Kamis, 06 Juni 2013

Nasionalisme dan Iklim Investasi

Nasionalisme dan Iklim Investasi
Rohmad Hadiwijoyo ;   CEO RMI Group
SUARA KARYA, 05 Juni 2013




The Big Four adalah nama restoran terkenal di jantung kota San Francisco, California, AS. Restoran itu dibangun untuk mengenang empat pengusaha minyak dan gas dari Texas, yang menentukan arah kebijakan ekonomi AS tahun 1920-an.

Di Indonesia kita mengenal The Big Six di sektor yang sama, yaitu Exxon Mobil, Conoco Philips, Chevron, Statoil, Talisman, dan CNOOC. Belakangan tersiar kabar, lima dari enam perusahaan itu, ditambah investor besar lain, Palung Aru, akan angkat kaki memindahkan investasi mereka. Musababnya adalah ketidakjelasan legal infrastuucture Indonesia, yang tecermin dari sejumlah kasus seperti bioremediasi PT Chevron Pacific dan kasus Indosat-IM2.

Chevron dan Conoco Philips masih menjadi investor migas terbesar di Indonesia. Keduanya menyumbang hingga 50 persen lifting migas. Artinya, jika salah satu atau keduanya hengkang, maka bukan persoalan gampang untuk menambal defisit lifting migas yang ditinggalkan.

Serempak dengan kabar ancaman hengkang The Big Six, nilai tukar rupiah merosot hingga mendekati Rp 10 ribu per dolar AS. Rupanya ketidakpastian legal infrastructure telah berkolaborasi dengan ketidakpastian kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), menekan keras rupiah. Bisa jadi ini gelombang pertama akibat terusiknya investasi The Big Six.

Sinyal hengkangnya investor bukan kali ini saja terjadi. Sejumlah perusahaan dari berbagai sektor industri memutuskan memindahkan investasi mereka karena masalah upah buruh. Upah buruh yang melonjak tajam membuat investasi di sini tidak menarik lagi. Situasi diperburuk dengan respons pejabat daerah yang dengan arogan mempersilakan mereka hengkang jika keberatan dengan aturan UMP atau UMR baru.

Situasi ini seyogianya dikaji dengan kepala dingin. Ada something wrong yang mengusik iklim investasi kita. Tak perlu menutup-nutupi kenyataan dengan mengedepankan isu nasionalisme atau keberpihakan kepada buruh. Dua hal yang memang populis dan gampang mendongkrak popularitas, tetapi tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah.

Saatnya kini pemerintah lebih fokus memperhatikan persoalan legal infrastructure dan persoalan lain yang mengusik iklim investasi. Sebab, sekali hengkang, akan sangat susah meyakinkan investor itu untuk kembali berinvestasi. Investor lain pun akan pikir-pikir untuk membawa uangnya ke Indonesia.

Joe Studwell dalam buku How Asia Works, Success and Failure in the World's Most Dynamic Region menyebutkan, untuk menjamin sukses transformasi ekonomi sebuah kawasan, diperlukan intervensi pemerintah di sektor keuangan, khususnya pada penanaman modal, untuk menciptakan iklim yang kondusif.
Menurut Studwell, masuknya modal akan menggerakkan sektor-sektor lain seperti agrokultur. Investasi akan menciptakan lapangan kerja baik secara langsung maupun melalui multiplier effect-nya.

Pemerintah selalu berdalih tidak bisa mengintervensi lembaga peradilan yang menjadi penentu ada tidaknya kepastian legal infrastructure. Tapi situasi kini ibarat durga anganggas kara, aparat hukum menuntut dan memutuskan tanpa memahami persoalan secara komprehensif. Bener ning ora pener, bisa saja benar tapi tidak tepat. Dalam situasi seperti itu, pemerintah harus mengambil peran untuk menjamin kepastian hukum. Sebab, jika ketidakpastian itu dibiarkan berkepanjangan dan menimbulkan kontraksi ekonomi, yang menanggung akibatnya pemerintah juga. Pemerintah akan dinilai tidak cakap mengendalikan perekonomian nasional.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar