Sabtu, 01 Juni 2013

Pendidikan Politik Berbasis Masyarakat

 Pendidikan Politik Berbasis Masyarakat
Suherman;  Aktivis LKPMP Makassar
Tribun Timur, 28 Mei 2013
 
 
 
Seiring dengan makin dekatnya Pemilu 2014 serta kian menurunnya elektabilitas dan kepercayaan rakyat terhadap sejumlah partai politik akibat berbagai kasus yang menimpa beberapa fungsionaris dan elit-elit mereka seperti skandal sex dan korupsi, maka pendidikan politik adalah sebuah keharusan bagi  parpol sebagai pemain di barisan terdepan dalam pemilu.

Salah satu persoalan mendasar dalam berdemokrasi di Negara kita adalah RAKYAT — sebagai pemegang kedaulatan — belum mampu bersikap dan bertindak secara kritis, rasional, dan mandiri ketika terlibat dalam agenda politik. Rakyat belum memiliki kekuatan yang utuh untuk melakukan “perlawanan” dalam mencapai kemandirian dan kebebasan dalam mengaktualisasikan dan mengartikulasikan pilihan politiknya. Sebagian besar masyarakat masih memiliki sikap pragmatis yang begitu kronis. Indikasinya adalah ketika menentukan hak dan pilihan politiknya kepada partai politik, rakyat tidak berangkat dari sebuah pemahaman yang utuh tentang makna dan fungsi keberadaan partai politik, visi partai politik beserta calon anggota legislatif  (caleg) yang akan dipilihnya. Pilihan dan sikap politik mereka tidak berangkat dari kesadaran kritis. Sehingga kita sulit menemukan masyarakat yang secara sukarela dan sadar bergerak dalam aktivitas dukung mendukung kepentingan politik tertentu (parpol dan calegnya). Mereka akan bergerak kalau dibayar, dan mendapat dukungan materi yang membuat hidup mereka senang atau dalam batas tertentu mampu bertahan hidup.

Dengan demikian, beberapa usaha yang telah dan sedang dilakukan oleh gerakan pro-demokrasi akan berhadapan dengan pragmatisme masyarakat, karena mereka belum begitu memerlukan gagasan-gagasan yang besar, idealis yang bagi mereka utopis. Mereka berprinsip bagaimana bisa makan dan aman hari ini. Sehingga tidak mengherankan, ketika bekas-bekas kekuatan Orde Baru mencoba mengajak masyarakat mengingat kembali kemakmuran semu yang dibangun oleh rezim orde baru, masyarakat langsung tersadarkan dan merasa rindu dengan kondisi ketika rezim orde baru berkuasa.

Di sinilah agenda pendidikan politik rakyat, berperan sebagai bagian dari proses penguatan dan kemandirian peran rakyat dalam berdemokrasi menjadi sangat penting. Salah satu alasan mengapa proses ini perlu menjadi semangat bersama bagi pegiat demokrasi di Indonesia adalah kran demokrasi yang mulai terbuka lebar pasca tumbangnya rezim orde baru kemudian diiringi oleh kebebasan partisipasi yang luar biasa, akan tetapi belum diiringi oleh kematangan mental dan sikap dalam berdemokrasi. Kebebasan berpolitik tidak ditopang oleh kemandirian berpikir dan bersikap rasionalitas dan daya kritis. Padahal nilai utama yang diusung oleh demokrasi adalah terbukanya ruang-ruang politik rasional dalam diri setiap rakyat. Kebebasan yang tidak didasari oleh rasionalitas politik akhir-akhir ini sangat nampak dalam upaya penguatan kekuasaan politik nasional maupun lokal. Peluang konflik politik, khususnya di tingkat lokal dalam “perebutan kekuasaan” akan meningkat seiring ditetapkannya mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara  langsung yang dimulai tahun 2005. 
 
Di tengah belum menguatnya kesadaran politik di tingkat akar rumput, maka momentum Pilkada  memiliki potensi konflik yang sangat besar, manipulatif, politik uang, dan intimidasi.

Untuk meraih kematangan berpolitik maka diperlukan adanya proses pendidikan, penguatan basis dan penyadaran kepada rakyat. Selama ini, meskipun kebebasan partisipasi semakin luas, tapi rakyat belum mampu menikmati dan memanfaatkan kebebasan itu secara utuh karena mengalami berbagai keterbatasan dalam berfikir dan bertindak. Sehingga selama rakyat masih belum berdaya dan tidak memiliki kekuatan berdaulat, maka transisi demokrasi dapat dipastikan akan berumur pendek oleh praktek pragmatisme elit politik dan sekaligus mempercepat kembalinya rezim otoriter. Pragmatisme politik akan senantiasa tumbuh subur oleh karena sistem oligarki politik yang dimainkan oleh penguasa saat ini tidak membuka ruang-ruang beripikir dan bertindak secara sehat kepada rakyat. Perjalanan demokrasi bangsa ini sangat ditentukan oleh keinginan dan kesadaran politik rakyat. Selama rakyat tidak tersadarkan atas nama kedaulatannya, maka perjalanan demokrasi masih banyak ditentukan oleh elit politik yang berkuasa.

Sehingga dengan demikian, komitmen politik yang dikehendaki rakyat  untuk para elit politik saat ini sebenarnya sangat sederhana, yakni adanya komitmen untuk mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat dengan cara membuka ruang-ruang kesadaran politik bagi rakyat, tidak justru mengeksploitasi dan memanipulasi mereka, memberi kesejahteraan kepada mereka dengan prinsip kemandirian, tidak justru mengajarkan praktek-praktek pragmatisme dan memberikan ruang-ruang partisipasi politik kepada mereka dengan senantiasa melaporkan segala aktivitas dan kinerja  secara transparan.  Disinilah pegiat demokrasi memiliki peran yang cukup penting untuk mengawal proses tersebut dalam mematangkan  demokrasi baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional, dengan agenda pemberdayaan dan penyadaran politik kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan seperti kajian, pelatihan dan penguatan institusi lokal serta usaha-usaha konstruktif lainnya.

Peran Parpol dalam Pendidikan Politik
Pendidikan politik akan menjadi sangat berarti dalam pelaksanaan PEMILU 2014. Proses ini bukan hanya sekedar memberikan pemahaman tentang teknik dan tata cara pencoblosan dan hal-hal yang bersifat teknis lainnya, melainkan dapat menyentuh pada nilai/norma yang lebih mengarah pada arti dan peran penting PEMILU terhadap rakyat. Dari pendidikan politik yang dilakukan, diharapkan akan terjadi suatu perubahan pola pikir masyarakat yang tadinya hanya dianggap sebagai sebuah rutinitas, mengarah kepada memposisikan PEMILU sebagai media untuk menjadikan kedauatan secara total, sehingga memunculkan bargaining antara partai politik dan masyarakat.  

Dalam tatanan Negara, rakyat memiliki posisi dan peranan yang sangat stategis untuk menciptakan demokratisasi. Dari berbagai dinamika dan perubahan sosial di Indonesia, mulai dari masa perjuangan kemerdekaan sampai pada orde reformasi saat ini, peran masyarakat begitu kelihatan sebagai lokomotif pergerkan. Iklim demokratisasi yang dibangun pada era reformasi ini, harusnya menjadi momentum dimana rakyat harus tampil sebagai pengawal proses tersebut. Untuk itu, perlu adanya kesadaran akan peranan masyarakat sebagai subjek dan pemahaman yang benar tentang dinamika dan proses demokratisasi yang sekarang ini berlangsung, dimana proses ini harus membawa pada dinamika sosial politik yang bermartabat dan berkeadilan sosial.

Sistem politik Indonesia telah menempatkan partai politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa partai politik. Lalu, apa peran parpol yang telah dirasakan oleh masyarakat dalam mewujudkan demokrasi? Ataukah jangan-jangan masyarakat tidak tahu dan alergi terhadap partai politik?
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik tercantum bahwa “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Banyak orang beranggapan bahwa politik itu kotor. Tetapi sesungguhnya politik adalah sebuah cara dan strategi untuk mencapai tujuan. Sepanjang tujuan yang ingin dicapai adalah baik dan dengan cara yang baik pula, maka tidak akan ada alasan untuk alergi dan menganggap politik itu kotor. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam realisasinya, banyak cara-cara kotor yang dilakukan oleh oknum-oknum politik dan dengan tujuan yang kurang atau sama sekali tidak berpihak pada rakyat. Ketika money politics makin akut; penggunaan kekuasaan untuk memobilisasi pemilih, wakil-wakil rakyat yang terpilih seakan tuli dan buta akan keadaan masyarakat yang serba sulit, itulah yang menumbuhsuburkan anggapan masyarakat bahwa politik adalah suatu hal yang kotor. Partai politik hanyalah dianggap sebuah jembatan untuk merebut kekuasaan, dimana fungsionaris dan elit-elit partai  mulai ramah ketika menjelang proses pemilu. Dengan citra partai politik yang demikian, sudah seharusnya partai politik beranjak dari kebiasaan lamanya dengan menunjukkan kerja-kerja nyata dalam memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan Negara, bukan semata kepentingan pribadi dan kepentingan pendiri-pendiri partai. Jika kita cermati, jumlah peserta pemilu di Indonesia selalu mengalami perubahan. 
 
Pada  pemilu pertama 1955, Indonesia menganut sistem multipartai. Kemudian menjadi hanya 3 partai sejak pemilu ketiga. Pada pemilu pertama setelah rezim Orde Baru, jumlah peserta pemilu melonjak jadi 48 parpol. Jumlah parpol peserta pemilu yang mengalami pasang surut ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan di tengah-tengah masyarakat. Ini menandakan bahwa letak permasalahannya bukan pada jumlah partai, tetapi fungsi sebagai partai politik belum dapat diimplementasikan oleh partai politik. Fungsi-fungsi itu di antaranya adalah : fungsi edukasi yang berkarakter bangsa, fungsi agregasi dan fungsi artikulasi. Pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di awal kemerdekaan, para pendiri negeri ini telah bertekad untuk menjadikan pembangunan karakter bangsa sebagai sesuatu yang urgen dan tidak bisa lepas dari pembangunan nasional. Tentunya dalam hal ini partai politik punya peranan yang sangat strategis dalam pendidikan politik yang berkarakter sehingga arah pembangunan dapat tercapai. Namun kenyataan sekarang ini kita melihat secara langsung adanya praktek-praktek politik yang tidak baik yang pada akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang buruk membudaya dalam praktek politik kita di Indonesia. Untuk menghindari hal tersebut tentunya partai politik harus bisa menjadi tauladan politik yang positif.

Karakter Bangsa
Partai politik memiliki peran yang sangat vital dalam proses pendidikan politik. Partai politik sebagai pemain di barisan terdepan berkewajiban untuk melakukan pendidikan politik bagi rakyat. Sedangkan pendidikan politik disini bukan hanya dimaknai sebagai proses sepihak ketika partai politik memobilisasi dan memanipulasi rakyat untuk menerima nilai, norma, maupun simbol yang dianggapnya ideal dan baik, seperti yang terjadi di negara-negara yang menganut sistem politik totaliter.

Pendidikan Politik merupakan proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika dikaitkan dengan partai politik, pendidikan politik bisa diartikan sebagai usaha sadar dan tersistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang terkait dengan perjuangan partai politik tersebut kepada konstituennya agar mereka sadar akan peran dan fungsi, serta hak dan kewajibannya sebagai  atau warga negara.

Pendidikan politik sebagai aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada individu. Ia meliputi keyakinan konsep yang memiliki muatan politis, meliputi loyalitas dan perasaan politik, serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Selain itu, pendidikan politik ini  bertujuan agar setiap individu mampu memberikan partisipasi politik yang aktif di masyarakatnya. Pendidikan politik merupakan aktifitas yang harus berlanjut sepanjang hidup manusia dan itu tidak mungkin terwujud secara utuh kecuali dalam sebuah masyarakat yang bebas. Dengan demikian pendidikan politik memiliki tiga tujuan: membentuk kepribadian politik, kesadara politik, dan parsisipasi politik. Pembentukan kepribadian politik dilakukan melalui metode tak langsung, yaitu pelatihan dan sosialisasi, serta metode langsung berupa pengajaran politik dan sejenisnya. Untuk menumbuhkan kesadaran politik ditempuh dua metode : dialog dan pengajaran instruktif.

Adapun partisispasi politik, ia terwujud dengan keikutsertaaan individu-individu – secara sukarela—dalam kehidupan politik masyarakatnya. Pendidikan politik dalam masyarakat manapun mempunyai institusi dan perangkat yang menopangnya. Yang paling mendasar adalah keluarga, sekolah, partai-partai politik dan berbagai macam media penerangan. Pendidikan politik juga memiliki dasar-dasar ideologi, sosisal dan politik. Bertolak dari hal itulah tujuan-tujuannya dirumuskan. Jika yang dimaksud dengan “Pendidikan” adalah proses menumbuhkan sisi-sisi kepribadian manusia secara seimbang dan integral, maka Pendidikan Politik dapat dikategorikan sebagai dimensi pendidikan, dalam konteks bahwa manusia adalah makhluk politik. Sebagaimana halnya bahwa pendidikan mempunyai fungsi pemikiran moral dan ekonomi, maka pendidikan politik juga mempunyai fungsi politik yang akan direalisasikan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Pendidikan politik itulah yang akan menyiapkan anak bangsa untuk mengeluti persoalan sosial dalam medan kehidupan dalam bentuk perhatian dan partisipasi, menyiapkan mereka untuk mengemban tanggung jawab dan memberi kesempatan yang mungkin mereka bisa menunaikan hak dan kewajibannya. Hal itu menuntut pendidikan anak bangsa untuk menggeluti berbagai persoalan sosial dalam medan kehidupan mereka dalam bentuk perhatian dan partisipasinya secara politik, sehingga mereka paham terhadap ideologi politik yang dianutnnya untuk kemudian membelanya dan dengannya mereka wujudkan cita-cita diri dan bangsanya.

Semoga dengan pendidikan politik, benar-benar dapat menjadikan rakyat – sebagai pemegang kedaulatan – cerdas dan jeli dalam menggunakan dan menyalurkan hak politiknya, serta dapat meningkatkan partisipasi masyarakat secara luas dan massif di PEMILU 2014 yang akan datang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar