Kamis, 06 Juni 2013

Pesantren Cyber Sebuah Fenomena

Pesantren Cyber Sebuah Fenomena
Umar Faruk Fazhay ;   Ketua Kelompok Riset Ekonomi Syariah (Korses),
santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo
SUARA KARYA, 05 Juni 2013



Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis keislaman pertama yang lahir dibumi nusantara ini, yang di cetuskan oleh Syaik Maulana Malik Ibrahim dengan pola pengajaran yang digunakan masih tergolong sederhana dan tradisional, seperti sorogan, wetonan dan bandongan, dalam pengajaran kitab-kitab klasik. Aktivitas pengajaran semacam ini sering dilakukan di masjid-masjid, langgar, atau bahkan dirumah para kyai.

Namun dari kesederhaan tersebut, pesantren mampu melahirkan beberapa tokoh besar seperti M. Natsir, Buya HAMKA, Agus Salim, Hasyim Asy'arie, Jenderal Soedirman, Kasman Singodimedjo, Gus Dur, dan Mahfud MD. Dari situ jelas bahwa sumbangan pesantren sangat besar sekali bagi bangsa ini, baik sumbangan yang berupa ideologi ataupun finansial, pesantren selalu hadir menjadi yang terdepan mengikuti perkembangan zaman dan tidak serta merta meninggalkan tradisi yang sudah lama berjalan.

Hadirnya wacana pesantren cyber yang pernah digulirkan oleh Jurnal Pondok Pesantren Mihrab Edisi IV Januari-April 2004, merupakan salah satu bukti bahwa pesantren selalu up to date terhadap keberlangsungan zaman yang kian hari semakin canggih dan penuh dengan tantangan. Pesantren yang kerap kali disapa dengan sebuah lembaga pendidikan yang kolot dan konservatif, rupanya sudah beralih dan berbenah diri menuju lembaga pendidikan yang selalu up to date dan terdepan, dari berbagai jenis ilmu pengetahuan especially keagamaan.

Pesatnya perkembangan zaman, yang ditopang oleh hadirnya teknologi informasi dan komunikasi serta internet justru tidak menggegerkan pesantren. Pesantren selalu aktual dan berupaya menjadi yang terdepan. Pengadaan website pesantren merupakan bukti bahwa pesantren tidak pernah lekang oleh waktu dan zaman, kehadirannya di berbagai ruang dari ruang nyata sampai pada ruang maya selalu membawakan dampak yang positif dan solutif.

Namun, sebutan yang lazim dikalangan netter ketika pesantren itu sudah hadir dalam bentuk elektronik, disebut dengan istilah pesantren cyber. Adapun dinamika yang dijalankan dalam dunia pesantren cyber itu, bentuknya bisa bermacam-macam. Dari yang sederhana seperti surat-menyurat elektronik (e-mail), diskusi dan belajar lewat grup mailing list, atau lewat situs web yang dirancang interaktif. Semacam situs www.pesantrenonline.org, www.pesantrenvirtual.com, www.eramuslim.com, www.myquran.com, atau jejaring sosial semacam salampesantren.com, salingsapa.com. sudah cukup dikenal di kalangan netter yang membutuhkan materi islami.

Selaku santri aktif perlu kiranya kita bergabung dengan situs web atau jejaring sosial yang disebutkan di atas, atau istilah penulis nyantri di pesantren online. Untuk menguatkan identitas kita sebagai santri. Hal ini merupakan upaya penulis untuk menguatkan identitas santri yang kerap kali dilepas ketika sudah surfing di dunia maya.

Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam bergabung di pesantren cyber, seperti keanggotaan (membership), digital library, chatting, forum diskusi, pertemuan offline, komunikasi penunjang dan asas legal formal.

Karena memang hadirnya internet di tubuh pesantren merupakan sebuah kesempatan besar, untuk menyampaikan risalah ilahi yaitu misi pesantren terkait dengan dakwah Islam. Seorang akademisi Barat yang menulis buku Virtual Islamic: Computer Mediated Communications and Cyber Islamic Environment (Cardiff University of Wales: 2000), menyebutkan bahwa rata-rata yang menjadi landasan kalangan muslim mengembangkan layanan di internet, tak lain karena soal dakwah.

Bagi mereka, kata Bunt, merancang situs web, menyediakan layanan online islami, aktif berdiskusi di berbagai mailing list merupakan cara mudah untuk memenuhi kewajiban tersebut. Atau, menurut istilah Jeff Zaleski dalam, Spiritualitas Cyber Space (Mizan, 1999), internet merupakan alat dakwah yang berdaya guna dan Islam merupakan agama yang hidup dalam perubahan. "Agama ini cocok untuk berkembang dalam internet yang tidak bersifat hierarkis," kata Zaleski.

Mungkin itulah beberapa keunikan yang dimiliki oleh pesantren yang sangat beda dengan lembaga pendidikan yang lain. Di pesantren kita kenal dengan sebutan santri, kyai dan kitab. Sementara, di luar pesantren kita kenal dengan sebutan murid, guru dan buku yang tentu tidak bisa disamakan begitu saja, karena dari masing-masing kata itu memiliki filosofi tersendiri.

Selain pendidikan moral, pendidikan spritual (kebatinan) merupakan kegiatan yang tidak pernah dilupakan dilingkungan pesantren baik itu pesantren konvensional atau pesantren modern. Seperti riyadah, istighasah dan lain sebagainya. Sehingga lulusan pesantren tidak hanya cerdas secara intelektual dan emosional (IPTEK) tapi juga cerdas secara spritual (IMTAQ). Karena benar kata kata Misbahul Huda dalam bukunya, "Anda bisa saja kuat secara fisik, cerdas secara intelektual, dan dewasa secara emosional. Tetapi jika anda lemah spritual maka anda tidak pernah bisa melampaui krisis kehidupan anda".

Oleh karena itu, perlu kiranya kita yang berstatus santri atau yang tidak berstatus santri yang tidak sempat mengenyam pendidikan di pesantren, untuk selalu dekat dengan pesantren. Toh, meskipun realitasnya kita tidak berada dalam lingkungan pesantren, saat ini kita bisa terhubung, mendengarkan petuah-petuah dari pihak pesantren lewat bantuan gadget yang sudah terkoneksi dengan internet. Hal itu tentu sudah tidak asing lagi di zaman multi media ini. Karena hakikat pesantren adalah, menjaga tradisi dahulu yang baik dan mengadopsi sesuatu yang baru yang baik pula. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar