Kamis, 06 Juni 2013

Pelaporan Keberlanjutan dan Indonesia

Pelaporan Keberlanjutan dan Indonesia
Jalal ;   Aktivis Lingkar Studi CSR
TEMPO.CO, 05 Juni 2013
 
 



Global Reporting Initiative (GRI) meluncurkan standar pelaporan keberlanjutannya yang terbaru, yang merupakan generasi keempat sejak pertama kali diluncurkan pada 2000, pada 22 Mei 2013 di Amsterdam. Standar terbaru ini—disebut G4—memuat berbagai perubahan signifikan dibandingkan dengan standar sebelumnya, dan sangat penting untuk dilihat sebagai tonggak penting dalam wacana dan praktek pembangunan berkelanjutan. Tulisan ini bermaksud menjelaskan berbagai karakteristik utama dalam standar pelaporan tersebut, serta konsekuensinya bagi organisasi, terutama perusahaan, di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Karakter pertama dan utama dari standar itu adalah fokus pada isu-isu yang material. Walaupun standar ini memiliki banyak aspek, setiap pengguna standar ini diminta untuk terlebih dulu menguji aspek mana saja yang material untuk dilaporkan. Materialitas sendiri dalam G4 digambarkan sebagai persilangan antara (1) signifikansi dampak ekonomi, sosial, serta lingkungan organisasi pelapor, dan (2) pengaruh terhadap penilaian dan keputusan pemangku kepentingan. Untuk aspek-aspek yang dianggap material, pelaporan kinerja harus dilakukan dengan mendalam. Sedangkan aspek yang kurang material bisa dilaporkan, namun dengan lebih dangkal.

Kedua, G4 menghilangkan level aplikasi yang ada pada generasi-generasi sebelumnya. Banyak pakar yang mengamati bahwa penggunaan level aplikasi A, B, dan C telah membuat banyak organisasi pelapor salah sangka. Kebanyakan mereka ingin mendapatkan level A, karena beranggapan bahwa level ini menandai kinerja yang tinggi. Padahal level hanya menandai jumlah indikator yang dilaporkan. Level ini telah membuat kecenderungan pelaporan keberlanjutan yang semakin tebal, karena organisasi ingin memuat semua indikator (level A), termasuk yang tidak penting dilaporkan. Sebagai gantinya, G4 membuat dua skema “in accordance”. Skema pertama adalah “Inti”, yang berarti pelapor akan memilih minimal 1 indikator di setiap aspek yang material untuk dilaporkan. Sedangkan pada skema kedua, “Komprehensif”, seluruh indikator di setiap aspek yang material akan dilaporkan.

Ekspansi batas-batas pelaporan adalah karakter yang ketiga. Pada generasi sebelumnya, yang dilaporkan utamanya adalah sebatas pada kinerja organisasi. Sedangkan pada G4, yang harus dilaporkan adalah sepanjang mata rantai nilai. Ini berarti setiap organisasi pelapor harus juga mengulas kinerja keberlanjutan, dimulai dari rantai pasokan hingga rantai pasarnya, bahkan pemanfaatan produknya oleh konsumen. Hal ini sangat tampak dari berbagai indikator baru yang memasukkan konsideran rantai nilai dalam dampak lingkungan, ketenagakerjaan, HAM, dan masyarakat.

Keempat, penekanan pada unsur tata kelola serta etika. Bagaimana fungsi organisasi pengawas, misalnya Dewan Komisaris pada perusahaan, terkait dengan isu-isu keberlanjutan sangat ditekankan pada G4. Sangat jelas terbaca bahwa peran sumber daya manusia yang menguasai isu-isu keberlanjutan semakin didorong oleh standar baru ini. Yang mungkin kurang mengenakkan—walau sebagian kecil organisasi pelapor juga telah memulai mengungkapkan- nya—adalah indikator-indikator mengenai remunerasi. G4 tampak sangat menekankan pada pelaporan rasio remunerasi antar-tingkat pekerja, yang berarti standar ini sangat ingin mendorong pengurangan ketimpangan remunerasi yang selama ini semakin parah.

Apa dampak dari keempat karakteristik utama G4? Beberapa pakar yang mendiskusikannya menyatakan bahwa jumlah organisasi—lagi-lagi terutama perusahaan—yang melaporkan status keberlanjutan mereka akan terus meningkat. Karena skema “Inti” memungkinkan pelaporan 1 indikator saja untuk setiap aspek material, akan banyak organisasi yang bisa memenuhinya. Jumlah halaman sebagian besar laporan keberlanjutan, menurut para pakar ini, kemungkinan besar akan menyusut, karena organisasi hanya diminta melaporkan aspek-aspek yang material.

Namun hal itu mungkin juga tidak benar, karena penyusutan aspek dan indikator yang dilaporkan bisa saja dikompensasi oleh sifat pelaporan yang harus mencakup seluruh rantai nilai. Yang pasti terjadi adalah penyusutan jumlah indikator yang dilaporkan, namun di setiap indikator tersebut kita akan melihat diskusi yang jauh lebih mendalam. Penggunaan data kuantitatif tampaknya akan meningkat, demikian juga studi kasus yang dapat memberikan contoh kinerja organisasi pada aspek-aspek yang dilaporkan.

Mungkin banyak di antara perusahaan di Indonesia yang tak sadar betapa pentingnya perkembangan ini. Sangat jelas bahwa berbagai inisiatif global lain juga mendorong munculnya era transparansi maksimum, atau—meminjam istilah Don Tapscott—era The Naked Corporation. Pada 2010, negara-negara anggota ISO telah menyepakati ISO 26000 Guidance on Social Responsibility, yang menyatakan transparansi maksimal atas dampak perusahaan sebagai prinsip yang tak bisa ditawar.

Dalam Konferensi Rio+20, “The Future We Want”, pada 2012, sangat jelas kehendak untuk mewajibkan pelaporan keberlanjutan di semua negara anggota PBB, terutama untuk perusahaan-perusahaan besar. Memang akhirnya PBB batal mewajibkan, namun tetap menyatakan dorongannya yang kuat. Uni Eropa sudah bulat tekadnya untuk mewajibkan pelaporan keberlanjutan ini mulai tahun 2015, dengan kebijakan “Report or Explain”. Di tingkat regional ASEAN, kita juga melihat munculnya ASEAN Good Corporate Governance Scorecard pada tahun lalu, yang semangat transparansinya juga sejalan dengan perkembangan global.

Hingga akhir 2012, jumlah perusahaan di Indonesia yang melaporkan inisiatif keberlanjutannya dengan standar GRI (G3 atau G3.1) baru sekitar 40. Tidak ada satu pun organisasi non-perusahaan yang melaporkan dengan standar ini. Mutu sebagian besar laporan keberlanjutan yang diproduksi juga belum menggembirakan, bila kita timbang benar-benar dengan prinsip-prinsip yang dinyatakan oleh GRI. Berita menggembirakan datang dari Bapepam-LK pada tahun lalu, yang mengadopsi sebagian indikator GRI untuk standar laporan tahunan perusahaan emiten, selain mendorong penerbitan laporan keberlanjutan.

Cuma, tentu saja kehadiran G4 akan membuat lagi-lagi aturan tersebut ketinggalan. Lagi pula, seharusnya bukan perusahaan terbuka saja yang melaporkan dengan standar pelaporan keberlanjutan, melainkan seluruh perusahaan, terutama yang memiliki dampak operasional yang besar. Apakah pemerintah akan melakukan tindakan-tindakan untuk menyiapkan Indonesia menghadapi kecenderungan global yang tak terelakkan ini? Entahlah.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar