Sabtu, 08 Juni 2013

Umatisasi Dialog Elite Agama

Umatisasi Dialog Elite Agama
Syamsul Arifin ;    Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang
JAWA POS, 07 Juni 2013
 
 


MULAI hari ini hingga lusa (9/6), wakil tokoh lintas agama dari 17 negara Asia menghadiri Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Para tokoh yang hadir dalam konferensi ACRP yang kali pertama dilaksanakan di kampus itu merupakan anggota World Conference of Religions for Peace (WCRP) desk Asia.

WCRP merupakan organisani nonpemerintah yang bermarkas di New York yang didirikan 43 tahun lalu di Kyoto, Jepang. Konferensi tahunan yang sebelumnya dilaksanakan di Korsel itu layak diharapkan menjauhi kesan sebagai aktivitas rutin dan seremonial belaka. Perlu ditagih dampak nyatanya dalam hubungan antarumat beragama di level akar rumput. Isu menurunkan pemahaman yang berpandangan luas dari elite kepada umat (''umatisasi'') urgen dilakukan.

ACRP yang dinakhodai Din Syamsuddin, ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, hanyalah salah satu model dialog tokoh lintas agama global. Dengan kata lain, dialog tokoh lintas agama, berikut dari keluasan jejaringnya (global, regional, nasional. dan lokal), telah menjadi model paling populer untuk mengembangkan hubungan antarumat beragama.

Ada gairah (passion) untuk saling memahami (mutual understanding) perbedaan pada masing-masing agama dan mencari titik pijak bersama dalam merespons pelbagai persoalan yang melintasi (beyond) batas-batas agama. Perbedaan didorong menjadi sesuatu yang dihargai, bukan diperdebatkan yang berujung pada saling menegasikan agar bisa berlanjut pada suatu praksis kerja kemanusiaan.

Tapi, bagi mereka yang skeptis, dialog dipandang secara sinis sebagai kelanjutan belaka dari paham yang mendasarinya, yaitu pluralisme yang kerap disengketakan maknanya. Mengutip Wikipedia, pluralisme (pluralism) merupakan suatu kerangka pandang yang lebih mengedepankan rasa hormat (respect), toleran (tolerance) satu sama lain, dan berinteraksi tanpa konflik (interact without conflict). Sayangnya, pluralisme telanjur disikapi dengan penuh kecurigaan akan mengarahkan semua agama sama dan karena itu diharamkan.

Dialog yang didasari kesadaran adanya keragaman dalam kehidupan beragama merupakan suatu keniscayaan tidak terbendung. Mengingat, pergerakan dunia saat ini kian mengarah pada berkembangnya kesadaran dan tuntutan pengakuan terhadap identitas yang melekat, termasuk kelompok-kelompok kecil.

Dunia, kata Friedman, kian datar (flat), terutama karena internet yang menakjubkan. Hanya dalam hitungan detik, semua peristiwa bisa diakses dengan mudah. Dalam konteks hubungan antarumat beragama di kawasan Asia, kasus Rohingya menarik dicermati. Simpati dan empati umat Islam cepat terusik begitu tahu bahwa etnis Rohingya menjadi sasaran pembersihan etnis di Myanmar yang beragama Islam.

Emosi umat Islam kian terkoyak setelah di media sosial, khususnya Facebook, terpampang foto-foto pilu yang diklaim sebagai korban pembersihan etnis Rohingya, padahal sebagian adalah hoax (bohong). Dalam tempo yang cepat pula, sentimen negatif atas identitas kelompok agresor terhadap etnis Rohingya tidak terbendung (Anehnya, tidak ada langkah gegap gempita menolong pengungsi Rohingya yang masuk ke Indonesia).

Dialog menjadi wasilah atau jembatan yang menjelaskan bisa pemahaman terhadap identitas keagamaan pada kelompok tertentu. Lebih menyempit ke Indonesia, dialog kian diperlukan karena praktik intoleransi antaragama maupun intra-agama masih bergentayangan. Pada laporan tahunan ke-5 kehidupan beragama di Indonesia yang diluncurkan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, terdapat catatan kritis terhadap komitmen pemerintah Indonesia dalam memberikan penghargaan dan perlindungan kepada kelompok lain, khususnya agama minoritas.

Pemerintah, dalam catatan CRCS, dinilai lamban, gamang, bahkan dibayangi ketakutan untuk memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas seperti yang dialami Ahmadiah dan Syiah serta minoritas di luar Islam yang tersandung perizinan pendirian tempat ibadah. Juga, jangan lupa, persoalan yang sama dialami kelompok Islam di wilayah yang berposisi sebagai minoritas.

Meski tidak sedramatis di Timur Tengah, praktik intoleransi di Indonesia mendapat sorotan tajam dalam forum Universal Periodic Review (UPR). Pemerintah dinilai lamban dalam menyelesaikan kasus gangguan kebebasan berkeyakinan. Karena itu, ada suara penolakan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 31 Mei lalu dianugerahi World Statesman Award oleh Appeal of Conscience Foundation (ACF) di New York karena dedikasinya terhadap perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antaragama di Indonesia.

Dialog dalam skema ACRP adalah model dialog yang melibatkan para elite. Sementara itu, di bawah (umat), sering terjadi ketegangan dan konflik, baik karena kesalahpahaman dalam memahami identitas keagamaan kelompok tertentu atau karena kealpaan pemerintah dalam merespons. Menghadapi realitas seperti itu, ACRP harus memperlihatkan kinerja yang membumi (down to earth). Pikiran indah kaum elite perlu disampaikan kepada umat (mengumatkan atau umatisasi) agar memahami hal yang sama.

Perlu rekomendasi yang bernada tegas (firm) kepada pemerintah agar lebih berpihak kepada kelompok minoritas, terutama dari sisi kemanusiaan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar