Sabtu, 01 Juni 2013

Penyimpangan Parlemen

Penyimpangan Parlemen
Hanta Yuda A.R., ANALIS POLITIK THE INDONESIAN INSTITUTE,
PENULIS BUKU PRESIDENSIALISME SETENGAH HATI
Sumber : KORAN TEMPO, 24 Januari 2012



Masyarakat semakin sulit memberi apresiasi positif atas kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini. Hal itu tecermin dari semakin merosotnya tingkat kepercayaan dan kepuasan publik terhadap DPR berdasarkan berbagai survei opini publik. Buruknya citra DPR dalam persepsi publik ini menyebabkan segala kebijakan yang dikeluarkan lembaga itu--terutama berkaitan dengan penambahan fasilitas dipastikan selalu mendapat penolakan karena dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat.

Potret paling anyar tentang kuatnya penolakan publik terlihat dari kritik keras terhadap kebijakan penggelontoran dana sebesar Rp 20,3 miliar untuk merenovasi ruang rapat Badan Anggaran. Sebelumnya, pada pembuka tahun 2012, DPR juga dikritik karena mengalokasikan Rp 2 miliar untuk biaya renovasi toilet dan Rp 3 miliar untuk renovasi tempat parkir. Masyarakat juga pernah menentang keras rencana pembangunan gedung baru yang disertai fasilitas ruang rekreasi, kolam renang, pusat kebugaran, dan ruang spa, yang berpotensi menguras APBN sebesar Rp 1,6 triliun. Namun rencana itu akhirnya dibatalkan DPR.

Inilah risiko lembaga perwakilan yang mengalami defisit kepercayaan tetapi dianggap surplus fasilitas, akan sulit mendapatkan dukungan publik. Memburuknya citra DPR itu disebabkan oleh berbagai perilaku tidak terhormat, seperti korupsi misalnya, yang ditampilkan beberapa wakil rakyat yang menyandang status terhormat itu. Jika integritas (perilaku koruptif) wakil rakyat masih dinilai rendah dan belum layak diapresiasi, lalu bagaimana sesungguhnya kinerja DPR dalam menjalankan fungsi-fungsi esensialnya sebagai anggota parlemen?

Kinerja Rendah
Untuk menjawab pertanyaan di atas, paling tidak kita dapat melihatnya dari tiga fungsi utama parlemen. Fungsi pertama adalah membuat undang-undang (legislasi). Produktivitas dan kualitas DPR dalam menjalankan fungsi legislasi terbilang masih rendah. DPR hanya berhasil menyelesaikan kurang dari 30 persen dari target Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional 2011. Selain secara kuantitas tidak memenuhi target Prolegnas, secara kualitas juga masih bermasalah dan tak sejalan dengan konstitusi maupun aspirasi rakyat. Hal itu terlihat dari banyaknya undang-undang yang diuji ke Mahkamah Konstitusi, dan di antara UU tersebut ada beberapa pasal yang dibatalkan MK.

Padahal, melalui fungsi legislasi ini, sejatinya DPR diharapkan menjadi episentrum penuntasan demokratisasi dan reformasi politik. Sebab, proses legislasi di DPR dapat menjadi instrumen penting dalam menyelesaikan problematika kerancuan dan penyimpangan sistem politik Indonesia selama ini. Persoalan efektivitas pemerintahan akibat dari inkompatibilitas kombinasi antara sistem presidensial dan sistem multipartai ekstrem; problem politik biaya tinggi akibat dari liberalisasi sistem pemilu; persoalan korupsi politik dan mafia anggaran akibat rapuhnya sistem pendanaan partai, merupakan sekelumit persoalan yang mestinya dapat diantisipasi melalui pembenahan sistem melalui regulasi perundangan-undangan di DPR.

Katakanlah misalnya RUU Pemilu yang sedang dibahas DPR saat ini, masih jauh dari semangat untuk mengantisipasi persoalan-persoalan itu. Regulasi pembatasan belanja atau pengeluaran kampanye (limited spending) untuk mengantisipasi praktek korupsi anggaran karena motif untuk mengembalikan modal akibat biaya politik tinggi, ternyata tidak tersentuh sama sekali. Perdebatan paling krusial justru pada persoalan angka persentase parliamentary threshold. Itu pun bukan dilandasi dengan semangat benar-benar untuk melakukan upaya penyederhanaan partai politik secara komprehensif, melainkan lebih pada kepentingan masing-masing partai di Pemilu 2014.
 
Fungsi kedua, pengawasan (controlling), juga belum dijalankan secara optimal karena seolah hanya dijadikan sekadar alat bagi partai-partai di DPR untuk bernegosiasi dengan pemerintah. Padahal, jika dijalankan secara serius, fungsi pengawasan ini dapat menjadi instrumen penting untuk mendorong peningkatan kinerja pemerintah dalam penyelesaian berbagai kasus-kasus besar yang tidak tuntas hingga saat ini.

Ketidakjelasan dan ketidaktuntasan kasus Bank Century menjadi potret paling terang tentang ketidakseriusan DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan. Padahal gegap gempita skandal ini di awal telah menguras energi bangsa dan mengganggu jalannya pemerintahan. Namun kegaduhan politik ini ternyata berakhir antiklimaks dan tanpa kejelasan. Hak angket dan hak interpelasi DPR sebagai instrumen pengawasan selama ini cenderung hanya menjadi alat bagi partai-partai di DPR untuk bernegosiasi dan memperkuat posisi tawarnya di dalam pemerintahan. Perbedaan politik antara pemerintah dan parlemen biasanya akan berakhir melalui proses tawar-menawar politik yang beraroma "politik transaksional".

Sementara itu, dalam menjalankan fungsi penganggaran, sering kali terjadi kebocoran, bahkan praktek korupsi anggaran sering kali menjadi pemasukan tidak resmi bagi partai politik. Praktek mafia anggaran ini berawal dari rapuhnya sistem pendanaan partai politik di satu sisi, dan besarnya celah-celah kelemahan sistem penganggaran dan peluang penyimpangan di sisi lain. Pada situasi kebutuhan finansial dalam sistem pemilihan berbiaya tinggi, sistem pendanaan partai yang bermasalah, serta besarnya celah penyimpangan dalam sistem penyusunan anggaran inilah, akan terdorong terjadinya korupsi di parlemen dalam bentuk praktek percaloan anggaran dan permainan proyek pemerintah oleh anggota legislatif. Karena itu, wajar jika setiap penambahan fasilitas bagi DPR yang dinilai berkinerja rendah kerap ditolak publik.

Partai Gagal
Potret tentang rendahnya kualitas dan produktivitas DPR sejatinya merupakan refleksi atas kegagalan partai, sebab semua anggota DPR diseleksi melalui mekanisme partai. Bahkan partai di era reformasi saat ini memiliki posisi dan kekuasaan politik amat kuat dan strategis: tak hanya mendominasi proses sirkulasi di legislatif (DPR) tetapi juga pergantian elite kepemimpinan politik di eksekutif serta kepemimpinan di lembaga yudikatif dan komisi-komisi negara melalui proses di parlemen.

Kegagalan partai dengan postur kekuasaan yang kuat itu menyebabkan demokrasi Indonesia mengidap "sindrom partai gagal", suatu kondisi di mana postur kekuasaan dan kewenangan partai sangat kuat, tetapi menyimpan banyak "penyakit" dan penyimpangan (deviasi demokrasi), akibat kekuasaan partai menguat tetapi tidak diimbangi dengan "sistem imunitas" berupa penguatan sistem dan pelembagaan internal, sehingga mudah terjangkit virus penyimpangan partai. Pada situasi seperti inilah berimbas pada citra dan kinerja DPR. Karena buruknya citra dan rendahnya kinerja DPR adalah kegagalan partai politik.

Karena itu, sejauh mana prospek DPR mampu mendorong reformasi politik dan ikut mendorong kinerja pemerintah dalam penuntasan kasus-kasus besar, seperti korupsi dan penegakan hukum pada 2012, sangat bergantung pada komitmen partai politik. Tanpa komitmen baru dari partai-partai di parlemen, DPR akan tetap sekadar menjadi "arena" permainan politik saling sandera dan permainan anggaran demi kepentingan elektoral 2014, maka sulit berharap DPR akan menjadi bagian dari solusi perbaikan bangsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar