Sabtu, 01 Juni 2013

Pemilukada Bukan Reality Show

Pemilukada Bukan Rality Show
Rusdin Tompo; Ketua KPI Daerah Sulsel
KORAN Tribun Timur, 27 Mei 2013

 
 
Selama perhelatan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) dengan mudah kita bisa saksikan para kandidat yang begitu murah hati menyambangi lokasi-lokasi kumuh. Mereka tanpa sungkan menjabat tangan pedagang pasar, nelayan, buruh pabrik, kuli bangunan, yang kasar, kotor, dan berbau.
 
Mereka datang penuh antusias ke rumah sakit, membezoek pasien yang terbaring tak berdaya dalam bekapan penyakitnya. Mereka mengunjungi para manula di panti jompo serta orang-orang yang terpinggirkan dan terisolasi dari kehidupan sosial. Mereka bercanda dengan anak-anak, menggendong bayi, dan aksi populis lainnya yang mengesankan keberpihakan serta sisi humanisnya sebagai kandidat kepala daerah.
 
Sorotan kamera tivi akan menampilkan potongan-potongan gambar yang merupakan bagian dari politik pencitraan itu, layaknya tayangan reality show “Jika Aku Menjadi” di Trans TV. Program acara ini menantang orang-orang kaya merasakan derita orang miskin, seolah-olah orang kaya itu mampu menyelami kepapaan orang miskin ketika tinggal di gubuk deritanya.
 
Dalam beberapa hari, orang kaya tersebut akan merasakan kerasnya hidup yang serba terbatas. Alih-alih hendak menggugah orang untuk peduli, tayangan reality show seperti ini malah dituding hanya mengeksploitasi dan mengkomodifikasi kemiskinan sebatas sebagai tontonan.

Bukan Bualan Politik
Saiful Totona (2010) mendefinisikan reality show adalah genre acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain yang umumnya khalayak biasa.
Acara ini bersifat nonfiksi, tapi konteks di mana pesertanya berada merupakan konteks buatan (artifisial). Jika benar acaranya menampilkan fakta nonfiksi maka Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) mengkategorikannya sebagai program faktual. Berbeda jika acara itu menyajikan fiksi yang penuh rekayasa dan dramatisasi maka disebut sebagai program nonfaktual.
 
Dalam reality show pemilukada, aktor dan bintangnya tentu saja adalah para kandidat yang hadir di tengah-tengah orang biasa untuk menarik simpati mereka. Targetnya jelas, yakni mengangkat popularitasnya demi meraih tingkat keterpilihan yang tinggi. Blusukan ke orang-orang biasa akan memperlihatkan seolah-olah mereka dekat dengan wong cilik, seolah-olah mereka peduli, seolah-olah mereka berpihak, seolah-olah mereka menyatu, membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
 
Media penyiaran tak kalah bersemangatnya memberitakan apa yang dilakukan kandidat dalam gaya jurnalisme omongan (talking journalism) hanya karena mereka news maker. Fakta lapangan dan statement kandidat di-copy paste tanpa sikap kritis dan skeptis bahwa ini tak lebih hanya bagian dari strategi pemasaran politik kandidat. Akibatnya, media penyiaran bisa saja terbawa irama permainan politik para kandidat.
 
Pemasaran politik dan media merupakan satu paket dalam era pemilukada langsung. Corner dan Pels (2003) antara lain menyatakan bahwa gaya politik mutakhir, khususnya dalam pemilihan langsung, akan terkait dengan 3 C: Consumerism, Celebrity, Cinicysm. Dua C yang pertama berhubungan dengan industri pemilu atau demokrasi. Bagian utamanya adalah para konsultan, tim sukses, strategi komunikasi atau pemasaran politik, program politik/pesan kampanye, survei opini publik (baik yang teraudit oleh publik mapupun tidak), serta iklan politik (Effendy Ghazali, 2011).
 
Semuanya tentu saja punya hubungan dengan kerja media. Itu berarti, media memiliki peran strategis dalam politik pencitraan. Media penyiaran yang menggunakan ranah publik jangan sampai dimanipulasi untuk tujuan politik sesaat kandidat.
 
Media penyiaran mestinya jeli terhadap upaya reality show yang coba dilakukan para kandidat. Media penyiaran harus bisa menganalisis, mana janji-janji politik yang asal ucap dan mana janji-janji politik yang terukur yang dapat dikalkulasi penerapannya kelak. Media penyiaran harus bisa membedakan mana pesan-pesan kosong tanpa makna dan mana tagline yang memiliki kandungan visi-misi yang jelas dan kuat.
Media penyiaran harus melakukan verifikasi atas data dan klaim-klaim keunggulan serta raihan prestasi yang diakui kandidat, supaya jualan politiknya tak berubah menjadi bualan politik semata.

Bongkar Pencitraan
Upaya mendorong media penyiaran yang kritis bukan tanpa alasan. Pasalnya, masyarakat sepertinya telah jengah dan kehilangan kepercayaaan terhadap proses demokrasi yang ada. Harapan akan terjadinya perubahan-perubahan mendasar setiap perhelatan pemilukada ternyata kandas.
 
Mereka mulai apriori dan apatis terhadap agenda lima tahunan ini. Lihat saja angka partisipasi pemilih yang relatif rendah di beberapa daerah. Bahkan, dalam sejumlah kasus, jumlah suara golput lebih besar dibanding prosentase perolehan suara pemenang. Situasi ini dalam jangka panjang sangat tidak sehat bagi kualitas kehidupan demokrasi kita.
 
Karena itu, media penyiaran yang kritis akan menjadi panduan bagi masyarakat dalam menentukan dan memilih figur pemimpin yang ideal yang sesuai tuntutan zamannya. Masyarakat akan menilai siapa yang layak memimpin daerahnya jika track record para calon kepala daerah ditampilkan tanpa pretensi dukungan politik dari media penyiaran bersangkutan.
 
Masyarakat akan menilai siapa yang memiliki integritas, kapabilitas, dan visioner, siapa yang memiliki leadership yang baik, punya catatan prestasi, berani mengambil keputusan, serta mempunyai kemampuan komunikasi politik yang mumpuni, siapa yang bisa diterima di berbagai kelompok, berjiwa egaliter, bersih, dan teruji kematangan emosinya dalam menghadapi dinamika persoalan publik.
 
Tampak bahwa kualitas demokrasi akan ikut menentukan kualitas pemerintahan dan kenegaraan. Begitupun, kualitas pemerintahan dan kenegaraan akan sangat menentukan kualitas kesejahteraan rakyat.
 
Di sinilah esensi peran media penyiaran yang kritis untuk mengontrol dan mengawal proses demokrasi agar tidak salah arah dan dibajak hanya untuk politik kekuasaan elite dan kelompok tertentu. Media penyiaran bisa membongkar pencitraan para kandidat melalui editorial, program parodi/komedi atau pendekatan jurnalisme investigasi untuk melacak sumber dana kampanye atau menelisik keterhubungan kandidat dengan lembaga survei yang melakukan proyek opini publik.
 
Bisa juga melalui acara obrolan/diskusi untuk membedah program-program yang ditawarkan para kandidat dengan menghadirkan narasumber independen. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pendidikan politik agar pemilih menentukan pilihannya secara kritis dan bertanggung jawab. Bukan karena tampilan fisik para kandidat. Bukan pula karena iming-iming uang atau imbalan kebendaan. Juga bukan karena alasan-alasan primordial dan emosional. Tapi, pilihan rasional yang secara sadar diambil demi terwujudnya demokrasi yang substansial.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar