Minggu, 02 Juni 2013

Intoleransi Media Televisi

Intoleransi Media Televisi
Arif Suryo Priyatmojo ;  Staf Pengajar Bahasa Inggris,
Fakultas Bahasa dan Seni Unnes, Semarang 
REPUBLIKA, 30 Mei 2013

Salah satu isu pemberitaan yang sedang hangat diberitakan oleh media televisi Indonesia adalah soal penghargaan World Statesmen Award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemberian penghargaan ini diberikan atas dasar keberhasilan presiden dalam menjaga toleransi kehidupan masyarakat Indonesia.

Namun demikian, ada sebagian elemen masyarakat (LSM) yang keberatan dengan pemberian penghargaan tersebut dengan alasan masih terjadi dan berlangsung intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat mayoritas terhadap minoritas. Bahkan, kelompok mayoritas tersebut dianggap sebagai kelompok fundamentalis atau ekstremis.

Ketidaksetujuan mereka selanjutnya diberitakan di media televisi dengan menampilkan video rekaman-rekaman kekerasan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas. Video-video tersebut di putar secara berulang-ulang seolah sedang menggiring opini masyarakat tentang intoleransi yang terjadi di Indonesia.

Ketika melihat pemberitaan di media televisi Indonesia, kita akan melihat tiga hal utama yang selalu diberitakan secara berulang-ulang dari dulu hingga sekarang.

Yang pertama adalah tentang intoleransi pendirian tempat ibadah. Masyarakat mayoritas Indonesia dianggap sebagai masyarakat yang intoleran terhadap pembangunan tempat ibadah. Salah satu yang selalu dimunculkan dalam media pemberitaan media televisi adalah sulitnya mendirikan gereja. Masalah ini sudah lama menjadi polemik dan selalu ditampilkan di media televisi. Masyarakat mayoritas selalu diposisikan sebagai elemen yang tidak toleran terhadap pembangunan tempat ibadah.

Kalau melihat persentase jumlah tempat ibadah di Indonesia, mungkin orang akan bertanya mengapa media masih memberitakan intoleransi di Indonesia.

Berdasarkan data, pertumbuhan tempat ibadah umat Islam hanya 64,22 persen, rumah ibadah Katolik sebesar 153 persen, rumah ibadah umat Hindu sebesar 368,9 persen, dan rumah ibadah umah Buddha sebesar 475,25 persen.

Apakah media televisi pernah memberitakan tentang persentase perkembangan tempat ibadah tersebut? Saya yakin pasti tidak. Inilah salah satu intoleransi media televisi kita dalam memberitakan kasus intoleransi di Indonesia. Kalau melihat permasalahan secara lebih komprehensif, sebenarnya masalah intoleransi juga terjadi tidak hanya untuk pendirian gereja.

Masyarakat Muslim juga mengalami kesulitan mendirikan tempat ibadah di Bali dan Papua. Namun, mengapa yang diberitakan hanya intoleransi masyarakat mayoritas? Kalau melihat permasalahan secara jernih dan berdasar asas hukum, permasalahan tersebut bukan terkait dengan intoleransi, melainkan lebih kepada status hukum pendirian.

Selanjutnya, masalah kedua adalah tentang intoleransi masyarakat mayori tas terhadap minoritas Syiah di Indonesia, khususnya kasus di Jawa Timur. Banyak elemen masyarakat yang menganggap keberadaan kaum Syiah terancam karena adanya intoleransi. Media televisi Indonesia selalu memberitakan bahwa kaum minoritas Syiah adalah kaum tertindas karena mereka tidak dapat menjalankan ibadah dengan bebas.

Pemberitaan ini selalu diulang untuk sekian lama, namun media tidak pernah memberitakan tentang asal-usul terjadinya polemik tersebut. Bukankah akibat selalu didahului oleh sebab? Mengapa media tidak pernah melihat dan memberitakan tentang alasan apa masyarakat mayoritas sedemikian intoleran terhadap minoritas Syiah?

Ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak-pihak yang berwenang, melainkan juga menjadi tanggung jawab kita semua sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, termasuk media televisi. Pemberitaan yang tidak menampilkan informasi yang seimbang dan mendidik dapat menciptakan permasalahan yang tak berujung. Bukankah dengan pemberitaan tersebut sebenarnya masyarakat mayoritas juga tertindas secara teologis kalau kita mau melihat permasalahan secara lebih teliti?

Permasalahan yang ketiga yang selalu menjadi pemberitaan media televisi adalah kasus Ahmadiyah. Media televisi selalu menampilkan adegan-adegan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat mayoritas terhadap jemaat Ahmadiyah, seperti pemukulan, perusakan rumah, penyerangan terhadap tempat ibadah Ahmadiyah, dan sebagainya.

Sekali lagi, media lalai untuk melihat sebuah permasalahan secara komprehensif, yakni melihat permasalahan yang menjadi penyebab intoleransi mayoritas terhadap minoritas. Masyarakat Indonesia butuh berita yang seimbang sehingga akan meningkatkan kualitas pemahaman terhadap berita yang ditampilkan media televisi.

Kita berharap media bisa menjadi salah satu elemen untuk menciptakan toleransi kehidupan masyarakat Indonesia dengan menampilkan berita-berita yang mendidik dan seimbang. Janganlah menjadi bagian intoleransi tersebut layaknya negara Amerika yang selalu mendikte kasus HAM di seluruh negara di dunia, termasuk di Indonesia, namun Amerikalah salah satu negara pelanggar HAM terberat di dunia. Semoga media televisi tidak memiliki agenda tersendiri dengan pemberitaan-pemberitaan tersebut.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar