Selasa, 04 Juni 2013

Mencari Pemimpin Berintegritas Publik

Mencari Pemimpin Berintegritas Publik
KOMPAS, 04 Juni 2013



Tatkala orang beramai-ramai mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, kita pantas bertanya. Bukan punya uang berapa sehingga berani mengajukan diri sebagai caleg, melainkan apa yang telah dia perbuat untuk rakyat? Apa jasanya bagi masyarakat sehingga berani mencalonkan diri sebagai wakil rakyat?

Ada dialektika antara pemimpin dan rakyat. Seorang pemimpin adalah buah dari masyarakatnya. Jika kritis dan berdaya secara politik, masyarakat akan menghasilkan pemimpin yang bermutu dan sebaliknya. Pemimpin yang memiliki integritas publik dibutuhkan untuk membangun sistem yang baik. Di sisi lain, institusi yang adil juga harus dibangun agar bisa memunculkan pemimpin yang memiliki integritas publik.

Menurut Haryatmoko, integritas publik merupakan sikap jujur dan sungguh-sungguh untuk melakukan yang benar dan adil dalam setiap situasi sehingga mempertajam keputusan dan tindakannya dalam kerangka pelayanan publik.

Integritas publik dapat dilihat dari perilaku, visi, dan tindakan yang sesuai dengan standar etika. Pemimpin semacam ini senantiasa jujur, bersikap adil, responsif terhadap kebutuhan publik, dan kompeten untuk menepati janji. Integritas publik juga ditunjukkan dalam kemampuan memecahkan masalah dilema moral dan tercermin dalam gaya hidup sederhana.

Keutamaan habitus
Lantas, bagaimana mencari pola yang akuntabel dalam seleksi pejabat publik? Menurut Haryatmoko, pemikiran Bourdieu mengenai habitus penting dalam pemilihan atau model seleksi pemimpin yang memiliki integritas publik. Habitus merupakan proses yang menjelaskan dasar kepribadian pemimpin.

Habitus bukanlah sesuatu yang dikhotbahkan, bukan pula instan, melainkan hasil dari suatu proses pelatihan panjang dan didukung oleh lingkungan sosialnya. Konsep habitus Bourdieu tidak dapat dipisahkan dari konsep arena, yakni selalu ada hubungan timbal balik, hubungan dua arah antara struktur obyektif (struktur sosial) dan struktur yang telah terintegrasi pada pelaku (struktur habitus).

Integritas publik harus dibangun dan dilatih, bukan sesuatu yang spontan didapat begitu saja. Sebaliknya, ia didapat dari hasil pendidikan, pelatihan, dan pembiasaan tindakan yang diarahkan kepada nilai-nilai etika publik. Seorang pemimpin yang dibesarkan dalam lingkungan yang peduli kesejahteraan bersama dimungkinkan memiliki integritas publik karena keterlibatannya merupakan proses pembatinan etika publik. Integrasi budaya etika ke dalam pelayanan publik mendasari kompetensi dan integritas publik. Sayangnya, kompetensi etika sering kali digilas kompetensi teknis dan kompetensi kepemimpinan.

Seorang mahasiswa yang biasa membuat proposal dan angkanya di-mark up kelak dimungkinkan bakal meneruskan perilakunya. Jika kemudian ia menjadi politisi atau pejabat publik, kebiasaan itu akan berlanjut karena telah menjadi habitus dan etos. Ini akan berbeda jika ia berlatih kepekaan terhadap kebutuhan rakyat banyak atau terbiasa dekat dengan orang kecil serta kaum yang tersingkir.

Menurut Haryatmoko, agar muncul pemimpin berkeutamaan yang memiliki integritas publik, masyarakat perlu diberdayakan. Demokrasi yang efektif ditandai dengan partisipasi luas, mengandaikan asosiasi-asosiasi yang bersama-sama mengejar kepentingan publik bukan kepentingan pribadi. Prasyarat demokrasi yang efektif tak lepas dari kapital sosial dalam bentuk jaringan atau asosiasi-asosiasi. Dalam pembentukan integritas publik sebagai habitus, peran kapital sosial dalam bentuk kepercayaan (trust) dan solidaritas sangat penting.

"Pro bono politico”

Selain partisipasi asosiasi-asosiasi dalam mengejar kepentingan bersama, pembiasaan keterlibatan pribadi untuk kepentingan publik dalam bentuk pro bono juga penting. Kaum profesional atau mereka yang sudah bekerja wajib bekerja sukarela tidak dibayar sebagai bentuk pelayanan masyarakat. Pro bono juga mengingatkan bahwa profesi atau jabatan publik mengandung nilai etis atau kewajiban moral sebagai pelayanan untuk pengabdian masyarakat.

Pengabdian masyarakat dapat dilakukan untuk mengasah kepekaan dalam pembentukan habitus. Di kalangan pelajar dan mahasiswa, kerja sukarelawan dapat dilatih untuk membantu kepentingan umum (fasilitas publik, seperti taman, lapangan, sekolah, dan hutan), pendidikan pluralitas (aktivitas lintas agama, rumah ibadat), juga untuk solidaritas dan peduli lingkungan, seperti bekerja untuk orang miskin, rumah jompo, bencana alam, pramuka, olahraga, dan organisasi kemasyarakatan.

Jika masyarakat terbiasa berpikir dan bekerja untuk kepentingan bersama, maka terbentuklah habitus, koneksi dan kepercayaan serta solidaritas untuk peka terhadap kebutuhan masyarakat. Orang yang mau korupsi akan sedikit malu jika masyarakatnya terbiasa tidak korup.

Akuntabilitas publik dari seorang pemimpin harus diawasi secara kontinu oleh masyarakat madani. Secara teknis, program Kartu Pelaporan Warga Negara (Citizen Report Card) dapat dijadikan sebagai alat umpan balik terhadap pejabat. Melalui Kartu Pelaporan Warga Negara, masyarakat dapat melaporkan sejauh mana akses pelayanan publik, standar kualitas, dan masalah yang dihadapi. Meski kelihatan sederhana, model ini tidak semata mengasah kepedulian terhadap kebutuhan masyarakat dan melatih mendorong transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga partisipasi proaktif, pendidikan politik, dan pemberdayaan masyarakat.

Akuntabilitas pemimpin atau pejabat publik dapat diukur tidak hanya setelah mandat selesai, tetapi juga dapat dilakukan jauh hari mulai pada saat perekrutan. Akuntabilitas dalam perekrutan caleg mestinya mempertimbangkan hubungan antara wakil rakyat dan konstituen, sebelum mandat diberikan dan selama pelaksanaan tugas.
Persetujuan antara calon wakil rakyat dan konstituen dapat dimonitor panitia seleksi partai politik melalui desain kontrak politik untuk menentukan target tugas dalam jangka waktu tertentu.

Melalui mekanisme penyaringan dan seleksi, konstituen bisa memberikan catatan kualitas caleg. Melalui monitor dan pelaporan, konstituen dan masyarakat madani dapat membantu memberi informasi apakah yang dilakukan wakil rakyat berhasil atau tidak.

Pemimpin berintegritas publik tidak muncul secara instan, tetapi lahir bersama rakyatnya. Kejujuran, kerja keras, dan kepedulian pemimpin akan kebutuhan rakyatnya adalah habitus, hasil pengalaman panjang dari interaksi pemimpin dengan rakyatnya. Apakah seorang pemimpin mempunyai komitmen kepada kesejahteraan rakyat atau hanya kepentingan diri dan kelompoknya sangat ditentukan oleh habitus.

Jika seorang calon anggota legislatif atau calon presiden sejak muda memiliki etos sungguh-sungguh terlibat, bekerja, memperhatikan dan peka terhadap kebutuhan masyarakat, besar kemungkinan ia menjadi pemimpin yang memiliki integritas publik dan sangat malu jika korup.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar