Sabtu, 01 Juni 2013

Mengurai Pemicu Megakorupsi Politik

Mengurai Pemicu Megakorupsi Politik
Hanta Yuda A.R., ANALIS POLITIK THE INDONESIAN INSTITUTE
Sumber : KORAN TEMPO, 10 Februari 2012




Indikasi keterlibatan petinggi partai dalam megaskandal korupsi proyek Wisma Atlet dan Hambalang kian terang dengan kesaksian Mindo Rosalina Manulang dan Yulianis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan sejumlah nama petinggi Partai Demokrat dan siapa sesungguhnya “Ketua Besar” dan “Bos Besar”. Potret buram seperti ini tak hanya menjangkiti Demokrat, karena hampir tak tersisa satu pun partai di DPR yang tak terserempet kasus korupsi.
Fenomena seperti ini boleh jadi merupakan “gejala” ketidakberesan cara berdemokrasi kita. Ibarat mengobati pasien kanker dengan gejala nyeri dan pusing. Dokter hanya memberikan obat antinyeri dan antipusing, tanpa pernah melakukan tindakan medis untuk membunuh sel-sel kanker di dalam tubuh pasiennya. Apa yang terjadi? Tentu saja penyakit kanker itu tak kunjung sembuh, dan justru semakin mengganas. Seperti itulah fenomena kian mengganasnya korupsi politik di negeri ini. Kita hanya berfokus pada upaya mengatasi “gejalanya”, tetapi lengah dalam membereskan sumber pemicunya, sehingga korupsi politik terus mengalami diaspora--berkembang-biak dan menyebar--dengan sangat cepat.

Mengatasi gejala--tindak pidana korupsi--melalui penegakan hukum yang tegas memang sangat penting, tetapi mengurai dan mengatasi pemicu utama terjadinya skandal-skandal itu juga tak kalah penting. Situasi ini memunculkan sebuah pertanyaan reflektif: mengapa hal itu terjadi dan apa saja pemicu maraknya megaskandal korupsi politik yang melibatkan para petinggi partai?

Lima Pemicu

Paling tidak ada lima hal yang terindikasi kuat menjadi pemicu sekaligus akar penyebab terjadinya korupsi politik yang melibatkan para elite partai secara bervariasi: imbas dari rapuhnya sistem pendanaan partai yang tak transparan, mulai tahap pemasukan hingga pengeluaran; efek dari liberalisasi sistem pemilihan yang menyebabkan prosedur pemilihan berbiaya tinggi (high-cost procedure); implikasi dari rapuhnya sistem rekrutmen dan suksesi kepengurusan di internal partai; buruknya sistem penganggaran di DPR yang mendorong terjadinya penyimpangan; serta kebobrokan birokrasi dan sistem tender proyek pemerintah.
Sistem pendanaan publik dan mekanisme iuran anggota, yang seharusnya menjadi tulang punggung pendanaan partai, gagal diterapkan. Akibatnya, sumber pemasukan partai mengandalkan sumbangan pengusaha--secara legal maupun ilegal--dan setoran kader serta pengurus yang menjadi pejabat publik. Pola relasi seperti inilah yang berpotensi besar mendorong terjadinya penyimpangan elite partai berkolaborasi dengan kepentingan bisnis melalui permainan anggaran dan tender proyek pemerintah. Pendanaan partai yang ditopang setoran kader di DPR dan pemerintah juga mendorong terjadinya pengurasan uang negara melalui permainan anggaran. Apalagi undang-undang hanya membatasi sumbangan maksimal dari luar, tetapi tak membatasi besaran sumbangan pengurus kepada partai.

Sistem pemilihan yang kian liberal menyebabkan biaya politik (kampanye) sangat tinggi. Setiap partai dan kandidat dituntut memiliki modal kampanye sangat besar. Partai dan kandidat yang tidak memiliki modal cukup akhirnya melakukan transaksi dengan pengusaha penyandang dana politik sebagai sponsor, atau menggerus uang negara secara ilegal melalui praktek permainan anggaran dan proyek pemerintah.

Rapuhnya sistem rekrutmen dan suksesi kepengurusan di lingkup internal partai juga berkontribusi memicu terjadinya korupsi politik. Mekanisme seleksi jabatan publik yang tak transparan dan transaksional menyebabkan partai terperangkap dalam kebutuhan finansial, dan dijadikan sumber pemasukan partai. Kondisi ini menjadi pintu masuk perilaku koruptif, karena para kandidat yang mengeluarkan biaya tinggi hampir pasti berpikir bahwa biaya politik yang dikeluarkannya harus kembali. Sementara itu, suksesi kepengurusan di lingkup internal partai juga menjadi pertarungan kekuatan kapital yang kerap disertai praktek politik uang. Hal ini jelas menyebabkan kandidat ketua umum dan tim pemenangannya membutuhkan sumber finansial sangat besar.
 Adapun proses penyusunan anggaran di DPR yang tak transparan dijadikan sebagai lahan subur bagi praktek korupsi politik. Apalagi DPR memiliki kewenangan dalam menentukan besar-kecilnya anggaran untuk kementerian dan lembaga negara, bahkan ikut menentukan perusahaan-perusahaan mana yang akan melaksanakan sejumlah proyek di kementerian. Pada situasi besarnya kebutuhan finansial dalam sistem pemilihan berbiaya tinggi, sistem pendanaan partai yang bermasalah, serta sistem rekrutmen/suksesi internal partai berbasis pertarungan kapital, partai memanfaatkan celah kelemahan sistem penganggaran dan bobroknya birokrasi tender proyek pemerintah melalui modus praktek percaloan anggaran dan permainan proyek pemerintah. Karena itu, para politikus yang korup sejatinya tak hanya didorong oleh motif memperkaya diri, tetapi juga untuk mengisi pundi-pundi partai.
Jalan Keluar
Beberapa proposal jalan keluar dapat diajukan untuk mengantisipasi kelima pemicu itu, atau paling tidak mengurangi potensi terjadinya “diaspora korupsi politik”. Pertama, pembenahan sistem pendanaan partai, mulai aspek pemasukan, pengelolaan, hingga transparansi pengeluaran. Karena itu, diperlukan secara khusus pengaturannya melalui UU Keuangan/Pendanaan Partai. Kedua, regulasi pembatasan belanja kampanye (limited spending) partai dan kandidat dalam UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden, dan UU Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya praktek korupsi anggaran karena motif untuk mengisi kas partai atau mengembalikan modal ketika terpilih, sekaligus mendorong agar pelaksanaan pemilu semakin murah dan adil.

Ketiga, demokratisasi dan reformasi sistem rekrutmen serta suksesi kepengurusan partai melalui mekanisme yang transparan. Hal ini membutuhkan kesadaran elite partai untuk melakukan perubahan dari dalam, serta melalui pengaturan yang lebih tegas dan terperinci di UU Partai Politik. Keempat, pembenahan sistem pembahasan APBN--di komisi-komisi maupun Banggar--dan sistem tender proyek pemerintah agar lebih transparan dan akuntabel dengan melibatkan pengawasan KPK dan BPK untuk memperkecil celah permainan mafia anggaran.

Kelima, regulasi sistem pembuktian terbalik bagi pejabat publik, kandidat, dan partai. Sehingga diperlukan aturan dan sistem yang mengharuskan para kandidat dan partai membuktikan bahwa sumber pemasukan diperoleh secara legal. Jika melanggar, kandidat dan partai tersebut dilarang mengikuti pemilu, bahkan dibubarkan.

Karena itu, upaya mengatasi skandal-skandal megakorupsi politik tak hanya dilakukan melalui penegakan hukum yang tegas, tetapi juga harus memutus mata rantai penyebaran virus korupsi politik yang kian mengganas dan menggurita itu dengan membereskan penyebabnya. *

Adapun proses penyusunan anggaran di DPR yang tak transparan dijadikan sebagai lahan subur bagi praktek korupsi politik. Apalagi DPR memiliki kewenangan dalam menentukan besar-kecilnya anggaran untuk kementerian dan lembaga negara, bahkan ikut menentukan perusahaan-perusahaan mana yang akan melaksanakan sejumlah proyek di kementerian.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar