Minggu, 02 Juni 2013

Intelektual dan Teologi Sosial

Intelektual dan Teologi Sosial
Ai Fatimah Nur Fuad ;  Dosen Fisip UHAMKA Jakarta,
Kandidat Ph D Universitas Leeds-Inggris
REPUBLIKA, 31 Mei 2013



Tahun 2013 ini, Maarif Institute memperingati kelahirannya yang ke-10, bertepatan dengan ulang tahun ke-78 Buya Syafii Ma'arif yang jatuh pada 31 Mei 2013. Membincang khidmat Maarif Institute untuk kebangsaan dan keumatan di Tanah Air, tentulah tidak bisa dilepaskan dari peran Buya Syafii sebagai inspirator dan ideolog lembaga ini.
 
Selain beberapa kekurangan, tentu banyak hal positif yang sudah dilakukan Maarif Institute dalam satu dekade. Di tengah kompleksitas persoalan moral-sosial yang mendera bangsa Indonesia saat ini, seperti maraknya kasus korupsi dan berbagai kemungkaran sosial lainnya, peringatan 10 tahun Maarif Institute bisa dijadikan momentum untuk refleksi bersama. Salah satunya adalah mengenai sejauh mana intelektual mampu berperan dalam mereduksi kemungkaran-kemungkaran sosial, seperti yang dicita-citakan oleh Maarif Institute.

Pada 2007, ketika saya mengisi formulir pendaftaran beasiswa Chevening-British Council, saya menceritakan pengalaman interaksi awal saya dengan Maarif Institute dan pengaruhnya terhadap perjalanan hidup saya. Saat itu-pun sampai sekarang di usianya yang ke-10- saya menyadari jika Maarif Institute telah berperan besar dalam menanamkan makna intelektual dan peran sosialnya dalam diri saya. Maarif Institute bagi saya adalah nuqtah al-intilaq, landasan awal dalam perjalanan akademis saya.

Diskursus tentang peran sosial seorang intelektual menjadi salah satu concern utama Maarif Institute sejak berdiri pada 2003. Saya melihat bahwa kegiatan-kegiatan Maarif Institute pada periode awal adalah bentuk terjemahan dari makna dan peran intelektual yang dicita-citakan oleh lembaga ini. Melalui berbagai kegiatan, Maarif Institute meramu ide-ide keislaman, kebangsaan, keumatan, dan kemuhammadiyahan, serta memadukan spiritualisme dan intelektualisme Buya Syafi i di satu sisi dan aktivisme almarhum Kang Moeslim di sisi lain. Workshop-workshop ini telah mengentak kesadaran saya bahwa pemahaman akan teks kitab suci dan ajaran-ajaran agama yang saya peroleh dari Universitas Al-Azhar Mesir tidaklah cukup untuk melihat kompleksitas persoalan kemanusiaan yang terus berubah.

Kesadaran akan perlunya kepekaan teologi sosial telah melahirkan pergulatan pemikiran dalam diri saya. Untuk mengimplementasikan ide ini, saya berpikir bahwa intelektual haruslah merupakan perpaduan dari memiliki kedalaman bidang ilmu yang dipelajari dan pengalaman pengabdian, mampu me- nyan dingkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial, dan mampu mempersempit gap antara wacana dan praktik.

Secara pribadi, saya selalu mengingat pesan Buya Syafii bahwa seorang pencari ilmu, Islamic thinker, intelektual, atau apa pun namanya, selain harus tekun dalam meningkatkan kapasitas intelektualnya, juga harus terus berpikir dan bekerja nyata untuk membangun peradaban dan kemanusiaan yang lebih baik. Dengan spirit dan motivasi yang seperti itu, saya bersyukur memiliki semacam alert system.

Peran intelektual yang memi liki komitmen agama dan komitmen keilmuan untuk melakukan perubahan sosial, seperti yang dicita-citakan Maarif Institute sangatlah dibutuhkan bangsa ini. Namun, tentu dibutuhkan proses untuk menguasai keilmuan dan keterampilan tentang dari mana dan bagaimana cara melakukan perubahan sosial tersebut. Dalam ajaran Islam, sudah termaktub bahwa agama melarang tindakan-tindakan ketidakadilan, kesewenang-wenangan, hegemoni, dan kemungkaran-kemungkaran sosial lainnya (QS 16: 90, 57: 25, 4: 135, dll).

Namun, persoalan how to masih harus terus ditemukan formulanya. Dalam hal ini, perhatian Maarif Institute terhadap pentingnya menguasai ilmu-ilmu sosial, dan selanjutnya mempelajari gerakan-gerakan sosial sangat diperlukan. Best practices atau best experience dari ilmu dan gerakan sosial di berbagai belahan dunia perlu dilihat sebagai bahan kajian.

Tawaran Maarif Institute sangat penting mengingat ilmu-ilmu sosial masih kurang mendapat perhatian di kalangan intelektual Islam di Indonesia. Padahal, ilmu sosial diperlukan sebagai "ilmu alat" untuk membedah persoalan kemanusiaan yang semakin berat dan beragam. Pendalaman terhadap ilmu sosial diperlukan di samping tentu saja memiliki otoritas kuat dalam ilmu agama.

Menjadi otoritatif dalam ilmu agama sangat penting untuk bisa menjadi rujukan bagi masyarakat luas, apalagi di tengah fragmentasi otoritas intelektual keagamaan yang terus berlangsung. Namun, menjamurnya berbagai tindakan kemungkaran sosial membutuhkan intelektual atau ulama yang tidak hanya otoritatif, tetapi juga sensitif terhadap persoalan yang dialami sesama.

Kepekaan sosial seorang intelektual sejatinya dibarengi dengan pemahaman akan tiga proses mekanisme perubahan; to learn, to act, and to organize. Setiap tahapan ini harus dipenuhi oleh seorang agent of change. Seperti pernah disampaikan Kang Moeslim, memang tidak semuanya harus bepikir menjadi Islamic thinker, actor, sekaligus organisator, namun sebagai sebuah gerakan intelektual tentu tetap memerlukan sisi aktivisme atau paling tidak kemampuan merang kul aktivis yang memiliki komitmen melakukan pembelaan di akar rumput.

Suatu perubahan yang signifikan tidaklah bisa diharapkan jika dilakukan oleh hanya seorang individu. Oleh karena itu, upaya untuk membangun dan menumbuhkan kesadaran kolektif mutlak diperlukan melalui sebuah organisasi.

Bangsa kita sudah memiliki banyak organisasi sosial-keagamaan, lembaga pendidikan, begitu juga dengan institusi pemerintahan atau swasta. Yang mendesak untuk dimiliki adalah tenaga pendidik, intelektual, pelaksana di lapangan dan organisator yang mumpuni untuk mengisi lembaga-lembaga tersebut. Sinergi antarkomponen anak bangsa yang mumpuni ini kelak akan melahirkan peradaban yang lebih baik.

Dengan berbekal renungan dari Maarif Institute yang seperti inilah, saya, bismillah hijrah dari Ciamis ke Inggris. Terakhir, selamat ulang tahun kepada Maarif Institute dan Buya Syafii, semoga selalu menjadi teladan dan pencerah kebinekaan bangsa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar