Sabtu, 08 Juni 2013

Basa-Basi Pengaturan Kampanye

  Basa-Basi Pengaturan Kampanye
  Ikhsan Darmawan; Dosen Departemen Ilmu Politik Fisip UI.
Sinar Harapan, 7 Juni 2013
 
 
 
 
Adu visi, misi, dan program kerja atau debat kandidat secara umum biayanya lebih murah.

Seiring terus bergulirnya tahapan pemilu, isu yang berkenaan dengan pemilu makin sering diperbincangkan khalayak. Satu hal yang menjadi sorotan media massa akhir-akhir ini adalah perihal pengaturan dana kampanye.

Dana miliaran rupiah akan berputar dan berseliweran lebih cepat ketika fase kampanye nanti dimulai. Apalagi sejak sistem pemilu diubah mulai Pemilu Legislatif Tahun 2009 dari menggunakan sistem nomor urut menjadi menggunakan sistem suara terbanyak, kemungkinan saling adu dalam hal merogoh kocek para caleg akan jadi pemandangan yang lazim terjadi.

Sistem pemilu kontemporer tersebut “memaksa” setiap caleg berkorban habis-habisan, khususnya soal finansial, agar peluang meraih kursi bagi mereka lebih besar dibanding calon lain.

Padahal, aktivitas pemilu yang berdekatan dengan pengaruh yang besar dari uang dapat berdampak buruk untuk politik pascapemilu selesai. Dampak yang dimaksud bertalian dengan hubungan uang dan decision making process oleh para anggota legislatif terpilih.

Mengutip Schwimmer (2003), uang memiliki posisi penting di dalam politik karena partai politik membutuhkan sumber daya yang besar untuk pembiayaan kegiatan pemilu. Namun, uang tak boleh ditempatkan dalam pengaruh yang besar di dalam aktivitas pembuatan keputusan (baca: pembuatan kebijakan) oleh para legislator. Untuk itu, pengaturan dana kampanye ditujukan untuk memagari independensi partai politik dan caleg yang berkompetisi dari pengaruh uang yang disetor oleh para donatur kampanye.

Kelemahan

Ongkos menjadi seorang caleg adalah besar jumlahnya dibenarkan anggota DPR. Sekadar contoh, Martin Hutabarat, politikus Partai Gerindra, mengatakan caleg yang bukan selebritas atau tokoh terkenal membutuhkan sekitar Rp 6 miliar untuk kampanye. Dana tersebut dibutuhkan untuk transportasi, biaya pertemuan dengan konstituen serta pembuatan baliho, spanduk, dan kaus.

Sayangnya, di tengah “ancaman” akan jorjorannya para calon wakil rakyat di Senayan, regulasi mengenai dana kampanye justru terkesan tidak diatur secara serius dan memiliki sejumlah kelemahan.

Meminjam istilah judul buku Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang baru saja diluncurkan (“Basa-basi Dana Kampanye”), pengaturan dana kampanye dalam UU No 8 Tahun 2012 menjadi seperti sekadar basa-basi. Kalaupun ada tanggapan dari segelintir anggota DPR yang menyebutkan ke media massa bahwa mereka setuju pengaturan dana kampanye, namun tetap perlu kritis kepada mereka.

Mengapa demikian? Pertama, jika memang merasa sungguh-sungguh serius ingin mengatur uang kampanye para caleg, waktunya bukan sekarang, melainkan sebelum UU Pemilu disahkan. Sebagai wakil rakyat, pembuktian perjuangan habis-habisan mendorong segerombolan pasal soal dana kampanye adalah ketika RUU Pemilu masih dirapatkan di Senayan.

Kedua, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa sudah aturannya longgar, praktik penegakan aturan juga tidak sesuai dengan harapan.

Misalnya belanja kampanye parpol-parpol dalam Pemilu 2009 menurut AC Nielsen banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan. Seharusnya diperkirakan dengan slot yang dihitung selama masa kampanye, total anggaran yang dikeluarkan jumlahnya besar, tapi yang dilaporkan kepada KPU jumlahnya lebih kecil.

Di samping terkesan basa-basi, pengaturan dana kampanye juga tidak komprehensif sehingga tidak cukup berhasil menjalankan prinsip pembatasan yang berujung pada biaya politik yang minimalis. Pengaturan dana kampanye memang membuat batasan di sisi jumlah penerimaan dana kampanye berdasarkan kategori penyumbang (individu atau lembaga), tapi membiarkan besaran dana kampanye yang boleh dikeluarkan.

Padahal, pengaturan penerimaan sendiri juga masih memiliki lubang di mana belum bisa “menjerat” anggota parpol kalau berkata tidak benar soal dana penerimaan kampanye. Dana rekening tidak bisa mengover data penerimaan seorang caleg kalau dana kampanye yang diterima berasal dari pembayaran tunai. Ditambah lagi, pelaporan dana kampanye belum dijadikan alat untuk memberi sanksi bagi caleg yang boros dalam memakai uangnya.

Implikasi

Sistem dan aturan pemilu yang tidak compatible dengan biaya politik minimalis pada saat kampanye memiliki setidaknya dua implikasi.

Pertama, ongkos politik yang tinggi akan berisiko menimbulkan transaksi politik yang ilegal sifatnya. Dana kampanye diposisikan ibarat dana investasi politik si wakil rakyat. Logika investasi minimal adalah pengembalian modal awal yang telah dikucurkan ketika kampanye berlangsung.

Seperti kita ketahui, gaji seorang anggota DPR berkisar di angka Rp 50 juta per bulan. Apabila dikalikan 60 bulan masa jabatan seorang wakil rakyat, totalnya adalah Rp 3 miliar. Angka itu bisa jadi akan tidak cukup untuk terutama bila seorang caleg mengeluarkan fulus lebih dari Rp 3 miliar.

Akhirnya, cara-cara pengumpulan uang secara ilegal (misalnya suap, komisi atas jabatan atau anggaran tertentu) bisa jadi akan menjadi “alternatif utama” bagi para caleg terpilih untuk mengembalikan modal politiknya.

Implikasi kedua yakni politik berbiaya tinggi akan menyinggung prinsip kesetaraan dalam pemilu. Pasalnya, tidak semua caleg memiliki uang yang banyak.

Akan tetapi, boleh jadi mereka yang berkantong tipis itu punya visi, misi, program, dan pengalaman mengabdi untuk rakyat yang bagus. Jelas, kampanye yang bermodal besar adalah tidak adil bagi caleg berkantong tipis, tapi berkarakter abdi rakyat yang baik.

Di samping itu, hakikat kampanye pemilu yang ideal adalah yang lebih berisikan adu visi, misi, dan program kerja ketimbang memobilisasi massa ke suatu tempat lantas menyajikan hiburan kepada simpatisan dan pendukung yang datang.

Adu visi, misi, dan program kerja atau debat kandidat secara umum biayanya lebih murah ketimbang mendatangkan artis untuk sebuah acara panggung hiburan. Apalagi kalau debat kandidat itu disiarkan dan kemudian disponsori media massa yang menyiarkannya; sedangkan “memanggil” artis biasanya ditanggung sendiri oleh si caleg.

Bagaimana kemudian agar biaya kampanye menjadi murah? Kita berharap banyak pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. KPU ialah lembaga yang paling mungkin dan “diperbolehkan” membuat aturan khusus soal kampanye, terutama bertalian dengan kegiatan kampanye. Sebagai contoh, pembatasan jumlah atribut kampanye, alat peraga, dan iklan kampanye. Pembatasan kegiatan kampanye oleh KPU dapat dibuat lewat Peraturan KPU.

Membatasi detail kegiatan kampanye adalah konstitusional ketimbang membatasi jumlah pengeluaran dana kampanye karena yang tertera di UU Pemilu adalah aturan soal jenis dan metode kampanye. Akhirnya, kita tinggal menunggu apakah KPU mau dan berani membuat terobosan hukum seperti itu dan jika dibuat apakah terobosan hukum itu didukung para caleg, anggota DPR, dan perwakilan parpol atau tidak.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar