Kamis, 06 Juni 2013

Industri Hijau

Industri Hijau
Nyoto Santoso ;   Dosen Fahutan,
Kepala Pusat Kajian Biodiversitas dan Rehabilitasi Hutan Tropika IPB Bogor
REPUBLIKA, 04 Juni 2013
 
 

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) belakangan ini tengah intensif membahas pengembangan industri hijau di Indonesia. Seusai pameran foto dan seminar tentang industri hijau di Jakarta belum lama ini, Menperin Mohammad S Hidayat menyatakan peraturan menteri keuangan terkait industri hijau akan keluar tahun ini.

Langkah awal yang akan dilakukan, kata Hidayat, pemerintah akan memberikan insentif terhadap industri yang menerapkan pola penghematan sumber daya, termasuk bahan baku dan energi yang ramah lingkungan dan terbarukan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, pada Pasal 4 disebutkan, antara lain bahwa, pemerintah dapat memberikan fasilitas pada industri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup (poin g). Apa yang dimaksud industri yang menjaga kelestarian hidup ini, tampaknya be- lum dijabarkan secara luas.

Membangun industri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup, --atau lebih singkatnya membangun industri yang berwawasan lingkungan--jelas tidak bisa berdiri sendiri. Artinya, pembangunan industri tersebut harus berbasis pada kebijakan pemerintah secara integral, dalam arti, memperhatikan berbagai aspek yang terkait dengan lingkung an dan kehidupan manusia itu sendiri.

Fulai Sheng dalam bukunya Real Value for Nature: An Overview of Global Efforts to Achieve True Measures of Economic Progress (dialihbahasakan oleh WWF dengan judul Bersiap Menuju Era PDB Hijau, 1995), menyatakan pembangunan di sebuah negara dalam bidang apa pun harus mengacu pada Sistem Neraca Nasional (SNN). Bila SNN-nya masih menggunakan pola lama, di mana ukurannya hanya berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB), maka pembangunan industri akan gagal menyejahterakan manusia. Dia mengkritisi acuan PDB yang saat ini digunakan di banyak negara yang menjadi ukuran kenaikan kesejahteraan.

Kenaikan PDB, menurut Fulai Sheng, tidak identik dengan peningkatan kemakmuran. Dia mengambil contoh di Inggris. Meski pendapatan per kapita meningkat sejak tahun 1950-an, ukuran kesejahteraan (indeks kesejahteraan ekonomi berkelanjutan) menurun karena meningkatnya kerusakan sosial dan lingkungan. Biaya pencemaran air, udara, dan bunyi selama 10 tahun (1950-1960) lebih dari 22 miliar poundsterling. Ini artinya hampir sama dengan enam persen PDB Inggris selama kurun tersebut. Kasus ini mencerminkan kesalahpahaman umum tentang PDB sebagai indikator kesejahteraan. Padahal, PDB tidak lebih dari suatu ukuran produksi.

Dampak negatif menggunakan PDB sebagai indikator kualitas hidup makin buruk bila informasi yang terkandung pada PDB itu sendiri cacat. Perhitungan biaya produksi di bawah yang sebenarnya dan perhitungan manfaat di atas yang sebenarnya akan membuat manfaat total lebih tinggi secara semu dan biaya total lebih rendah secara semu.

Akibatnya, perbandingan biaya dan manfaat menjadi salah sehingga keputusan yang diambil pun salah. Bila keputusan yang diambil mengabaikan biaya lingkungan, misalnya, maka kegiatan ekonomi pun akan mengorbankan lingkungan dan sumber daya alam. Padahal, lingkungan dan sumber daya alam merupakan basis eksistensi manusia, kualitas hidup, keanekaragaman hayati, dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Menurut Fulai Sheng, informasi yang terkandung dalam PDB, cacat dalam dua hal. Pertama, tidak adanya informasi tentang degradasi lingkungan dan penipisan sumber daya alam. Kedua, tidak akuratnya informasi tentang nilai barang dan jasa yang dihasilkan dari pengurasan dan perusakan sumber daya alam. Nilai barang dan jasa yang dihasilkan dari pengurasan dan perusakan sumber daya alam itu dihitung seluruhnya sebagai pendapatan yang tersedia untuk konsumsi sehingga akan menaikkan keuntungan netto riil dari produksi. Pendekatan ini jelas mengaburkan penjualan modal dengan penciptaan pendapatan.

Pendekatan semacam inilah yang menjadikan PDB konvensional tidak bisa lagi diterapkan untuk pembangunan industri hijau. Melihat fenomena di atas, Fulai Sheng mengajukan gagasan pendekatan PDB hijau. Untuk itu, harus ada reformasi SNN yang mempertimbangkan aspek lingkungan sebagai modal yang harus dijaga keberlanjutannya.


Badan Lingkungan PBB, UNEP, dan Bank Dunia, misalnya, merekomendasikan sumber daya permanen seperti air, udara, dan tanah harus dihitung secara integral dan memadai sesuai diskursus ekonomi. Ketiganya harus dianggap sebagai modal yang harus dijaga dengan konsekuensi adanya biaya pemulihan yang terus-menerus.

Biaya pemulihannya jangan dianggap sebagai pengeluaran terakhir seperti yang terjadi pada konsep SNN konvensional, tapi sebaliknya sebagai pengeluaran rutin yang wajib dilakukan. Dalam industri ekstraktif, seperti pertambangan, misalnya, pendekatan sistem neraca hijau ini mutlak harus diterapkan secara menyeluruh. Ini terjadi karena industri pertambangan selama ini mengabaikan modal sumber daya permanen tesebut.

Akhirnya, memacu terwujudnya industri hijau tidak cukup hanya memberikan insentif dan fasilitas terhadap industri yang menjaga kelestarian lingkungan hidup seperti disebutkan Pasal 4 Perpres No 28 Tahun 2008 tadi, tapi juga mengubah paradigma berpikir dalam memandang lingkungan dan sumber daya alam. Mengubah paradigma berpikir tentang lingkungan dan sumber daya alam itu perlu diwujudkan dalam mereformasi paradigma SNN. Yaitu, SNN yang menganggap bahwa lingkungan dan sumber daya alam adalah modal yang amat berharga.

Dengan mereformasi SNN ini, kebijakan industri hijau akan diarahkan pada kegiatan yang meningkatkan produktivitas lingkungan dan sumber daya alam.
Pada gilirannya, peningkatan produktivitas lingkungan dan sumber daya alam ini akan merangsang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan mengarahkan manusia pada pemakaian indikator baru dalam kesejahteraan. Yaitu, indikator kesejahteraan yang berbasis nilai tabungan dan investasi yang kompatibel dengan lingkungan dan sumber daya alam.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar