Kakus
dan Pancasila
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 02 Juni 2013
Setiap kali saya ke ibu kota suatu negara di luar negeri,
saya usahakan untuk singgah di kediaman dubes.
Sekadar ngobrol, kangen-kangenan (biasanya dubesnya yang lebih kangen ke
tamunya daripada sebaliknya karena sang tamu biasanya membawa berita gosip dari
Tanah Air). Begitu juga di WashingtonDC. Pada kunjungan saya yang terakhir
tahun 2011 bersama Kak Seto, kami hanya mampir sejenak, ngobrol dengan Dubes
Dino Patti Jalal. Tapi di zaman Prof Dr Dorodjatun Kuntjorojakti (tetangga saya
di Kompleks UI Ciputat) pada 1999, saya sempat menginap di Wisma Indonesia,
kediaman Dubes RI, yang anggun bertengger di atas bukit (2700 Tilden Street,
NW, Washington DC) itu.
Di Wisma itu kami (saya dan Pak Sigit Edi, teman psikolog dari Indonesia)
ditempatkan di kamar tamu yang luaaas dan mewaaah. Konon itu tempatnya Pak
Harto dan Bu Tin kalau sedang menginap di Washington (wallahu a’lam bissawab). Tempat tidurnya juga selebar alaihim (artinya: gak tahulah seberapa
besarnya). Tapi yang menarik buat saya .
Toilet itu buesaaar sekali. Mungkin
lebih kecil sedikit dari lapangan futsal. Di situ ada bak mandi, pancuran,
wastafel dengan tuas-tuas berlapis emas (atau emas betulan?), dan tentu saja
toilet atau WC atau tempat (maaf) pup alias (maaf lagi) kakus.
Kakusnya ini berukuran standar saja, samalah dengan yang di rumah saya yang
mungil sehingga toiletnya juga lebih mungil lagi. Pokoknya pas buat duduk,
tarik napas, konsentrasi, fokuuusss
dan legaaa. Dan isi kakus itu, tanpa
perlu saya periksa dengan mata kepala sendiri, pasti standar jugalah, sama dengan
isi kakus di rumah saya, atau di rumah siapa saja. Bedanya hanya ukurannya
saja. Di rumah saya, seandainya selesai beribadah hajat, saya telat nyemprot wangi-
wangian, istri saya di kamar sebelah pasti sudah teriak-teriak, “Semprooot, semprooot!”
Pup dan kakus adalah hal yang tidak disukai orang. Karena itu dirahasiakan,
ditutup rapat-rapat, dan buat rumah atau istana sekelas Wisma Indonesia, ruang
“rahasia” itu dibuat seindah mungkin sehingga yang lebih tampil indahnya
ketimbang busuknya. Tapi kecuali sukusuku terbelakang yang masih pup di hutan,
manusia pada umumnya memerlukan kakus di rumahnya. Keperluannya ya untuk
menyembunyikan yang busukbusuk itu dan kalau bisa dibuat lebih indah dari bau
aslinya.
Dengan perkataan lain, yang busuk itu adalah bagian dari diri manusia juga,
yang sampai lebaran kuda pun tidak akan bisa dihilangkan. Bayangkan kalau rumah
tidak ada kakusnya, maka pup itu akan bertebaran di mana-mana: di balik lemari,
di kolong tempat tidur, atau di bawah karpet, hihihihi ... jijay, kan? Nah, bagaimana sekarang dengan masyarakat?
Sama saja. Yang namanya penyakit masyarakat adalah bagian dari masyarakat itu
sendiri. Mungkin hanya di surga saja akan kita lihat masyarakat (di surga ada
masyarakat gakya) yang bebas maksiat, bebas kejahatan, bebas seks bebas.
Karena itulah setiap negara punya penjara untuk para penjahat, panti rehab
pecandu narkoba, panti rehab tunasusila, dan lokalisasi. Semua itu bagaikan
kakus untuk menyimpan yang busuk-busuk, tetapi dibuat seindah mungkin sehingga lebih
menonjol indahnya daripada busuknya. Begitu juga di Indonesia, walaupun masih
banyak lapas yang masih jauh dari layak, spiritnya adalah terus memperbaiki
sehingga lapas pun jadi manusiawi. Namun tidak begitu halnya dengan lokalisasi.
Hampir semua kepala daerah merah padam mukanya kalau saya tanya, “Di sini
lokalisasinya di mana, ya?” (Zaman saya masih sering ceramah tentang seks, nama
lokal dari lokalisasi biasa saya sebut dalam ceramah sehingga hadirin langsung
tahu apa yang saya maksud). Hampir semua kepala daerah akan menjawab bahwa “di kabupaten ini sudah tidak ada lagi
lokalisasi” (padahal kalau tanya ke sopir yang menjemput, dia malah tahu).
Di DKI, daerah lokalisasi terbesar dan terkenal, Kramat Tunggak, oleh gubernur
bahkan sudah dijadikan masjid. Alhamdulillah
wa syukrillah. Sesuai dengan ajaran agama dan falsafah Pancasila, DKI bebas
dari maksiat. Siapa yang tidak bersyukur bahwa di lokasi yang tadinya
lokalisasi pelacuran, sekarang berdiri rumah Allah. Sangat Indonesia, sangat
Pancasila. Tapi pernahkah ditelusuri ke mana para PSK (pekerja seks komersial)
itu pergi? Mereka tidak ke panti rehab PSK, tetapi tetap beroperasi di
mana-mana, termasuk di kos atau rumah sendiri. Siapa tahu mereka ada yang
ngekos di rumah Anda? Atau jadi sahabat anak Anda di kampus?
Karena itu, dalam memperingati Hari Pancasila 1 Juni 2013 ini, marilah kita
ber-Pancasila yang realistis saja. Ibaratnya kita membangun rumah, kita
membangun bangsa ini sebagus mungkin, tetapi tanpa melupakan sampah-sampah
(atau “pup”) yang bagaimanapun akan melekat pada diri kita. Tanpa menjadikannya
emas-permata, kotoran masyarakat bisa dikemas sedemikian rupa sehingga minimal
tidak mengganggu, malahan kalau bisa kita manfaatkan untuk kemaslahatan umat.
Pup bahkan bisa diproses menjadi pupuk, bukan? Gubernur Ali Sadikin pernah
melakukannya. Maksiat dan perjudian dilokalisasi dan pajaknya dimanfaatkan
untuk membangun Jakarta. Di luar lokalisasi, Jakarta bersih dari pelacuran. PSK
bisa dibina dan dijaga kesehatannya karena terlokalisasi sehingga bisa mencegah
penularan penyakit seksual. Di Malaysia perjudian dilokalisasi di Genting Highland. Pajaknya masuk negara
dan muslim dilarang keras ikut berjudi.
Di luar lokalisasi tidak ada maksiat dan judi. Mungkin sekali ada yang tidak
setuju dengan pendapat saya. Apalagi kalau rujukannya kitab suci, “Maksiat haram! Titik!” Ya, silakan
saja. Tapi, “Pup juga haram! Titik!”
Kenapa masih ada kakus di rumah Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar