Minggu, 02 Juni 2013

Politik Klenik

Politik Klenik
Moh Ilham A Hamudy ;  Peneliti di BPP Kementerian Dalam Negeri 
REPUBLIKA, 30 Mei 2013



Laku klenik adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal. Di Indonesia laku klenik bukanlah aneh, malah dianggap hal biasa. Mulai dari rakyat kecil sampai pejabat, pengusaha dan politisi acap melakukannya. Mulai dari keperluan mencari jodoh, penglarisan, menang pemilu/pilkada, naik jabatan, bahkan sampai hal negatif seperti santet, tenung, dan gendam.

Tidak terkecuali dalam konteks politik, politisi kita pun tidak sepi dari klenik. Apalagi menjelang pemilu/pilkada, laku klenik bercampur baur dengan lelaku politik. Rasionalitas bergumul mesra dengan nilai-nilai irasional. Motifnya apalagi kalau bukan memenangkan atau melanggengkan tampuk kekuasaan.

Demi mempertahankan posisi politik, politisi kadang menghalalkan pelbagai cara. Meminta bantuan dukun adalah salah satu cara. Dalam sebuah kesempatan, hal ini dibenarkan oleh politisi DPR Ruhut Sitompul. Dia bahkan sering dipameri rekan sesama politisi Senayan benda-benda azimat yang dipercaya sakti.

Hal senada juga dikemukakan se- orang pengamat politik-militer di Solo yang pernah menuturkan praktik klenik calon presiden. Pengamat itu menuturkan, ada seorang calon presiden pada 2009 yang mengerahkan ratusan jaringan paranormal guna membantu partainya memperoleh suara. Katanya, pada malam pencoblosan itu para paranormal berkonsentrasi di beberapa kota di Indonesia.

Ratusan paranormal dikerahkan untuk memengaruhi pemilih agar memilih partai si calon presiden itu.
Contoh lebih gamblang diuraikan seorang paranormal asal Surabaya, Ki Sabdo Jagad Royo. Dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi swasta, ia bersaksi tentang kewajiban lelaku klien nya yang mayoritas politisi dan pejabat demi mendapat keinginan mereka. Katanya, agar mujarab, mereka harus menjalankan laku dan ngelmu sepuh, seperti puasa mutih, pemanfaatan sesirik, mantra kawibawaan, mantra penggawe, tapa kungkum, dan lain-lain.

Ringkasnya, politisi perlu semacam forecasting melalui praktik klenik. Sebab, setidaknya, menurut mereka, politik tidak bisa melulu didekati dengan teori dan mengandalkan perhitungan matematika politik. Katanya, dalam politik, ada keadaan-keadaan tertentu yang sebagai manusia biasa tidak cukup bisa ditangkap oleh rasio. Oleh karenanya, politisi memerlukan jasa seorang paranormal untuk melakukan forecasting, sehingga mereka bisa `melihat' dimensi politik secara lengkap.

Mistifikasi politik Gambaran laku klenik politisi seperti itu dalam politik Indonesia sebenarnya sudah pernah ditegaskan Benedict Anderson (1972) dalam tulisannya `the Idea of Power in Javanese Culture'. Anderson mengatakan, politik Indonesia sangat dipengaruhi kultur Jawa yang memang dekat dengan hal-hal mistik dan metafisik. Spiritualitas politisi kita kerap berkait dengan dukun, paranormal, dan laku klenik.

Anderson apik mencandrakan mistifikasi politik Indonesia yang akrab dengan supernatural power. Dimensi keyakinan pada kekuatan supernatural itu membuat para politisi bersedia pergi ke tempat-tempat keramat dan mau mendatangi dukun, paranormal, atau `orang pintar' guna menjembatani jalinan `komunikasi' dengan penguasa semesta raya. Penting dicatat, laku klenik sejatinya hanya mencederai citra dan hakikat politik.

Akhirnya, politik dianggap tidak lurus, segala cara dilakukan guna mencapai tujuan politik. Ajaran agama pun diabaikan demi tujuan politik. Meski Rasulullah SAW pernah bersabda, "Siapa saja yang mendatangi seorang peramal (dukun dan sejenisnya), lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam." (HR Muslim).

Sejatinya pula, kecenderungan para politisi berklenik adalah bentuk sikap yang lebih mementingkan kekuasaan daripada memikirkan masalah rakyat.

Mistifi kasi politik seperti itu hanyalah mengalihkan esensi politik yang nyata, rasional, dan terukur, menjadi persoalan yang kabur, mitos, penuh misteri, khurafat, dan tahayul. Padahal, politik sesungguhnya adalah urusan amanah dan upaya mewujudkan good life.

Melalui politik pula perwujudan dakwah amar makruf nahi mungkar bisa ditegakkan. Mestinya, peran politisi dalam kehidupan bangsa dan negara diwujudkan dalam langkah-langkah politis strategis dan taktis sesuai kepribadian, keyakinan, dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangan guna mewujudkan baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.

Politik rasional
Untuk itu, politik mestilah dibangun atas dasar rasionalitas. Empati dan suara konstituen harus diraih dengan cara halal, yaitu memengaruhi pikiran dan nurani mereka dengan pelbagai gagasan cerdas dan program yang populis-realistis.

Argumentasi politisi tidak boleh berdasar pada nilai transendental, apalagi klenik dalam menjaring massa. Tetapi, haruslah bersandar pada nilai-nilai keutamaan warga, seperti demokrasi, HAM, dan keadilan sosial.

Politisi harus berani menciptakan diskursus dan berpolemik habis-habisan di ruang publik guna meyakinkan publik secara rasional. Harga kekuasaan dibayar bukan dengan cara klenik, melainkan dengan kerja politik, yaitu mendekatkan diri pada konstituen seraya menggugah nalar publik.

Rasionalitas kerja politik seperti itu sekurang-kurangnya melibatkan optimalisasi tiga hal. Pertama, penentuan pilihan tindakan politik terbaik untuk mencapai tujuan politik berdasarkan keinginan, keyakinan, dan konsepsi politik yang dimiliki. Kedua, konsepsi politik haruslah merupakan pilihan terbaik dari sejumlah kemungkinan yang bisa dibentuk berdasarkan bukti otentik dan argumentasi rasional. Ketiga, konsepsi politik juga wajib memiliki konsistensi, dalam arti tidak manipulatif dan membodohi konstituen. Dengan begitu, politisi bisa menghayati keterlibatannya dalam setiap proses politik rasional sebagai sebuah pelaksanaan prinsip, keyakinan, atau idealisme.

Semuanya menjadi bagian integral identitas diri sang politisi dan tidak bisa begitu saja digadai menjadi sekadar instrumen reproduksi, akumulasi, atau maksimalisasi kekuasaan berdasarkan lelaku klenik.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar