap saat berduaan dengan Fathanah di Hotel Le Meridien, wanita-wanita lain yang berjumlah lebih dari 40 orang menyeruak di tengah-tengah pusaran kasus itu.

Tak ayal jika kemudian Fathanah dituduh oleh pihak PKS sendiri sebagai makelar. Namun begitu, kecurigaan publik bisa saja mengarah ke makelar gratifikasi seksual bagi para pejabat, baik dari lingkaran partai politik ataupun instansi lainnya, juga tidak bisa dihindari.

Broker Politik
Awalnya istilah makelar (broker) politik belum begitu populer di ranah politik di Indonesia meskipun secara praktik penyakit ini sudah sangat biasa dipraktikkan sejak Orde Baru. Istilah broker politik mencuat setelah Orde Baru tumbang. Secara bahasa, broker pada prinsipnya berkaitan dengan persoalan transaksi barang, kata untuk mendefinisikan sebuah sirkulasi dan distribusi barang dalam ekonomi bisnis (an agent who negotiates contracts of purchase and sale, as of real estate and commodities). (Longman, 2008)

Dalam ranah politik dan kekuasaan, istilah makelar semakin gelap dan patgulipat. Tidak mudah mengidentifikasi wujud makelar. Tapi yang pasti, setiap transaksi proyek besar para makelar akan bermanuver sedemikian hebat dengan melakukan segala dan transaksi-transaksi busuk. Ketika mereka masuk ke ranah kekuasaan elite, khususnya penegakan hukum, wibawa dan kekuatan negara akan hancur dan dilapukkan pelan-pelan. Para makelar akan melakukan segala cara untuk memuluskan skenario, seperti tindak korupsi, gratifikasi seksual, kriminalisasi laiannya.

Dalam konteks elite, makelar berevolusi dengan segala jenis sebutan. Mereka bisa menjadi mafioso di tingkat peradilan ataupun preman di ranah ekskusi. Secara umum makelar dapat diidentifikasikan dalam dua aras besar. Pertama, makelar berkerah putih, yaitu para broker di jabatan-jabatan elite-penting pemerintahan. Kedua, makelar jalanan, yaitu para ekskutor yang biasa bermanuver dan berkamuflase dengan semua jenis jaringan kejahatan, seperti mafia dan preman.

Dalam konteks politik praktis, para makelar sebenarnya bermain di ranah political clientelism, yang oleh Larreguy didefinisikan sebagai distribusi keuntungan yang ditargetkan kepada individu ataupun kelompok untuk mendukung kekuasaan politik, khususnya dalam konteks pemilu. (Larreguy, 2013)

Di samping itu, teori ini seperti ingin menegaskan bahwa kepentingan perebutan kekuasaan untuk mempermainkan isu dalam skala nasional menjadi salah satu peranan broker yang notabene adalah klientelistik, yaitu perkoncoan yang mempunyai kedekatan hubungan dan patron. Prinsip politik klientelistik (political clientelism) adalah tindakan berdasarkan kepada prinsip take there, give here. Praktik makelar ataupun klientelistik, mengutip laporan dari Hicken dalam Annual Review of Political Science (2011), akan melemahkan rakyat untuk mengukur akuntabilitas publik, baik dalam konteks hasil pemilihan umum ataupun peristiwa politik lainnya.

Dalam makelar hukum, yang lebih trend dikenal dengan istilah mafioso, kita sebenarnya sudah disadarkan oleh analisa bagus dari seorang pengamat hukum yang saat ini menjabat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkunham) Denny Indrayana dalam buku berjudul Negeri Para Mafioso, Hukum di Sarang Koruptor (2008) yang berusaha menelanjangi praktik korupsi di Republik 'para makelar' ini. Buku ini jelas sekali sebagai gugatan terhadap menjamurnya praktik mafia peradilan (judicial corruptions) dari hulu hingga hilir. Bagi Denny, mafia peradilan di Indonesia merupakan persoalan krusial yang paling sulit diatasi. Karena, mafia peradilan adalah sekelompok 'gangster' yang melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) secara sistematis, berjamaah dan rapi.

Untuk itu, pemerintah sudah harus lebih waspada terhadap manuver para makelar yang sudah masuk ke semua segmen elit pemerintahan di Republik ini. Problem transaksi politik yang telah menjadi penyakit akut, jangan lagi diperparah oleh makelar yang dengan sengaja menjembatani kepentingan antara pihak penjual dan pembeli politik. Karena, dalam praktik kerja di lapangan, banyak berbagai bentuk cara kerja dari seorang makelar yang sudah sangat lihai memainkan perannya untuk memuluskan proyek-proyek demi keuntungan personal ataupun kelompok.

Apalagi, tahun 2013 ini, para elite politik dan partai-partainya sedang mempersiapkan diri untuk menyusun strategi pemenangan. Tidak aneh, jika para makelar dan mafia sudah dipersiapkan demi memenangkan kepentingan-kepentingan busuk untuk meraih kekuasaan pada 2014.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar