Sabtu, 01 Juni 2013

Caleg Kotor

Caleg Kotor
Marwan Mas: Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
Fajar, Senin 27 Mei 2013


Sejumlah partai politik (parpol) mengakui rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) 2014 masih bermasalah (Media Indonesia, 2/5/2013). Dalam daftar caleg sementara (DCS) pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei 2013, masih terdapat sejumlah caleg kotor (caleg cumi menurut Kopel) lantaran pola rekrutmen yang buruk sehingga diprediksi akan semakin memperburuk citra parlemen.

Caleg kotor diasumsikan sebagai sosok yang memiliki rekam jejak yang buruk, seperti terlibat kasus korupsi, melanggar HAM, pelecehan seksual dan KDRT, termasuk malas mengikuti sidang untuk membicarakan nasib rakyat. Begitulah antara lain rilis Kopel Sulawesi Selatan agar pemilih bisa memaknainya sebagai pembelajaran politik.

Caleg kotor dikhawatirkan tidak membawa perubahan yang signifikan, apalagi kiprahnya selama ini tidak memberikan perbaikan kehidupan bagi rakyat. Apakah mereka bisa mengubah karakter buruk yang selama ini menjadi kanker dalam menjalankan fungsi parlemen.

Pemilu 2014 seharusnya didesain agar lebih bermartabat, tidak sekadar dijadikan pesta demokrasi formalitas lima tahunan. Juga tidak boleh cuma menjadi momentum yang menandai babak baru perpolitikan tetapi miskin substansi dan kualitas. Pengalaman di berbagai negara demokrasi yang sudah mapan, pemilu selalu dijadikan wahana pembaruan dan penyegaran politik. Bukan mengulang kekeliruan masa lalu.

Pemain Lama

Dalam DCS juga masih banyak pemain lama yang saat ini sedang duduk di kursi DPR atau DPRD. Mereka mendaftar pada parpol lama, tetapi ada juga yang menyeberang ke partai lain. Bahkan parpol yang baru pertama menjadi peserta pemilu pun tak tertecuali mendaftarkan banyak nama lama yang pindah dari partai lain. Dari satu sisi, bisa dipahami karena terkait dengan pertimbangan pragmatis, mereka dianggap memiliki kemampuan mengumpulkan suara. Tetapi pada sisi lain mengindikasi bahwa parpol belum berhasil melakukan kaderisasi.

Tentu tidak ada yang salah, bahkan sama sekali tidak dilarang dalam undang-undang. Hanya saja, sebagian dari mereka punya implikasi yang kurang menguntungkan terhadap institusi parlemen, sebab ada yang terindikasi kasus hukum. Makanya, rakyat tidak punya banyak pilihan karena diberi pilihan yang kadang tidak bisa dihindari. Rakyat harus pandai-pandai memilah mana emas yang bisa memperjuangkan aspirasi, dan mana loyang yang hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.

Proses yang instan dengan memanipulasi popularitas caleg akan membuat parlemen seperti parade selebriti. Banyak temuan menarik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) dalam DCS anggota DPR. Selain banyak artis, juga banyak petualang politik yang terkesan hanya mencari peruntungan di ranah politik. Setidaknya bisa diprediksi bahwa kondisi tersebut tidak akan membuat parlemen lebih baik. Sebab mereka yang kotor lebih cenderung melihat parpol sebagai kendaraan untuk mencapai ambisi pribadinya.

Seharusnya parpol dipandang sebagai infrastruktur politik yang akan memperjuangankan idealisme tertentu, dan kesejahteraan masyarakat sebagai arah perjuangan. Lemahnya sistem kaderisasi parpol membuat banyak kader sendiri yang terpental, diganti dengan orang-orang yang belum jelas jejak perjuangannya. Maka itu, dugaan adanya permainan uang dalam proses perekrutan caleg bisa menjadi bumerang.

Caleg Malas

Dari berbagai rapat Paripurna DPR atau DPRD yang dipantau Kopel, tetap saja diwarnai banyaknya anggota dewan yang tidak hadir alias membolos. Dalam rapat paripurna terekahir yang dipimpin Wakil Ketua DPR Sohibul Iman (23/5/), terdapat 253 anggota yang tidak hadir. Kebiasaan membolos ikut sidang, mestinya diumumkan ke publik agar nantinya rakyat tidak membeli kucing dalam karung. Buat apa memilih wakil yang malas hadir untuk membicarakan nasib rakyat yang diwakilinya.

Lebih efektif jika Badan Kehormatan DPR dan DPRD lebih terbuka, agar kebiasaan membolos saat rapat diumumkan hingga ke pelosok daerah tempat yang bersangkutan mendulang dukungan atau daerah pemilihan (dapil). Ini merupakan pola kerja yang positif dan tidak selalu bisa disebut sebagai penghinaan, seperti dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1) KUHPidana dengan cara “merusak kehormatan atau nama baik” yang populer dalam masyarakat sebagai “pencemaran nama baik”. Jika dilakukan dengan “tulisan atau gambar” disebut “menista dengan tulisan (ayat 2).

Menurut R. Soesilo (1994:226), menghina atau mencemarkan nama baik adalah merusak kehormatan seseorang dan hanya dapat dihukum jika dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” agar diketahui publik. Tetapi dalam ayat (3) pasal tersebut ditegaskan, bahwa tidak termasuk menista dengan tulisan jika dilakukan untuk “kepentingan umum”.

Artinya, jika yang diungkap ke publik untuk membela kepentingan umum, misalnya agar pemilih mengetahui bahwa ada wakil yang akan dipilih tidak pantas karena tergolong caleg kotor yang dibuktikan dengan berbagai fakta, maka tidak dapat dihukum. Setidaknya harus menunjukkan kekeliruan dan kelalaian bahwa secara nyata caleg kotor dimaksud telah melakukan perbuatan tercela sehingga tidak pantas untuk dipilih lagi.

Menolak caleg bermasalah (baca caleg kotor) menurut Wakil Ketua DPR, Pramono Anung (Media Indonesia, 24/5/) akan mampu mengembalikan citra DPR di mata publik. Sebab, tidak bisa dimungkiri, sejumlah kasus korupsi, tindakan asusila, dan malas ikut sidang semakin memperburuk dukungan rakyat terhadap institusi parlemen.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar