Sabtu, 08 Juni 2013

Politik Kemakmuran Desa

Politik Kemakmuran Desa
M Fauzi Sukri ;    Pemerhati Masalah Ekonomi Politik Lokal
KORAN TEMPO, 07 Juni 2013
 
 
 



Kenapa, setelah reformasi, diskursus dan kajian pedesaan perlahan menghilang dari agenda para intelektual Indonesia? Atau, kenapa politik kemakmuran desa meredup, menghilang, dan seperti tak terhiraukan lagi dalam ruang publik media massa pada era reformasi ini (yang entah sampai kapan!)? Setelah Soeharto lengser, diskursus desa dalam arus sosial, politik, budaya, dan ekonomi praktis sepi-senyap dan hampir menghilang, serta hanya segelintir orang yang masih membicarakan dan meneliti perihal desa.

Hal ini berbeda jauh khususnya dengan masa Soeharto, yang menghasilkan begitu banyak penelitian, penerbitan buku, pemberitaan media massa yang bahkan menyediakan rubrik desa, dan ada proyek koran masuk desa, dan tentu saja banyak intelektual dari yang terkemuka sampai yang berada di kampus-kampus yang memperhatikan, mengadakan penelitian, dan menerbitkan pemikiran mereka, juga membuat mata kuliah tentang desa.

Bisa dikatakan, sejak zaman Belanda sampai zaman Seoharto, semua intelektual yang memasuki masalah kebudayaan dan ekonomi mau tidak mau harus memikirkan dan menulis perihal desa. Kita masih bisa membaca karya-karya mereka di perpustakaan dalam bidang sosiologi pedesaan, ekonomi pembangunan, antropologi, kebudayaan, sastra, filsafat, teknologi, dan sebagainya.

Ada atau tiada
Kalau kita membaca buku-buku atau hasil penelitian, kita bisa sedikit berkesimpulan bahwa desa sudah tidak lagi menjadi diskursus utama para ilmuwan Indonesia. Desa hampir tidak ada. Tapi, menurut data terbaru, pada 2001 jumlah desa di Indonesia mencapai 61.562. Dan sepuluh tahun berikutnya, atau 2012, jumlahnya menjadi 72.944 desa dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,4 persen per tahun. Desa terus bertambah, bahkan jauh melebihi pertambahan area perkotaan dengan/seiring adanya pemekaran wilayah yang terjadi di beberapa daerah.

Selain itu, yang dulu juga menjadi salah satu alasan utama kajian-kajian pedesaan, pada Maret 2011, angka kemiskinan di pedesaan mencapai 15,72 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 9,23 persen (BPS, 2011). Dan data per September 2012 mencatat bahwa 63,25 persen penduduk miskin di Indonesia tinggal di pedesaan.

Data ini juga harus dicermati dengan melihat perkembangan teknologi transportasi yang melanda pedesaan hampir di seluruh Indonesia: sepeda motor. Perkembangan ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah ekonomi Indonesia. Bisa dibilang, sebagian penduduk desa bisa leluasa keluar-masuk kota dengan berbagai alasan, khususnya ekonomi, yang dimungkinkan oleh mobilitas yang cepat dan efisien. Inilah yang bisa disebut urbanisasi nomadik. Hal ini bisa dilihat di pedesaan Madura setelah beroperasinya Jembatan Suramadu, dan beberapa daerah lainnya.

Dan yang tak kalah penting, sampai saat ini kriteria area desa sering dan semakin kabur akibat perkembangan dan pembangunan kota yang semakin menyentuh area yang sebelumnya disebut desa. Pembangunan jalan raya, pemekaran wilayah menjadi kota-kota baru, merangseknya pembangunan cabang-cabang bank ke desa-desa, perkembangan teknologi informasi yang melanda desa, dan sebagainya. Sederhananya: "urbanisasi" area, bukan manusia yang berpindah ke kota.

Maka, pertanyaannya: desa masih ada atau sudah bisa kita anggap tiada? Secara umum, kalau kita melihat tanggapan pemerintah yang sedang menyiapkan pengesahan RUU Desa, kita bisa dengan pasti mengatakan bahwa desa masih memiliki eksistensi. Begitu juga perangkat administrasi-birokratis desa, masih tetap ada di seluruh Indonesia. Dan tentu saja, penduduk desa masih banyak seperti data di atas. Tapi, secara akademis, desa kehilangan daya tariknya untuk jadi kajian.

Akhir pembangunanisme

Setidaknya ada dua penyebab untuk hal ini. Pertama, runtuhnya apa yang sering disebut "pembangunanisme", yang menjadi kata kunci utama selama masa Soeharto berkuasa, dan dipakai hampir dalam semua kajian akademis dalam berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu terapan. Tapi, secara umum, kritik terhadap "pembangunanisme" pada awalnya bukan dari kajian yang dihasilkan dari Indonesia sendiri, melainkan dari kajian yang datang dari Amerika Latin, atau dunia ketiga lainnya, yang gagal menerapkan "pembangunanisme".

Ini artinya, seperti dikatakan Ignas Kleden, kajian teoretis sendiri di Indonesia memang tidak menjadi hal yang begitu penting. Ilmuwan Indonesia lebih sering hanya mengoper atau mengadopsi dengan berbagai modifikasi, dari berbagai teori yang dikembangkan, khususnya di dunia pertama, dan ilmuwan kita berguru pada mereka. Sayangnya, inilah salah satu politik ilmu pengetahuan yang mereka jalankan. Dan semakin tajam kritiknya saat kita, lagi-lagi, mendapati kritik terhadap "pembangunanisme" dari lingkungan di mana teori-teori itu dikembangkan di Eropa dan Amerika.

Kedua, terjadi pergeseran area kajian dalam dunia akademis, dari yang dulu banyak difokuskan pada desa, sekarang kajian perkotaan menjadi sangat mendominasi. Kita bisa mengatakan, untuk menyebut beberapa, cultural studies, kajian media, sosiologi perkotaan, kajian religi, antropologi perkotaan, termasuk kajian tentang lingkungan yang masih lebih difokuskan pada kota.

Maka, secara umum kita bisa mengatakan bahwa, meski desa adalah permasalahan kita sendiri, secara keilmuan-kedesaan kita tidak membuat ilmunya sendiri. Masih ada ketergantungan. Akibatnya, saat pusat pengembangan keilmuan mengalami pergeseran dan perubahan paradigma, kita terpaksa mengikutinya, bahkan tanpa melihat realitas obyektif yang terjadi di lapangan.

Yang tampak kemudian adalah ambivalensi dalam menyikapi perubahan yang terjadi di desa-desa. Dalam politik kemakmuran desa, kita itu mau membangun desa agar tetap menjadi desa (agraris) atau mau membangun desa agar menjadi kota, atau apa? Bahwa telah terjadi modernisasi desa dengan tiga modus, yakni rasionalisasi kebudayaan, teknologisasi warga, dan birokratisasi politik desa, itu terjadi karena globalisasi yang melanda desa yang tidak terbendung, bukan atas perencanaan yang matang.

Begitu juga, sebenarnya sangat mencolok bagaimana RUU Desa sampai sekarang masih tetap belum disahkan, bukan karena dukungan keilmuan yang masih ingin menundanya, baik karena masalah paradigma pembangunan desa maupun masalah teknis operasional. Melainkan lebih disebabkan oleh masalah politis terkait dengan pengalokasian dana desa. Dengan pengesahan RUU Desa, setiap desa akan mendapatkan rata-rata Rp 922 juta. Ini angka yang bisa sarat kepentingan politis, baik di kalangan elite desa maupun pada Pemilu 2014 nanti.

Maka, semangat mengembalikan otonomi dan demokrasi desa dalam politik dan ekonomi dalam RUU Desa tampaknya masih akan menyisakan satu pertanyaan penting: pada akhirnya, sebagai basis politik kemakmuran desa-Indonesia, kita mau menghilangkan desa dengan membuat kota-kota baru, atau akan tetap mempertahankan desa, atau membangun manusia kota tapi tetap mempertahankan desa-desa terutama terkait dengan politik pangan-bahan. Ah, sayang ilmuwan dan intelektual kita tampaknya masih belum tertarik memikirkan desa lagi. Mereka sudah telanjur jadi manusia kota.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar