Senin, 03 Juni 2013

Kaisar Ditipu Bawahannya Sendiri

Kaisar Ditipu Bawahannya Sendiri
Mohamad Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus 
Masyarakat Bangga Produk Indonesia, 
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 03 Juni 2013

Hans Christian Andersen itu raja dongeng dunia. Di antara begitu banyak buku-buku dongeng klasiknya yang sudah menyebar ke manamana, ada satu buku terjemahan, terbitan Gramedia, dengan judul Kumpulan Dongeng Andersen, Tujuh Dongeng Terbaik Sepanjang Masa.

Di dalamnya, ada satu dongeng seorang Kaisar yang ditipu mentah-mentah oleh bawahannya sendiri. Kaisar ini tukang bersolek. Kata lainnya, tukang berdandan. Kata Andersen, semua uangnya habis dipakai untuk membeli pakaian baru. Setiap saat selalu kedapatan sedang mencoba pakaian barunya. Tiap jam berlalu hanya untuk mencocokkan pakaian baru. Bila raja-raja atau kaisar lain dikatakan sedang bersidang, kaisar yang satu ini selalu dikatakan “sedang berganti pakaian”.

Syahdan, ada dua ahli tenun yang sengaja menipu sang kaisar. Begitu ahlinya mereka menenun hingga orang bodoh dan orang yang tidak cocok dengan jabatannya tidak akan mampu melihat tenunan mereka. Jalinan benang dengan warna-warni bagus dan mencolok pun tak terlihat oleh orang bodoh maupun orang yang sebenarnya tidak cocok dengan jabatannya. Sang kaisar sangat tertarik dan menyuruh keduanya menenun. Mereka memasang alat tenun. Tapi, tidak memasang selembar pun benang.

Pada alat itu tidak ada apa pun. Tapi, dia pura-pura sibuk sekali menenun. Kaisar memanggil perdana menterinya yang sangat setia untuk turut memperhatikan hasil tenunan itu. “Dia orang pandai dan bijaksana, jadi pastilah dia bisa melihat tenunan itu,” kata kaisar di dalam hati. Perdana menteri mendatangi tempat dua penenun itu bekerja. Dia tidak melihat secuil pun hasil tenunan. Tapi, kalau dia mengatakan tidak melihat, dia takut disebut bodoh dan tak cocok dengan jabatannya.

Apa boleh buat, demi jabatan, dia harus berbohong dan mengatakan tenunan itu luar biasa indahnya. Sang kaisar mengirim menterinya untuk melihat apakah tenunan itu sudah selesai. Sang menteri juga tak bisamelihat tenunan itu. Tapi demi jabatan, dia juga berbohong dan melaporkan pada kaisar bahwa tenunan itu betul-betul sangat indah. Begitulah mentalitas para penjilat dan penipu yang ada di istana. Mereka tahu atasannya salah, tapi kesalahan itu tidak mereka tunjukkan.

Sebaliknya, atasannya justru dijerumuskan. Pada suatu hari tenunan yang tidak ada itu dipakai oleh sang kaisar untuk dipamerkan di seluruh kota. Artinya, saat itu sebenarnya sang kaisar telanjang bulat. Tapi, para penjilat mengagumi corak dan warnawarni pakaian yang tidak ada itu.

Hanya ada satu anak kecil yang berani mengatakan keadaan sebenarnya bahwa kaisar telanjang. Anak ini tak punya kepentingan politik, tak harus mempertahankan jabatan dan tak ada agenda apa pun. Lain sekali bila dibanding dengan para bawahan sang kaisar yang setiap hari di istana, menjilat, dan menjilat baginda demi jabatan.

Manusia mulia karena kesukaannya, tapi manusia jatuh dan menjadi nista juga karena kesukaannya. Kita ingat Pak Harto. Beliau suka dengan jabatannya. Kesukaannya membuatnya tidak waskita lagi. Beliau tak waspada dan tak menaruh rasa curiga ketika para bawahannya melapor bahwa seluruh rakyat masih mendambakan kepemimpinan Bapak. “Jadi, mohon Bapak berkenan maju terus karena itu panggilan hati rakyat,” kata anak buah yang menjilat dan menipu.

Pak Harto maju. Tapi, ketika akhirnya gelombang tuntutan rakyat yang tak menyukainya memprotes agar beliau mundur, semua orang dekat beliau—para tokoh yang setiap saat mengelilingi dan meyakinkan bahwa tindakan beliau serbamulia— semua lari terbirit-birit meninggalkan beliau seorang diri. Di antara anak buah yang berkhianat itu ada beberapa orang yang turut mengutuk beliau di media.

Sikap dan suara mereka dicocokkan dengan semangat zaman yang sedang dipenuhi kemarahan dan kehendak untuk bebas. Ketika ditanya media, mereka semua mencela Pak Harto, sambil sibuk mencuci tangan agar tak dikait-kaitkan dengan Pak Harto. Tak mengherankan jika ada anak buah yang terus berkuasa karena dia kelihatan reformis. Ada yang tetap menjadi pejabat tinggi. Ada bahkan yang menggantikan posisi beliau dengan semangat yang muncul mendadak, yang dulu tak pernah dipunyainya.

Saking semangatnya, Timor Timur dilepas agar dia kelihatan demokratis dan cinta pada perdamaian. Anak buah Pak Harto yang lain, yang tak muncul lagi di panggung, lenyap, bagai ditelan bumi. Tapi, jelas bagi siapa pun, mereka mencari selamat sendiri-sendiri. Dalam upaya mencari selamat itu mereka pun membenci Pak Harto. Apalagi kalau bicara dengan media. Hanya ada sedikit tokoh yang punya kesetiaan dan loyalitas pada beliau sebagai atasan, sebagai sahabat, dan sebagai teman.

Tokoh itu disebut Pak Dhar. Maksudnya Pak Sudharmono. Juga Mas Saadilah Mursid. Mereka ini manusia sejati. Mereka ikut bertanggung jawab atas kesalahan politik Pak Harto. Mereka tidak takut dikutuk masyarakat. Mereka tak peduli. Di mata kedua tokoh ini, Pak Harto itu pemimpin terhormat. Mereka itu “a friend in need, is a friend indeed”. Hanya manusia sejati macam Pak Dhar dan Mas Saadilah ini yang dalam keadaan bahaya pun tetap punya sikap, tetap punya pendirian, tak peduli sikap dan pendirian berseberangan dengan arus kemarahan zaman.

Bapak Presiden yang mulia sedang dikritik, dimarahi, dan bahkan dicemooh, sekaligus diejek publik di dalam maupun di luar negeri. Kritik, kemarahan, bahkan cemooh dan ejekan itu tulen, tulus, tak dibuat-buat, demi kebenaran.

Dengan begitu, suara mereka itu suara “kasih sayang” politik, yang keluar dari warga negara yang bertanggung jawab karena mereka tak ingin pada suatu hari beliau merasa malu, dan menyesal, tapi keadaan sudah telanjur rusak dan tak mungkin lagi diperbaiki. Ada bocah di istana yang dengan gagah mengatakan kritik publik sebagai gambaran sikap dan pemikiran picik warga negara kepada presidennya.

Mari kita perhatikan, apakah dia—dan para punggawa istana yang pura-pura setia itu— betul-betul punya hati dan rasa setia pada beliau. Kelak, kalau ada sesuatu yang membuat beliau dicemooh, siapkah dia mendampingi beliau? Janganjangan dia ngacir seperti tikus ketika hutan terbakar? Ada dongeng kaisar ditipu anak buahnya sendiri.

Ada Pak Harto, dikhianati orang kiri-kanannya yang mencari selamat. Yang Mulia Bapak Presiden, tak menakutkankah fenomena seperti ini?***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar