Kamis, 06 Juni 2013

Rasionalitas Kenaikan BBM

Rasionalitas Kenaikan BBM
Tulus Abadi ;   Anggota Pengurus Harian YLKI 
REPUBLIKA, 03 Juni 2013
 



Kendati masih diwarnai kegamangan politis, tampaknya gong kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tinggal menghitung hari. Pemerintah menimang kenaikan harga BBM sebesar Rp 2.000 untuk Premium dan Rp 1.000 untuk solar. Jika nyali politik pemerintah tak berbalik haluan, seharusnya awal Juni gong kenaikan harga BBM itu dieksekusi.

Kendati tak populis, kenaikan harga BBM rasanya sulit dihindari, siapa pun rezimnya. Saat Megawati menjadi presiden pun pernah menaikkan harga BBM.
 
 Beberapa alasan fundamental berikut ini tampaknya menjadi sandaran rasionalitas yang cukup absah bagi pemerintah untuk mengurangi tingginya subsidi BBM.

Pada konteks keadilan ekonomi, misalnya, subsidi BBM jelas merupakan bentuk kebijakan publik yang sangat tidak adil. Bahkan, merujuk tesis ekonom Faisal Basri, subsidi BBM itu merupakan bentuk kejahatan ekonomi yang sangat sistemik. Berdasar data statistik, tesis Faisal Basri cukup sahih. Data Susenas 2008 dan Bank Dunia 2010 mengindikasikan dengan kuat bahwa 25 persen rumah tangga berpenghasilan (dan pengeluaran) tertinggi, justru menikmati subsidi BBM sebesar 77 persen per bulan. Sementara, 25 persen kelompok rumah tangga ber penghasilan (dan pengeluaran) terendah hanya kecipratan alokasi subsidi 15 persennya.

Jika dibandingkan dengan komoditas lain yang jauh lebih strategis, alokasi subsidi di bidang energi (khususnya BBM) juga merupakan kebijakan yang salah kaprah. Lihat saja pada APBN 2013 alokasi untuk subsidi energi total mencapai Rp 309,9 triliun. Sedangkan, subsidi untuk nonenergi, yakni pangan, pupuk, benih, dan sebagainya--termasuk untuk dana Public Service Obligation (PSO) hanya kecipratan Rp 48,4 triliun.

Bagaimana jika dari sisi transportasi? Konfigurasinya juga sangat jelas. Penikmat subsidi BBM 94 persen adalah pengguna kendaraan bermotor pribadi, baik roda empat maupun dua. Sementara, angkutan umum barang hanya empat persen dan dan ironisnya angkutan umum orang hanya dua persen.

Lihat juga subsidi untuk sektor perkeretaapian (PT KAI) dan PT Pelni; PSO-nya hanya Rp 720 miliar. Padahal, kedua jenis angkutan masal tersebut praktis digunakan untuk kelas menengah bawah. Sementara, pengguna kendaraan bermotor pribadi (mobil) rata-rata per hari menyeruput subsidi Rp 25 ribu.

Jika tak ada kenaikan harga BBM, betapa naifnya karena per tahun pengguna kendaraan tumbuh delapan sampai sembilan juta unit pengguna sepeda motor dan 800 ribuan pengguna mobil baru. Total, saat ini terdapat 12 jutaan unit mobil di Indonesia dan 68 juta unit sepeda motor. Maka, pantaslah jika kuota BBM bersubsidi akan menyundul 48-50 juta kiloliter dari pagu hanya 40 juta kiloliter.
Demikian juga halnya dengan kebijakan energi. Di level negara-negara ASEAN, praktis hanya Indonesia yang masih bergelimang dengan subsidi BBM.

Negara seperti Laos dan Kamboja pun yang notabene pendapatan per kapitanya lebih rendah dari Indonesia, harga BBM-nya mencapai lebih dari Rp 13 ribu per liter. Juga Myanmar, harga BBM-nya Rp 10.340 per liter.

Di dunia ini, hanya ada beberapa negara yang masih menjual BBM-nya lebih murah dibanding Indonesia, misalnya, Arab Saudi (Rp 1.404/liter, Kuwait Rp 2.135/liter), dan Uni Emirat Arab Rp 4.275 liter. Tetapi ingat, ketiga negara tersebut selain masih surplus minyak, mereka pun menjadi negara eksportir minyak. Lihat saja Arab Saudi, cadangan minyak mentah di perut buminya mencapai 267,9 miliar barel, cukup untuk 50 tahun ke depan. Sedangkan Indonesia, cadangan minyaknya tinggal 4,0 miliar barel dan hanya cukup untuk 11 tahun ke depan. Saat ini pun 45 persen BBM yang kita konsumsi adalah hasil impor. Bahkan, untuk Premium 90 persen masih harus diimpor.

Namun, di sisi yang lain, kemarahan publik terhadap kenaikan harga BBM juga tidak bisa dimungkiri. Sebab, selama ini, pascakenaikan harga BBM biasanya pemerintah tidak melakukan tindakan pembenahan radikal di sektor transportasi energi dan fasilitas publik lainnya. Seharusnya, paralel dengan kenaikan harga BBM, pemerintah langsung melakukan pembenahan total di sektor transportasi publik.

Di bidang energi, pemerintah juga harus punya roadmap yang jelas, misalnya, wujudkan gasifikasi untuk sektor transportasi dan kembangkan sumber-sumber energi lain, di luar minyak bumi. Negeri ini sangat kaya dengan sumber energi baru dan terbarukan, tapi nyaris tak pernah disentuh untuk dieksplorasi. Pemerintah sepertinya sengaja (membiarkan) agar warga Indonesia tersandera dengan BBM yang jelas-jelas sangat korosif.

Pemerintah dan kita semua seyogianya memang tidak terninabobokan oleh subsidi BBM yang terus menggelembung. Upaya untuk mengurangi, bahkan hingga ke titik keekonomiannya sekalipun, sejatinya merupakan on the track policy.

Namun, didukung DPR, pemerintah juga harus mengembangkan kebijakan yang adil, bahkan radikal di bidang transportasi publik, dan kebijakan energi yang lebih berkelanjutan. Tanpa dibarengi dengan kebijakan yang demikian, boleh jadi menaikkan harga BBM hanya akan menciptakan ketidakadilan baru di tengah masyarakat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar