Sabtu, 01 Juni 2013

Posisi Partisipasi dalam Demokrasi

Posisi Partisipasi dalam Demokrasi
Haidir Fitra Siagian;  Dosen UIN Alauddin Makassar,
Kandidat Ph.d University Kebangsaan Malaysia
Tribun Timur, 30 Mei 2013

 
 
Kurang dari lima jam setelah proses pemungutan suara dalam pemilihan umum Malaysia ke-13 tanggal 5 Mei 2013 lalu dinyatakan selesai, Perdana Menteri Dato Sri Mohd Najib Tun Razak, sudah mengumumkan tingkat partisipasi rakyat Malaysia yang ikut dalam memberikan hak pilihnya mencapai angka 80 persen. Dalam pandangannya, angka 80 persen ini adalah pencapaian tertinggi dalam sejarah pemilihan umum di Malaysia.

Jika di Malaysia terdapat peningkatan partisipasi rakyat dalam pemilihan umum, maka sebaliknya di Indonesia. Pada pemilihan umum 1999 tingkat partisipasi pemilih sangat tinggi, yakni sebesar 93,3 persen. Pada Pemilu 2004 turun menjadi 84,9 persen. Terakhir dalam Pemilu 2009 kembali turun ke angka 70,99 persen. Dalam pemilihan gubernur Sulawesi Selatan tanggal 22 Januari 2013 yang lalu, partisipasi warga yang menggunakan hak pilihnya adalah berkisar pada angka 69 persen lebih. Penurunan persentase pemilih juga terjadi di pemilihan gubernur DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Sumatra Utara. Tentu banyak faktor yang menjadi penyebab sehingga perkara ini bisa berlaku.

Dalam pemilihan umum tahun depan, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden, diperkirakan partisipasi warga ini akan terus mengalami penurunan. Kecenderungan seperti ini, dalam kerangka demokrasi adalah sesuatu yang tidak baik. Hemat penulis, apabila menggunakan tolok ukur tingkat partisipasi warga negara dalam menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum sebagai ukuran demokratisnya suatu negara, maka Malaysia telah mengalahkan negara kita. Padahal dalam pandangan sempit sebagian pengamat di negara ini, ada yang mengatakan bahwa negara tetangga tersebut tidak menerapkan prinsip demokrasi dalam melaksanakan roda pemerintahannya.

Apabila kecenderungan partisipasi rakyat Indonesia dalam pemilihan umum nanti, termasuk dalam pemilihan kepala daerah, jumlahnya semakin berkurang dan bahkan berada di bawah angka 50 %, ini adalah satu kelemahan yang tidak dapat ditolelir dalam demokrasi, karena hasil pemilihannya berada di bawah ambang batas legitimasi. Oleh karena itu, ada baiknya sistem pemilihan umum secara langsung didiskusikan kembali. Ini bukan persoalan suatu kemunduran dalam berdemokrasi, lagipula klaim ini tidak signifikan untuk diperdebatkan. Perlu diketahui bahwa demokrasi tidak sebatas pemungutan suara secara langsung saja.

Manakala dalam pemilihan umum secara langsung, negara ini sudah gagal dalam menerapkan demokrasi, alangkah lebih elegannya jika memikirkan indikator lain yang lebih sesuai dengan jatidiri bangsa, lebih murah, diterima oleh lebih banyak warga, dan tidak bertentangan dengan hakikat demokrasi itu sendiri. Tidak pada tempatnya negara ini hanya ikut-ikutan arus demokrasi tertentu yang hanya “dijiplak” dari sistem demokrasi luar, yang nilai akarnya dalam budaya dan sejarah bangsa tidak menggembirakan.

Partisipasi Warga
Negara yang demokratis sering ditafsirkan sebagai negara yang melibatkan warga negaranya secara keseluruhan dalam pengambilan kebijakan. Definisi inilah yang menjadi landasan untuk mengadakan pemilihan umum secara langsung. Tujuannya untuk memperoleh pemimpin yang memiliki tingkat legitimasi tinggi dari warga negaranya. Dengan legitimasi yang tinggi itu, diharapkan pemimpin akan dapat memimpin roda pemerintahan dengan lancar.

Dalam kenyataannya selama 12 tahun lebih reformasi berjalan, dapat disaksikan bahwa arah demokrasi di negara kita belum mencapai cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat yakni; melidungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Indikator dari ketidakberhasilan ini cukup mudah menggambarkannya. Misalnya, secara nasional, ini tampak pada masih tingginya angka kemiskinan, pengangguran, dan tindak kriminal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Maknanya adalah bahwa pemilihan umum secara langsung yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam menentukan siapa yang menjadi pemimpin di negeri ini, ternyata tidak sejalan dengan upaya yang diperoleh untuk mencapai tujuan bangsa. Di antara faktor yang menyebabkan berlakukan perkara ini adalah karena partisipasi rakyat dalam pembangunan hanya diperlukan dalam pemilihan umum saja. Setelah pemilihan umum, partisipasi mereka tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting oleh pemimpin, atas berbagai argumentasi. Seyogiyanya pelibatan rakyat dalam membangun bangsa ini jangan hanya terbatas dalam pemilihan umum semata. Warga negara mesti dilibatkan dalam segenap proses pembangunan nasional, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pemanfaatan.

Terkait dengan demokrasi dan partisipasi warga negara ini, Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln (dalam Tansey dan Jackson, 2008) menyiratkan tiga elemen kunci demokrasi. Pertama bahwa demokrasi itu bersumber ‘dari’ rakyat bukan berarti sekedar diakui oleh rakyat tetapi bahwa demokrasi mestilah memperoleh legitimasi yang bersumber dari komitmen kesetujuan penuh rakyat terhadapnya (pemerintah terbentuk atas persetujuan). Kedua, bahwa demokrasi adalah “oleh” rakyat bermakna bahwa mereka berpartisipasi secara aktif dalam proses pemerintahan. Ketiga, bahwa demokrasi adalah “untuk” rakyat berarti bahwa ia berupaya mewujudkan kesejahteraan umum dan melindungi hak-hak individu.

Dari ketiga elemen tersebut, partisipasi warga negara dalam pembangunan negara adalah keharusan. Freire (1971) mengatakan, prinsip pembangunan yang paling baik adalah manakala bersumber daripada kepentingan warga negara dengan melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Selama ini kecenderungan pelibatan rakyat dalam proses pembangunan masih dalam tataran wacana. Adapun ketika sampai pada proses aplikasinya, mereka lebih sering diabaikan daripada dilibatkan dalam arti yang sesungguhnya.

Dampak yang paling kongkrit dari minimnya partisipasi warga negara dalam pembangunan, adalah semakin berkurangnya persentase pengguna hak suara dalam pemilihan umum sebagaimana dipaparkan di atas. Dalam pemilihan umum, misalnya, semakin banyak warga negara yang tidak paham dan tidak percaya terhadap kegiatan yang sering disebut sebagai pesta demokrasi yang menghabiskan anggaran puluhan triliyun ini. Warga negara lebih diperlukan untuk memuluskan perjalanan sebuah partai politik dan para elitnya untuk melanggengkan kekuasaan, daripada dipakai sebagai upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) masyarakat.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar