Kamis, 06 Juni 2013

Kesalehan Individu dan Sosial

Kesalehan Individu dan Sosial
Muslich Shabir ;   Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA, 05 Juni 2013
 
 



"Allah menuntut keseimbangan antara kesalehan individu dan kesalehan sosial demi sukses dunia dan akhirat"
 
 ISRA dan mikraj merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan Nabi Muhammad saw pada 27 Rajab tahun ke-10 kenabian. Misteri isra dan mikraj itu boleh jadi mencerminkan konflik substansial antara wahyu dan akal yang sering terjadi dalam pemahaman terhadap teks-teks Alquran. Acap muncul pertanyaan mungkinkah akal dan wahyu dapat bersinergi untuk memahami teks-teks suci, dan bagaimana proporsi akal dalam memahami wahyu.

Dalam buku Nuansa Fiqh Sosial, KHMA Sahal Mahfudh mengungkapkan bahwa tinjauan dari akal dan keimanan mengenai fenomena isra dan mikraj sering menjadi tema aktual. Pasalnya, orang awam (terhadap masalah keagamaan) yang berdisiplin ilmu tertentu cenderung lebih suka mendalami agama melalui kajian penalaran yang disejajarkan dengan ilmu yang mereka miliki.

Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang akan mudah menerima segala hal, termasuk agama, sejauh itu masuk akal dan rasional. Namun bila manusia hanya mengandalkan akal atau rasio dalam melakukan pendekatan untuk melihat kebenaran isra dan mikraj maka ia tidak akan pernah berhasil karena kejadian itu bukan peristiwa biasa melainkan suprarasional. Cara pendekatan paling tepat untuk bisa memahami adalah pendekatan imani melalui proses rabani, yakni memahami bahwa peristiwa tersebut merupakan skenario Tuhan yang tidak bisa dirasionalkan.

Isra yang merupakan perjalanan darat dari Makkah (Masjidil Haram) ke Jerusalem (Masjidil Aqsha), dan Muhammad masih berada dalam alam yang sama, dapat dianalogikan sebagai perjalanan horizontal. Adapun mikraj, perjalanan dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha, tatkala Beliau naik dari alam dunia menuju alam lain untuk bertemu Allah, dapat dimaknai sebagai perjalanan vertikal.

Konteks itu mengandung pelajaran bahwa dalam mengarungi kehidupan, manusia harus memperhatikan aspek horizontal (hablum minannas) dan aspek vertikal (hablum minallah). Shalat yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad dan umatnya dalam peristiwa isra dan mikraj merupakan tiang yang menopang tegaknya bangunan Islam. Tanpa shalat, keislaman seseorang tak akan pernah berdiri tegak sehingga ibadah itu wajib dilakukan oleh semua muslim.

Begitu penting ibadah shalat ini sampai-sampai orang yang berbaring menjelang sekarat pun, asalkan masih sadar, tetap diwajibkan mengerjakan. Shalat merupakan salah satu entry point menuju tatanan hidup yang tenteram dan berujung pada rida Allah. Dengan shalat yang benar dan khusyuk, seseorang mampu meredam nafsu hayawaniyah dan iblisiyah; inilah maksud dari firman Allah yang menjelaskan bahwa shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS Al-Ankabut: 45).

Tuntutan Keseimbangan
Shalat yang demikian itu bisa berimplikasi pada kebaikan pribadi yang bersifat vertikal sekaligus horizontal. Orang yang mendirikan shalat menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dilakukan merupakan wujud penghambaan paling nyata sehingga shalat merupakan ’’mikraj’’ orang beriman. Ketika ber-takbiratul ihram, seseorang berarti memasuki ”dunia lain”, ia sedang berkomunikasi dengan Allah. Sebagai komitmen pada awal komunikasi itu, ia berikrar, ’’Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku karena Allah Tuhan sekalian alam’’.

Ikrar itu mengandung tiga makna, pertama: kesadaran sekaligus pengakuan akan kekuasaan Allah sehingga ia tak akan berlaku sombong dan angkuh. Kedua; segala yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah sehingga ia akan menjadi orang yang bertanggung jawab dan berhati-hati menjalani kehidupan. Ketiga; semua amal baik yang dikerjakan hanya dipersembahkan kepada Allah semata sehingga ia akan menjadi orang yang ikhlas dalam beribadah.

Rangkaian shalat diakhiri dengan assalamu alaikum warahmatullah yang artinya, ’’Semoga Allah melimpahkan kesejahteraan dan rahmat-Nya kepada Anda’’.

Ucapan salam yang diarahkan ke kanan dan kiri itu mengandung maksud bahwa muslim harus memperhatikan sesama manusia di mana pun berada. Iktikad baik pribadi saja tidak cukup untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban.

Iktikad baik yang merupakan buah keimanan tersebut harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa amal saleh, yang secara aktif merupakan tindakan kebaikan kepada sesama manusia. Lewat pengamalan shalat yang benar, khusyuk, ikhlas, dan istikamah, Allah akan menjamin umat-Nya terhindar dari perbuatan keji dan mungkar serta mampu mewarnai ketenteraman dalam kehidupan sosial masyarakat.

Lewat semangat isra dan mikraj hendaknya tertanam nilai-nilai spiritual pada pribadi kita untuk lebih tawaduk. Melalui spirit itu pula, bisa terwujud nilai-nilai spiritual shalat dalam kehidupan sehari-hari, baik kehidupan pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Terlebih Allah menuntut keseimbangan antara kesalehan individu dan kesalehan sosial guna merealisasikan sukses dunia dan akhirat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar