Senin, 03 Juni 2013

Penghargaan

Penghargaan
Bre Redana ;  Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 02 Juni 2013
 
 

Bagaimanakah rasanya menerima penghargaan? Saya rasa sebagian besar orang seperti saya: seumur-umur tak pernah menerima penghargaan. Hanya saja, kalau Anda mau, di zaman reality show ini, setiap orang sebenarnya berkesempatan bisa mendapat sorotan perhatian, istilahnya, in the limelight. Teman saya sesama wartawan, Maman Suherman, yang lama berkecimpung di dunia pertelevisian dan memiliki hubungan luas di kalangan pesohor, menulis buku membeberkan seluruh kemungkinan tersebut.

Lewat Bokis, Kisah Gelap Dunia Seleb, ia menceritakan pengalamannya bersinggungan dengan rekayasa visual–yang sebenarnya juga berarti rekayasa kultural–dari orang-orang yang ingin masuk dunia penuh sorotan. Misalnya pengusaha dari luar Jawa yang berambisi anak gadisnya menjadi pesinetron dan penyanyi terkenal. Pengusaha itu membayar pencipta lagu, menyewa studio, memproduksi rekaman, membeli sendiri hasil rekamannya agar dapat penghargaan Platinum karena dianggap laris, sampai kemudian, dia bangkrut dan si anak–celakanya–tetap mlempem.

Atau kisah pemberian gelar berpakaian rapi serasi pada orang kaya oleh sebuah kepanitiaan, yang katanya sudah mengamati penampilan si calon penerima gelar sepanjang tahun. Padahal, kepanitiaan baru dibentuk tiga bulan. Tak masalah, banyak orang gila gelar bersedia membayar berapa pun, dan tak akan mempertanyakan anakronisme tadi. Kira-kira seperti pemimpin penerima penghargaan di seputar hak-hak asasi manusia dan toleransi, yang tak peduli dengan anakronisme penghargaan itu dibandingkan kenyataan di negeri yang dipimpinnya.

Ada pula seorang ibu yang menyerahkan anak perempuannya untuk difoto, difoto apa saja, pokoknya bisa dimuat di media massa (si anak sebelumnya sudah punya banyak foto telanjang). Atau pesohor yang ingin disorot ketika memberi bantuan korban banjir. Si pesohor duduk di genangan air agar kelihatan dramatik, karena waktu dia datang air telanjur surut. Masih banyak lagi kisah orang edan diceritakan Maman lewat bukunya. Ia kini tengah menyiapkan buku kedua.

Fenomena kebudayaan paling penting kini adalah reality show. Ia mengubah hidup banyak orang, bahkan mengubah kehidupan atau setidaknya cara pandang seseorang terhadap kehidupan. Bagi penyelenggara dunia hiburan, tontonan ini juga menguntungkan: murah, populer, tak perlu ada serikat-serikatan bagi pekerjanya. Semua bagian dari masyarakat pengin ikut serta. Kalau perlu membayar. Kadang dengan kehormatan diri.

Karena popularitasnya, ia mudah mendatangkan sponsor. Sponsor berdiri di belakang program reality show seperti program mencari pasangan hidup, dramatisasi kemiskinan seseorang, kesialan seseorang, dan lain-lain. Dengan kata lain, inilah zaman di mana cinta, kemiskinan, kesialan, semua mendatangkan sponsor.
Pernah ada film, judulnya The Hunger Games, yang isinya semacam proyeksi dari keadaan masyarakat di masa depan, ketika semua orang ingin terlibat dalam reality show. Pesertanya adalah masyarakat miskin yang termanipulasi. Mereka saling bunuh, tereliminasi satu persatu, untuk satu pemenang terakhir. Makin dramatis dan brutal aksi saling-bunuhnya, makin sponsor berdatangan. Itukah masa depan kita?

Saya bangga dengan Komunitas Lima Gunung tempat asal saya di Jawa Tengah. Tiap tahun para petani di sini menyelenggarakan acara tahunan besar-besaran, dan menolak sponsor. Kehidupan kami, masyarakat gunung, terlalu berharga untuk disponsori.

Dulu ada petuah: jangan percaya pada yang kamu dengar, tapi percaya pada yang kamu lihat. Sekarang ini, apa yang kita lihat pun rasanya harus kita gugat, agar kita tidak terperangkap pada kesadaran palsu. Terkecuali kita memang membiasakan diri, membentuk diri dengan kesadaran palsu, suka menipu bukan saja orang lain, tetapi diri sendiri, menjadi tokoh bombongan. Kalau itu yang terjadi, mari kita sama-sama mencari celah untuk menerima penghargaan. Dunia memang sudah terbalik-balik.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar