Selasa, 04 Juni 2013

Mesin Partai Plus Elektabilitas

Mesin Partai Plus Elektabilitas
Marwan Mas; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
Rakyat Sulsel, Minggu 2 Juni 2013





Menyimak situasi demokrasi yang berkembang di Makassar, diperkirakan jumlah pasangan calon yang akan mengikuti pemilihan walikota mendekati hitungan sepuluh jari. Penyebabnya, selain tidak ada gabungan partai politik (parpol) yang terlalu gemuk dalam mengusung calon, juga ada beberapa pasangan yang memilih jalur perseorangan (independen). Sejumlah pasangan juga sudah mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar.

Fenomena ini merupakan salah satu bagian dari pemenuhan hak rakyat untuk memilih pemimpin dengan beragam alternatif. Jika mengacu pada sejumlah pemilihan kepala daerah seperti Jakarta dan Jawa Tengah, maka untuk memperoleh elektabilitas (tingkat keterpilihan) bukan hanya karena popularitas sang calon, melainkan juga perlu ditunjang oleh bekerjanya mesin partai secara baik. Tanpa mengecilkan elektabilitas pasangan yang memilih jalur perseorangan, tetapi patut diatensi bahwa pasangan yang diusung oleh parpol setidaknya punya nilai tambah.
 
Tidak Sekadar Populer Belajar pada pemilihan gubernur Jawa Tengah, banyak sisi menarik yang bisa diurai setelah kemenangan pasangan yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Melalui versi hitung cepat, Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko dinyatakan menang dan mampu mengalahkan calon petahana. Artinya, PDI-P dari dua pemilihan gubernur yang nyaris hanya sendirian mengusung calonnya (kecuali DKI Jakarta), tetapi bisa dimenangkan dengan mengusung kadernya sendiri. Terlepas kalah pada pemilihan gubernur Sumatera Utara dan Bali, tetapi PDI-P memperlihatkan nuansa demokrtasi tersendiri.

Setidaknya PDI-P membuktikan bahwa mesin partai bekerja dengan baik sehingga menuai hasil maksimal, meski tetap ditunjang oleh syarat usungan calon yang memang diterima dan sesuai dengan harapan rakyat pemilih. Perpaduan “partai plus sosok” pasangan ternyata menjadi formula yang sangat ampuh untuk meraih dukungan rakyat.

Kemunculan sosok populer dengan tingkat keterpilihan yang tinggi, kemudian didukung oleh bekerjanya mesin partai, bisa menjadi penentu kemenangan. Mengacu pada realitas selama ini, populer saja tidak cukup. Tetap harus didukung oleh kualitas kompetensi sang calon untuk dipercaya melakukan perubahan kehidupan rakyat. Perpaduan popularitas dengan elektabilitas yang sejalan dengan harapan masyarakat, merupakan variabel penentu untuk menggerakkan mesin partai secara efektif.

Adakah di antara pasangan calon Walikota Makassar yang selama ini mencuat di permukaan memiliki syarat tersebut? Paling tidak ada pembelajaran berharga, meski kondisi Jawa Tengah dalam pemilihan gubernur yang memang ''kandang PDI-P'', sementara kota Makassar bisa disebut begitu cair lantaran tidak ada satu parpol tertentu yang menguasai kursi DPRD Makassar secara mayoritas. Dalam waktu yang pendek sampai September 2013, mampukah mesin partai dan tim sukses pasangan perseorangan menggerakkan militansinya dengan kemunculan sosok yang mendekati aspirasi rakyat.

Tiga Elemen

Arus besar aspirasi pemilih yang begitu cair lantaran sebagian besar pemilih di Makassar yang rasional, tentu sedang bergerak ke arah yang bisa membuat kejutan. Yang paling dibutuhkan masyarakat kota adalah sosok yang memiliki tiga elemen yaitu: “komunikatif, berintegritas, dan berjiwa perubahan”. Sosok yang komunikatif harus ditunjang oleh integritas yang baik agar semua perubahan yang dijanjikan bisa diukur kuantitas dan kualitasnya. Tapa dukungan itu, akan sulit meraih simpati mayoritas publik.

Demikian pula yang akan terjadi pada sosok yang kemungkinan memiliki popularitas tetapi miskin intergiritas dan tidak komunikatif pada rakyat. Blusukan yang selalu dilakukan Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, menyebabkan visi dan misi perubahannya bisa diterima masyarakat. Sebab semilitan bagaimanapun kader dan mesin partai atau tim sukses tidak akan efektif berjalan, jika tiga elemen tersebut tidak dimiliki pasangan yang diusung.

Kemungkinan akan tingginya angka golput, juga patut diwaspadai. Sebab hal itu bisa menjadi indikator yang menunjukkan bahwa masyarakat pemilih benar-benar secara rasional mempertimbangkan pilihannya. Penyelenggara pemilu (KPU Kota) berserta parpol dan tim sukses perlu mengatensi ancaman tingginya golput, karena pada akhirnya akan mengganggu efektivitas demokrasi yang sedang kita bangun. Besarnya golput berisiko untuk memunculkan ruang kosong yang mengancam kualitas demokrasi.

Menyadari beragam faktor untuk meraih kemenangan, setidaknya kita berharap agar parpol dan pasangan calon tidak terperangkap dalam euforia dengan mengumbar janji yang tidak bisa diukur akan mampu diwujudkan. Kita tidak mungkin mengabaikan proses pemilihan pemimpin Kota Makassar yang berlandas pada idealisasi demokrasi. Ketika harapan pada parpol kian menipis, tentu harus membangun momentum untuk revitalisasi, bisa saja di luar jalur parpol alias perseorangan. Semuanya memiliki peluang yang sama, dan keinginan melakukan perubahan merupakan sesuatu yang niscaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar