Selasa, 04 Juni 2013

Perlawanan Budaya Harry Tjahjono

Perlawanan Budaya Harry Tjahjono
Arswendo Atmowiloto ;   Budayawan
KORAN SINDO, 04 Juni 2013


 
Harry Tjahjono, seniman dengan banyak bakat, juga sastrawan, wartawan, dan tetap peduli pada negeri. Jejaknya pada buku novel, Selamat Tinggal Duka, skenario film Langitku Rumahku, skenario sinetron Si Doel Anak Sekolahan, lagu tema Keluarga Cemara, salah satu bukti ratusan karyanya.

 Kepeduliannya dibuktikan dengan mendirikan dan mengasuh Pondok Anak Adam, yang menampung ratusan anak dan orang dewasa yang menjadi pemulung. Kini berlanjut dengan unggahan video yang dijuduli “Orasi Budaya Perlawanan Budaya terhadap Koruptor dan Politisi Busuk” sejak 14 Mei 2013 telah dinikmati ribuan orang yang mengklik. Lebih dari itu, Harry Tjahjono juga bergerilya di berbagai panggung dalam pentas. 

Baik di hutan—dalam artian sebenarnya, di berbagai kota di Jawa Tengah-Jawa Timur sampai Madura, dan beberapa pesantren. Kini jadwalnya mulai padat dengan memenuhi undanganbeberapa komunitas di Jakarta. Termasuk dalam acara kebangsaan bersama Gus Nuril, di padepokannya di Ramawangun, Kamis (6/6) yang terbuka untuk umum. 

Jalan Budaya 
Apa yang dilakukan Mas Harry, begitulah ia disapa kalangan yang lebih muda, adalah pendekatan melalui jalan budaya. Bukan pendekatan melalui jalur politik, bukan jalur hukum, juga bukan kekerasan. Sebagai pribadi, ia begitu gigih dengan tekad melawan korupsi, tanpa menunggu sponsor atau Maecenas. Panggungnya tidak selalu harus media televisi, teriakannya makin meninggi dalam orasi “Dari Daging Kembali ke Daging”.

Nyaris melengking. Fenomena ini menarik dan menggelitik dalam dan dari beberapa hal. Jalan budaya adalah pendekatan yang mengutamakan dialog—bukan monolog. Sekaligus berada tanpa meniadakan bentuk lain serta berwujud dalam karya. Ini yang diwujudkan dengan orasi budaya, yang mengingatkan penampilan Rendra. Mas Harry sadar ini dan mengimbuhi dengan tampilan yang lebih santai, menggunakan idiom dengan bau humor, sehingga tidak menjadi tegang. 

Inilah trubadur, pengelana, yang menyuarakan suara dan akal sehat, dari kampung ke kampung, menampung dan melontarkan mereka yang sekarat karena dimiskinkan kekuasaan. Jalan budaya menemukan gairahnya ketika masyarakat idiom yang menjadi suara hatinya ternyata berani dinyatakan. Kata “politisi busuk” pun bisa mengundang tepuk tangan. Media lokal,termasuk televisi daerah dan koran daerah, menemukan add news, nilai berita lebih dari sekadar statement atau release. 

Dua kepentingan ini menyatu dan memberikan orasinya bergema. Salah satu lagu yang berkisah pembangunan pasar yang bertahun-tahun tak selesai di Madiun, Jawa Timur, masih tayang dan dinyanyikan ulang dalam panggung dangdutan. 

Kisah seorang perempuan tua yang menunggu bisa berjualan lagi sampai mati—dan berharap di surga nanti ada kolam renang seperti yang dijanjikan dibangun di pasar, namun tak selesai itu— menjadi idiom yang komunikatif serta efektif sebagaimana masyarakat mengenali nasib guru dalam Oemar Bakrie yang dibawa Iwan Fals. Lebih dari itu semua, potensi Mas Harry juga masih menyimpan napas panjang karena masih terus bergelut dengan sumber inspirasinya dan terus terang mengekspresikan. 

Orasi Budaya 
Orasi budaya, dalam bentuk video klip atau penampilan langsung di panggung, merupakan terobosan dari bentuk orasi budaya yang selama ini terpaku setahun sekali di komunitas kesenian. Orasi budaya yang dilakukan, dan ternyata laku, membuktikan bahwa sebenarnya— dalam kondisi aktual sekarang ini, korupsi dimusuhi habis oleh masyarakat secara keseluruhan. 

Bahwa segala kemarahan, kejijikan, keemohan, pada tindak pidana korupsi dan koruptor, bisa disampaikan secara artistik, dalam pengertian bukan vulgar yang menjadikan kita menjadi lebih kasar. Pada “Dari Daging Kembali ke Daging”, ada kreativitas, ada jarak dengan yang dikomentari, sekaligus ada renungan. Di sinilah pembuktian nyata bersapa marah dilakukan tanpa meludahi. 

Apa yang dilakukan Mas Harry kali ini meneruskan tradisi seniman rakyat seperti ketika di zaman Jepang, seorang seniman ludruk mendendangkan lirik “pengupon omahe dara”, ikut Jepang tambah sengsara. Atau sindiran halus pujangga besar keraton yang menuliskan ada zaman edan, menyuarakan keprihatinan: kenapa kalau raja dan menteri begitu pintar dan baik, rakyat tetap tak terperhatikan. 

Di mana makna gemah ripah loh jinawi, yang bisa menggambarkan itik pulang ke kandang dengan aman, dan hukum ditegakkan, serta keadilan dirasakan, bukan diomongkan? Orasi budaya karenanya masih bisa terus disuarakan. Ia menjadi pengisi ruang-ruang kosong yang dinafikan politik dalam arti sebenarnya. Ia menjadi pengingat bahwa negeri ini dan saat ini sebenarnya makin sakit—dengan menyakiti dan melukai rakyatnya sendiri.

Ia menjadi suara rakyat yang tetap sakti dalam menjaga akal sehat dan sikap kritis. Sekaligus membuka keberanian yang tetap dimiliki dan bukan disembunyikan demi merasa aman. Ini menjadi catatan tersendiri mengingat bahwa sebenarnya para budayawan, atau sebenarnya juga pejabat atau bahkan kalangan politisi sendiri, mereka pun—setidaknya sebagian masih mempunyai nurani untuk menyuarakan yang sebenar-benarnya. 

Namun karena situasi dan kondisi yang dianggap membenarkan, sikapnya menjadi tutup mulut dan atau malah menuduh balik. Jebakan birokrasi atau organisatoris itu tidak berlaku pada seorang Harry Tjahjono. Yang justru memiliki kebebasan dan keberanian model Butet Kartarajasa atau yang melukis mural di dinding jalanan atau pengamen jalanan yang mencipta lagu antikorupsi atau juga komunitas seperti Wapres— Warung Apresiasi, di Bulungan Jakarta. 

Pribadi atau komunitas ini bukan sekadar mewacanakan, melainkan juga mewujudkan dalam karya. Dengan demikian, ada catatan yang bisa dikaji. Orasi jalanan Mas Harry, bentuk perlawanan budaya yang tidak anarkistis dan memberi kesadaran, adalah jalan budaya yang menemukan gemanya ketika ternyata masyarakat merasa dilibatkan dan menjadi bagian utama. Gema itu mewujud dalam perhatian mereka, yang nanti menjadi arus besar, bahwa mereka pun berhak bersuara dan berhak didengar. 

Nasib negeri ini terlalu riskan hanya diurus politisi, birokrat. Masyarakat juga bersuara, dengan artistik, dengan kegembiraan, sebagai bagian dari keberadaannya, dan karenanya tidak mudah lelah, atau patah, atau dibeli. Mangga, dilanjut terus.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar