Rabu, 05 Juni 2013

“Kejar Cukup bagi Semua”

“Kejar Cukup bagi Semua”
Emil Salim ;   Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup 1983-1993
KOMPAS, 05 Juni 2013
 
 

Ketika Inggris menjajah India, Mahatma Gandhi mengajak rakyat India untuk tidak meniru pola konsumsi pemerintahan kolonial dan masyarakatnya. Sebab, untuk memenuhinya, perlu dukungan banyak negeri jajahan di Asia-Afrika.

Dengan pola konsumsi seperti Inggris ketika itu, jumlah penduduk India akan memerlukan sumber daya dari hampir semua negara di bumi ini. Karena itu, Gandhi menganjurkan agar pola hidup India berpedoman to prefer less rather than more, menggantikan nafsu konsumsi masyarakat penjajah Inggris to prefer more rather than less.

Menurut Gandhi, nafsu konsumsi yang menggebu-gebu mengejar senantiasa ”lebih” ini menjadi pendorong utama semangat penjajahan dan memacu kolonialisme dan imperialisme. Karena itu, perlu dibangkitkan gerakan Ahimsa, mengendalikan diri kembali pada keasrian hidup secukupnya.

Kenyataan hidup dunia menunjukkan bahwa pandangan hidup Gandhi tidak bergaung luas di dunia internasional. Dan, nafsu ”mengejar lebih” menjadi dorongan utama dalam pola hidup dunia global sekarang ini. Padahal, dunia akan semakin melampaui ambang batang bio-kapasitas menopang pola hidup manusia sekarang ini.

Para ahli menghitung, pola hidup yang ditempuh manusia bisa meninggalkan ”jejak ekologi” yang seimbang dengan ambang batas kemampuan daya dukung bio-kapasitas bila jumlah penduduk sekitar 4,7 miliar jiwa. Kini jumlah penduduk sudah melewati 7 miliar jiwa dan menuju ke 9 miliar jiwa pada 2050.

Maka, secara kasar, bisa dihitung bahwa pola hidup yang ditempuh manusia sekarang memerlukan bio-kapasitas serupa dengan 1,5 Planet bumi dan dua Planet Bumi pada 2050. Oleh karena hal ini tidak mungkin, yang terjadi adalah bahwa sumber daya alam dan bio-kapasitas Planet Bumi dikuras 1,5-2 kali lebih intensif dari sediakala. Hal ini berakibat kondisi lingkungan alam dengan bio-kapasitasnya semakin memburuk.

Menurut perhitungan Kementerian Pekerjaan Umum, pada 2010 jumlah provinsi yang pembangunannya meninggalkan ”jejak ekologi” melebihi bio-kapasitas alamnya adalah Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Bali, dan seluruh provinsi di Pulau Jawa. Akibatnya, di provinsi-provinsi ini, apabila musim hujan sering diiringi banjir besar, dan musim kemarau kekeringan beserta gangguan alam lainnya.

Dimensi lingkungan
Pembangunan perlu dilaksanakan, terutama untuk mengurangi jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan. Majalah The Economist edisi Juni 2013 mengaitkan ”pertumbuhan pendapatan setiap 1 persen menurunkan tingkat kemiskinan dengan 0,6 persen”. Apabila disertai kebijakan pemerataan, akan dapat menurunkan kemiskinan 4,3 persen. Artinya, kebijakan pembangunan yang bermanfaat menurunkan kemiskinan adalah kebijakan pertumbuhan pendapatan dengan pemerataan aktif.

Pembangunan menaikkan pendapatan dengan pemerataan adalah penting, tetapi itu tidak cukup. Kita perlu memperhitungkan pula dimensi lingkungan alam. Pembangunan mengelola sumber daya alam tidak boleh melampaui ambang batas bio-kapasitas alam supaya pembangunan tidak merusak sistem penopang hidup yang diemban lingkungan alam.

Dalam ruang lingkup pembatas ambang batas bio-kapasitas, pembangunan menaikkan nilai tambah dari sumber daya alam yang tersedia, seperti kelapa sawit, cokelat, kopi, dan karet, sehingga tidak terbatas hanya pada hasil primer. Produk kelapa sawit, juga tumbuhan perkebunan lain, misalnya, harus bisa diproses berupa produk kosmetik, farmasi, dan produk industri lainnya.

Begitu pula produk tambang kita, seperti tembaga, nikel, dan timah, bisa dinaikkan nilai tambahnya dengan injeksi sains dan teknologi untuk menghasilkan barang jadi. Dengan kata lain, pembangunan yang memperhitungkan ambang batas bio-kapasitas berpeluang luas untuk dapat dinaikkan nilai tambahnya dengan cap made in Indonesia.

Dengan begitu, tampillah pola pembangunan berkelanjutan yang mencakup tiga sasaran sekaligus. Pertama, sasaran ekonomi melaksanakan pertumbuhan kenaikan pendapatan. Kedua, sasaran sosial pemerataan dengan pengurangan kemiskinan. Ketiga, sasaran lingkungan hidup membangun dengan mengurangi jejak ekologi di bawah ambang batas bio-kapasitas alam.

Pola pembangunan berkelanjutan tiga jalur ini masih memerlukan pembangunan jalur keempat, yakni tata kelola good governance dengan demokrasi.

Tiga jalur pembangunan berkelanjutan memerlukan sinkronisasi dan koordinasi memperkuat peranan pemerintah dalam fungsi intervensinya di pasar. Pasar yang selama ini digunakan hanya menampung isyarat harga dan nilai ekonomi, tetapi tidak menampung isyarat dan nilai sosial serta nilai lingkungan.
Pasar menderita kegagalan pasar (market failure) jika menghadapi barang-jasa sosial dan lingkungan alam. Oleh karena itu, diperlukan intervensi aktif pemerintah dalam mengarahkan mekanisme pasar agar bisa ikut menampung isyarat dan sinyal sosial dan lingkungan hidup.

Untuk memungkinkan ini terwujud, perlu ditingkatkan kemampuan kapasitas aparat pemerintah terjun dalam pasar dengan kebijakan fiskal, anggaran, perbankan, persuasi, dan insentif untuk menampung kepentingan sosial dan lingkungan.

Peranan pemerintah berintervensi dalam pasar ini perlu sikap dan perilaku pelaku birokrasi yang berkemampuan dan berkapasitas menjalankan fungsi intervensi ini. Penting dalam kaitan ini melaksanakan intervensi secara terbuka dan transparan agar bisa diikuti secara demokratis oleh masyarakat luas.

Peran pemerintah penting sebagai ”agen pembaru” dalam melaksanakan pola pembangunan berkelanjutan, menggantikan pola pembangunan konvensional. Ini disertai usaha menjungkirbalikkan pola hidup manusia Indonesia agar tidak terbenam dalam norma prefer more rather than less, tetapi lebih mengandalkan pola hidup solidaritas gotong royong ”mengejar yang cukup bagi semua”.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar