Kamis, 06 Juni 2013

Menunggu Dizalimi ?

  Menunggu Dizalimi ?
Marwan Mas ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar,
Anggota Forum Dosen Majelis Tribun
Tribun Timur, 06 Juni 2013
 
 
 

Benarkah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menunggu “dizalimi” oleh Partai Demokrat dalam koalisinya di pemerintahan Susilo Bambang Judhoyono? Sejumlah pimpinan Partai Demokrat meminta agar PKS bersikap kesatria dan tidak berjiwa pengecut. PKS dituding sering mengingkari komitmen dan mengabaikan kode etik koalisi yang pernah dibuat.

Salah satu “kenakalan” terbaru PKS adalah menentang rencana pemerintah untuk menaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Ada yang menilai, tujuan PKS bukan sekadar membela kepentingan rakyat, tetapi dianggap sebagai upaya mengalihkan perhatian masyarakat karena mantan presiden PKS dijadikan tersangka kasus korupsi impor daging sapi.

PKS tidak mau keluar dari Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi, malah terkesan menunggu dipecat agar tercipta persepsi masyarakat bahwa “PKS dizalimi”. Setidaknya langkah partai Islam ini sah-sah saja dalam percaturan politik menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014. Momentum kenaikan harga BBM untuk digiring ke ranah politik pencitraan, bukan hal baru dalam dunia politik di negeri ini. BBM selalu jadi isu hangat untuk dijadikan bahan jualan, sebab BBM bagi masyarakat bisa disebut sebagai kebutuhan primer. Jika harganya naik, pemerintah tidak mampu mencegah harga bahan pokok kebutuhan masyarakat sebagai hal yang fundamental.

Petinggi Partai Demokrat menuding PKS mencari perhatian publik, tetapi Presiden SBY juga tidak berani mendepak PKS dari koalisi. Sikap PKS mengundang berbagai reaksi dalam masyarakat. Ada yang mencemoh, tetapi juga tidak sedikit yang merespon lantaran kenaikan harga BBM begitu krusial. Sekiranya PKS mendasari penolakan kenaikan harga BBM betul-betul membela kepentingan rakyat dari ancaman keterpurukan dan menambah jumlah kemiskinan, tentu tidak ada yang keliru. Tetapi karena bersamaan dengan dijadikannya tersangka mantan presidennya, sehingga banyak yang menilai miring.

Lagi-lagi ketegasan Presiden SBY diuji, tetapi diperkirakan tidak akan berani mengeluarkan PKS dari koalisi. Padahal tahun lalu, DPR menyetujui perubahan anggaran APBN dan menyerahkan kenaikan harga BBM pada pemerintah (presiden), sehingga PKS bisa dinilai bersikap ambigu. Tetapi kita berharap jangan sampai persoalan koalisi terus berlarut sehingga berdampak buruk pada kinerja pemerintahan.

Lebih dari itu, koalisi pemerintahan yang tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidensial, tidak lagi memberikan manfaat. Bukan hanya pada posisi PKS, tetapi juga bagi perbaikan kehidupan rakyat. Begitu banyak persoalan dalam koalisi yang bisa jadi bom waktu, sehingga rakyat hanya berharap agar seteru politik tidak berimbas pada kesulitan hidup rakyat. Kenaikan harga BBM tentu patut dipertimbangkan lagi, karena ujung-ujungnya menyusahkan rakyat. Akan lebih elok jika APBN-APBD dijaga dari tangan jahil koruptor, agar rakyat betul-betul merasakan kesejahteraan dari dana yang selalu dikorup.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar