Kamis, 06 Juni 2013

Akrobat Parpol Vs Politik Zig-Zag

Akrobat Parpol Vs Politik Zig-Zag
 Damang Averroes Al-Khawarizmi; Peneliti Republik Institute
dan Co-Owner negarahukum.com 
Fajar, Mei  2012

 
 
Rakyat Indonesia boleh sedikit merasa legah. BBM tidak jadi naik 1 April 2012. Namun tidak dapat dikatakan bahwa pemerintah (baca: SBY & Boediono) mustahil menaikkan harga BBM kelak. Jika hal ini berkaca pada hasil rapat paripurna DPRD (Jumat 30 Maret 2012) dari tambahan pasal “siluman” yakni Pasal 7 ayat 6 (a), bahwa pemerintah dapat menyesuaikan harga BBM jika ICP mengalami kenaikan 15 %. Suara rakyat sebagai suara Tuhan untuk mengharapkan “ibah” dari pemangku kebijakan elit negara agar BBM tidak bakalan naik, hanya “menunda” saja. Publik harus “siaga” menunggu esok lusa BBM akan tetap naik. Senada dengan yang diucapkan oleh eleman partai Golkar, dalam konferensi pers yang disampaikan Sekjen Golkar Idrus Marham fraksi golkar untuk saat ini (baca: lain waktu bisa naik) menolak penaikan BBM. Lagi-lagi golkar berhasil melakukan “permainan bahasa” ala-Witgenstein (language game) sehingga para pengamat menyimpulkan parpol Golkar sebagai parpol yang mempunyai “style” politik yang matang.

Akrobat parpol Golkar bagai pemain “sepak bola” yang berhasil men-set tempo permainan sehingga lawannya merasa “frustrasi”. Dan mau tidak mau partai lainnya (sebagai lawan pemain) kebobolan “gawang” berkali-kali. Akhirnya partai yang lain seperti PPP, PKB, PAN, dan terutama Demokrat sebagai partai penguasa parlemen juga setuju dengan pasal tambahan agar harga BBM bisa disesuaikan jika ICP naik dalam kisaran 15 %. Akrobat parpol Golkar dengan politik gaya “bahasa bersayap-nya” berhasil memecundangi partai Demokrat.

Pada awalnya Fraksi Demokrat, PAN, PPP, dan PKB setuju 10% dari harga rata-rata minyak mentah Indonesia yang diasumsikan dalam APBN. Tetapi Golkar berbeda yakni 15%. Di sini Demokrat malah “jatuh cinta” dengan bahasa “bujuk rayu” Fraksi Golkar untuk menunda saja kenaikan BBM. Minimal dengan menunda kenaikan BBM, pemerintah bisa “menutup mulut” para demonstran, ekonom, dan partai oposisi yang memiliki status ganda (sebagai “parlemen sungguhan” dan “parlemen jalanan”).

Golkar telah berhasil “berakrobat” dengan bahasa politik yang “multitafsir”. Akrobatnya bukan hanya mengobati keresahan dan “kegalauan” SBY terhadap kecaman dari berbagai pihak atas rencana kenaikan BBM. Akrobat parpol Golkar, telah melakukan “transplantasi” pasal dari UU APBNP 2012 menjadi “obat peredah sakit” dari sindrom “kegalauan”, yang kiranya membuat kepala SBY menjadi “pening”. Dan secara tidak sadar pemerintahan SBY-Boediono suatu waktu jika minyak dunia ternyata naik berdasarkan standar yang ditetapkan oleh hasil rapat paripurna (yakni 15 %), kemudian BBM mutlak (baca: mesti) naik. SBY-Boediono yang “dicaci maki’ lagi. Sementara fraksi Golkar tetap mendapat “jatah pencitraan”, sebagai partai yang tidak serta-merta “mengamini” kemauan pemerintah, menaikkan BBM.

Manufer parpol Golkar hanya menunjukkan jalan politik yang terang-benderang, untuk melakukan dekonstruksi dan pembongkaran terhadap teks, pasal, ayat, simbol, dan makna undang-undang yang memang penafsirannya butuh interpretasi (hermenutical) dan penjelasan lebih lanjut_ deconstruction, diffrence (Derrida).

Fraksi Parpol golkar seolah-olah telah menjadi guru politik “jenius” bagi partai demokrat, bahwa “begini loh” merancang perubahan undang-undang, sehingga publik tetap menghormati kebijakan pemerintah. Strategi jitu sebagai penyalur aspirasi (political representative) bukan menelan mentah-mentah hasrat publik agar BBM tidak akan pernah dinaikkan. Bukan dengan “mengeluh semata”, melakukan politik melo-dramatika, karena publik sudah tahu dan paham sekali, gaya semacam itu sebagai rupa penipuan dan kebohongan saja. Publik sudah tidak punya lagi rasa ibah, jikalau kebijakan persoalan kenaikan BBM juga pada akhirnya akan membuat mereka ikut “diderah” derita, nestapa dan kemiskinan berjamaah. Padahal Imam “jamaah penduduk miskin” ini keluar dari kelompok jamaah. Karena Imam yang memimpin jamaah itu adalah Imam yang mempunyai elit kekuasaan.

Jalan terjal politik adalah melakukan “akrobat politik” dengan politik simbiosis-mutualisme, politik reciprocity (timbal balik), rakyat untung, pemerintah untung dan tidak ada yang merugi. Perlu “penciptaan” teks terhadap pasal-pasal yang menutup pintu bagi pemerintah agar tidak mengambil kebijakan yang sewenang-wenang (willekeur). Walapun nyatanya yang dirugikan dengan penciptaan Pasal 7 ayat 6 (a) ujung-ujungnya pasti publik (baca: rakyat).

Kalau BBM kelak naik, dalam fase enam bulan kemudian. Partai Golkar dengan gaya politik “bermuka dua-nya” tetap juga bisa selamat dari kecaman publik karena “remote control” penaikan harga BBM bukan di tangan partai tersebut. Melainkan ada di tangan pemerintah dan partai Demokrat. Lagi-lagi fraksi Golkar berhasil “cuci tangan” dari kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Dan berdasarkan kacamata (baca: prediksi) politik pencitraan mereka tidak sedikitpun akan tercoreng.

Politik Zig-zag
Dibandingkan fraksi Golkar yang melakukan terobosan politik “akrobatik”. Berbeda dengan PKS dari awal memiliki langka politik, dengan mengirim surat penolakan rencana kenaikan BBM kepada SBY, namun SBY adem-adem saja. Tidak memberikan surat balasan. Tak cukup sampai di situ saja, dalam Rapat Setgab Selasa (3/4/2012). Tak ada satupun elit PKS yang diundang. Ini mengindikasikan kehadirannya dalam koalisi, PKS memang mulai tak diharapkan lagi.

Ironi politik yang dimainkan oleh PKS bagai buah simalakama. Memilih rakyat atau pemerintah. Rakyat dan pemerintah semuanya dirasakan bagai mendentak jantungnya sendiri. Sehingga partai ini melakukan nomadisme politik. Politik yang inkonsisten, kontradiktif, dan diskontinu, yang menciptakan pada situasi para aktor politik di dalamnya memparodi lembaga dan partainya sendiri. Padahal dari awal PKS juga mendukung Pasal 7 ayat 6 (a) dengan syarat 20% dari harga ICP, termasuk telah menyetujui postur anggaran subsidi BBM yang diajukan pemerintah dalam kisaran Rp137 triliun.

Namun PKS akhirnya terkena “jebakan Batman” dari akrobatik Fraksi Golkar. Mula-mula PKS sepakat saja dengan akrobatik fraksi Golkar kemudian memutar haluan dalam mainstream dan platform yang berbeda. PKS melakukan politik “zig-zag” berubah 180 derajat tidak sepakat dengan tambahan Pasal 7 ayat 6 (a) rancangan UU APBNP 2012. Berbeda dengan Fraksi PDI dan Hanura malah walk out dari rapat paripurna, untuk mengikuti gaya Fraksi Golkar yang juga hendak “cuci tangan” dari pencitraan politik yang buruk.

PKS memang partai yang punya kursi kecil di parlemen (57 kursi). Tapi setidaknya partai ini adalah partai ynag memilki investasi politik pencalonan SBY-boediono kemarin. PKS memilki tawar menawar politik di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Sehingga antara PKS dan SBY bisa saling “mengancam” atau melakukan gertak politik. Oleh karena berkali-kali PKS melakukan zig-zag politik, nomadisme politik, politik imagologi, dan politik mutan terhadap kebijakan pemerintah di parlemen.

Sekarang, mari kita tunggu apakah perwakilan Menteri PKS benar-benar akan terdepak dari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Yakni PKS dan Demokrat akan mengakhiri kemesraan politiknya. Jika benar adanya kabinet perwakilan PKS terdepak sebagai penghukuman yang tidak mau dalam satu koalisi lagi. PKS tinggal tunggu momentum saja, apakah masyarakat akan “jatuh cinta” kepada PKS sebagai partai yang tersakiti. Karena kita semua  sadar dan tahu bahwa karakter bangsa ini. Rakyatnya adalah rakyat yang melankolis.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar