Kamis, 06 Juni 2013

Kebijakan BBM Setengah Hati

Kebijakan BBM Setengah Hati
Fahmy Radhi ;   Direktur Eksekutif Mubyarto Institute
REPUBLIKA, 05 Juni 2013
 
 



Hampir dua bulan ini publik disuguhi wacana pe naikan harga BBM bersubsdi yang penuh kesimpangsiuran dan ketidakpastian. Awalnya, pemerintah mewacanakan untuk menetapkan dua harga BBM dengan menaikkan harga BBM bagi kendaraan pribadi dan tidak menaikkan harga BBM bagi kendaraan umum dan sepeda motor.

Namun, setelah ada penentangan dari berbagai pihak, kebijakan dua harga dibatalkan begitu saja, padahal Pertamina sudah mengeluarkan biaya miliaran rupiah untuk persiapan penerapan kebijakan dua harga tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampak sekali bimbang dan ragu dalam memutuskan penaikan harga BBM bersubsidi.

Tidak berlebihan dikatakan kalau SBY tampak setengah hati untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sehingga menimbulkan ketidakpastian. Bahkan, beberapa kalangan meragukan keberanian SBY berani untuk menaikkan harga BBM pada tahun politik 2013 ini. Indikasi kebijakan BBM setengah hati mengemuka setelah SBY membatalkan kebijakan dua harga, mengganti dengan kebjikan satu harga, kemudian melempar `bara panas' rencana kenaikan harga BBM kepada DPR. SBY mengatakan bahwa keputusan penaikan harga BBM bersubsidi diputuskan setelah DPR menyetujui penambahan dana bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) yang diajukan melalui APBN Perubahan.

Pelibatan DPR dalam keputusan penaikan harga BBM tidak hanya menunjukkan sikap SBY yang setengah hati, tetapi juga sikap yang cenderung `lempar batu sembunyi tangan' yang justru semakin menyebabkan ketidakpastian berkepanjangan. Ketidakpastian sebagai akibat kebijakan BBM setengah hati telah menimbulkan dampak yang serius bagi memburuknya kondisi ekonomi makro dan menurunkan kesejahteraan rakyat, serta berpotensi mempercepat proses pemiskinan rakyat.

Seakan sudah menjadi kelaziman di negeri ini bahwa harga-harga kebutuhan pokok akan melambung tinggi saat pemerintah mulai menggulirkan wacana penaikan harga BBM menjelang penaikan harga BBM diputuskan. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tersebut akan semakin meningkat pascapenaikan harga BBM. Kalaupun pemerintah tidak jadi memutuskan harga BBM naik, harga-harga kebutuhan pokok yang sudah telanjur naik itu biasanya tidak akan bisa turun lagi seperti harga-harga sebelumnya.

Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sudah pasti memberikan kontribusi terhadap tekanan inflasi yang akan menggerus penghasilan bagi pendu duk berpenghasilan tetap sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Pada gilirannya, penurunan daya beli masyarakat itu akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia.

Diperkirakan, ada tambahan sekitar 1,5 persen atau bertambah sebanyak 4,5 juta orang miskin sebelum penaikan harga BBM diputuskan. Belum lagi, adanya tambahan orang miskin dari kelompok penduduk yang dikategorikan sebagai rentan miskin. Padahal, rakyat miskin dan rentan miskin belum akan mendapatkan bantuan BLSM lantaran penyaluran BLSM baru akan disalurkan pascapenaikan harga BBM.

Ketidakpastian penaikan harga BBM yang terlalu lama juga akan mendorong jebolnya kuota BBM ditetapkan dalam APBN. Salah satu pemicunya adalah penimbunan dan penyelundupan BBM secara ilegal. Tidak ayal lagi, subsidi BBM yang hampir mencapai Rp 193 triliun tidak hanya dinikmati oleh orang kaya pemilik mobil mewah, tetapi juga dinikmati oleh para penimbun dan penyelundup BBM untuk menangguk keuntungan dalam jumlah yang besar. Sementara, rakyat miskin yang tidak pernah mengonsumsi BBM lantaran tidak memiliki kendaraan bermotor, harus menanggung beban hidup akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sebelum dan sesudah penaikan BBM.

Selain berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi dan menaikkan inflasi, ketidakpastian juga memberikan kontribusi terhadap melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS. Dua bulan lalu, kurs rupiah terhadap dolar masih pada kisaran Rp 9.600, namun hari-hari ini kurs rupiah semakin melemah pada kisaran Rp 9.800 per satu dolar AS. Jebolnya kuota pemakaian BBM memaksa pemerintah untuk meningkatkan volume impor migas yang memberikan kontribusi terhadap membengkaknya defisit neraca perdagangan sehingga semakin melemahkan kurs rupiah terhadap dolar AS.

Pemerintahan SBY harus segera mengakhiri ketidakpastian yang berlarut-larut.
Sudah saatnya bagi SBY untuk tidak lagi bimbang dan ragu dalam mengambil keputusan untuk menaikkan atau tidak menaikkan harga BBM pada tahun ini.

Kalau akhirnya SBY memutuskan menaikkan harga BBM, paling tidak mulai sekarang SBY harus sudah memutuskan "kapan penaikan harga BBM dan berapa kenaikan harga BBM" secara pasti bukan lagi wacana belaka. Keputusan ini penting untuk memberikan kepastian bagi semua pihak untuk menyikapi rencana kenaikan harga BBM mulai sekarang.

Kalau pemerintahan SBY tidak segera mengambil keputusan, tidak diragukan lagi ketidakpastian ini akan berpotensi menurunkan pencapaian pertumbuhan ekonomi, menaikkan inflasi, dan melemahkan nilai tukar rupiah. Pada gilirannya, ketidakpastian ini akan menurunkan daya beli masyarakat yang memicu percepatan proses pemiskinan rakyat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar