Sabtu, 01 Juni 2013

Belajar Memahami Substansi

Belajar Memahami Substansi 
(Catatan Kecil untuk Prof Marwan Mas)
  Akbar Faizal; Mantan Anggota DPR 
dan Ketua Bid. Politik Pemerintahan 
DPP Partai Nasdem/ Korwil Sulawesi
Harian Fajar 2013
 
 
 
 
Tulisan ini menanggapi tulisan Prof Marwan Mas di Fajar, Senin 18 Maret 2013 berjudul “Politisi Kutu Loncat”. Saya harus menanggapi tulisan penulis ini yang setahu saya jernih jika memilih topik kasus hukum diberbagai media lokal dan nasional namun menggelikan ketika memilih topik politik seperti yang terbaca pada tulisannya kali ini. Pemilihan judul ‘Kutu Loncat’ oleh penulis juga mengagetkan sebab bahkan penyebutan ini juga dipakai oleh mereka yang sama sekali tidak memahami politik selain mendengarnya di warung-warung kopi.

Bagi mayoritas politisi muda yang menjadi bagian dari kelompok anak muda yg merasakan keguncangan identitas politik baik secara personal maupun secara komunal selama dan pasca rezim represif Orde Baru dan hari ini meniti karir sebagai politisi di berbagai kekuatan partai politik, proses pencarian makna demokrasi sekaligus mencoba menawarkan warna yang dirasa paling cocok untuk demokrasi kita terus dilakukan. Saya bersama beberapa politisi muda di parlemen berjuang menggolkan berbagai agenda yang kami yakini dibutuhkan bangsa ini agar kualitas demokrasinya semakin matang di masa depan. Misal, memperjuangkan agar fenomena rezim keluarga diberbagai level birokrasi dan perpolitikan kita diakhiri pada pembahasan RUU Pemilukada dengan argumentasi yang seringkali menghasilkan anggapan bahwa kami penganut mazhab sosialis dan seterusnya. Kami tak peduli sebab ancaman feodalisme gaya baru ini sungguh-sungguh mengancam demokrasi kita.

Bagaimana menjelaskan kenyataan Bupati Bangkalan menyerahkan jabatan kepada anaknya yang masih berusia 26 tahun namun terpilih sebagai bupati pengganti ayahnya karena tak lagi boleh mencalonkan diri sebab telah dua periode menjabat bupati. Anak kecil yang bupati ini bahkan masih berkeringat dingin jika berdiri dihadapan banyak orang. Demikian halnya gubernur Sulawesi Utara yang melantik anaknya sendiri sebagai wakil bupati Minahasa. Atau bupati Bantul dan Pasuruan yang ‘menyerahkan’ jabatan kepada masing-masing istri setelah tak lagi boleh menjadi bupati sesuai peraturan perundangan. Dan kasus seperti ini terjadi diberbagai belahan nusantara lainnya. Namun semua terbentur tembok tirani mayoritas fraksi di parlemen Senayan terutama kepada fraksi yang kadernya banyak menjadi bupati atau gubernur dan memungkinkan bagi partai mereka melanggengkan kekuasaan pada wilayah tersebut, tak peduli betapa serius kerusakan yang ditimbulkannya dengan perilaku seperti ini. Dan, saya sebagai pengusul dengan fraksi paling kecil dan minus kader yang menjabat bupati/gubernur harus menerima realitas meski berbagai teori dan argumentasi sesuai texbook telah diutarakan. Sebab, sebenarnya --dan saya yakin Prof Marwan Mas tidak memahaminya karena tak pernah duduk di DPR dan atau duduk berhari-hari di ruang sidang memperdebatkan berbagai pasal dan ayat terkecuali mungkin diundang sebagai narasumber untuk satu atau dua pasal yang sedang dibahas— kadang berbagai argumentasi tadi formalitas semata sebab keputusan telah diambil oleh masing-masing fraksi jauh sebelum pembahasan RUU yang dibahas tersebut: Diterima atau ditolak.

Dan, otoritas pengambil keputusan diterima atau tidak tersebut seringkali oleh ketua umumnya atau beberapa elitnya saja yang kadang disesuaikan dengan kepentingan sang elit. Identifikasi fenomena seperti ini dengan jelas terbaca pada partai politik yang menyerahkan masa depan parpol tersebut kepada ketokohan sang ketua umum dan atau kekuatan modal sang pimpinan puncak. Ada bahkan sebuah parpol di Indonesia yang tak pernah menyelenggarakan rapat-rapat resmi sebagaimana layaknya sebuah parpol semisal Musda, Muswil atau Munas atau Kongres dengan alasan menjaga ‘kekompakan dan menghindari perpecahan’ internal. AD/ART dicetak dengan cantik dan selanjutnya disimpan di laci meja. Dan, Prof Marwan Mas, Anda bisa membayangkan kini betapa menderita seorang kader potensil dengan mimpi-mimpi besar mengawal demokrasi namun menghadapi realitas eksternal dan internal parpol seperti yang saya gambarkan diatas tadi. Dan kemudian saya masuk ke problem utama partai politik di Negara-negara dunia ketiga khususnya di Indonesia.

Enam problem utama parpol di Indonesia saat ini yakni; Pertama, Rekrutmen yang amburadul dan mengenaskan terutama untuk distribusi jabatan-jabatan publik. Tak peduli lagi soal kualitas, yang penting menang dan pda titik ini uang yang berbicara. Politik kekerabatan juga sangat kental. Biasanya ada upaya menyerahkan kepemimpinan parpol kepada putra/putri mahkota dan menutup peluang rotasi elit secara wajar di parpol tersebut. Kedua, kaderisasi yang menyedihkan pada semua parpol. Seringkali kaderisasi yang dimaksud adalah mengumpulkan kader di sebuah gedung besar dan diajarkan yel-yel dengan tangan mengepal plus mars partai dengan menggebu untuk sekali kegiatan sejenis dalam lima tahun terutama menjelang penjaringan bakal calon legislatif. Tak mengherankan jika kualitas anggota DPR/DPRD parpol pada semua tingkatan demikian menyedihkan. Ketiga, Pengelolaan partai yang dikelola sesuai selera ketua umumnya yang sangat memahami bahwa usia dan eksistensi parpolnya bergantung sepenuhnya pada ketokohan plus kekuatan finansial yang dimilikinya. Kader atau pengurus yang suka protes dan argumentatif person akan bernasib menyedihkan. Misal, terlempar dari peluang mendapatkan posisi yang memang layak didapatkannya. Atau bahkan “dikriminalisasi” secara internal yang membuatnya tak nyaman lalu memilih hengkang atau tetap disitu hingga bintang meredup atau diredupkan dengan paksa. Seringkali positioning ketua umum yang demikian super power ini sebagai efek dari proses jual beli suara dalam kongres. Jika dibuat dalam bahasa sederhana; Ente sudah ane beli dalam kongres maka jangan banyak bacot.

Keempat, pengelolaan keuangan parpol yang sangat tertutup meski UU Parpol telah memerintahkan untuk seuah audit. Faktor utamanya adalah denyut nadi parpol tersebut ditentukan oleh dompet sang ketua umum. Bendahara semata diperlakukan sebagai juru bayar. Kelima, pengelolaan konflik internal parpol yang selalu menimbulkan huru-hara internal terutama sebelum lembaga mahkamah partai kami hadirkan dalam UU Parpol. Dan, Keenam, pemberdayaan kader parpol pada berbagai peran dan jabatan terkhusus lagi jabatan yang berhubungan dengan publik. Anda pasti sering mendengar kisah-kisah lucu tentang bupati yang gagap menjalankan tugasnya karena ketakmampuan personal. Atau anggota DPR/DPRD yang tak mampu membedakan kata ‘Interupsi’ dan ‘Instruksi’. Ada kawan saya anggota DPR-RI yang pada tahun pertamanya di Senayan tak mampu membaca tabulasi angka pergerakan inflasi harga-harga kebutuhan pokok masyarakat. (Sebenarnya saya pernah menulis tentang ini di media yang sama).

Maka menjadi relevan jika masyarakat bahkan kesulitan menyebut 25 nama saja anggota DPR-RI di Senayan sana dari 560 orang anggota DPR-RI. Saya yakin bahkan mayoritas masyarakat Sulsel kesulitan menyebutkan banyak nama anggota DPR-RI yang berjumlah 24 orang sebagai wakil mereka di Senayan. Mengapa demikian? Disinilah persoalannya dan membutuhkan kearifan dalam memahami substansi.

Bagi mereka yang berpindah karena mencari pekerjaan dan jabatan tanpa pernah menunjukkan kinerja yang terukur baik sebagai kader parpol atau sebagai anggota DPR/DPRD, tulisan Prof Marwan bisa diperbincangkan. Namun saya sebenarnya tidak terlalu memahami jika analisis seorang penulis hebat seperti Anda kehilangan kekuatan identifikasi akan mana yang mencari pekerjaan dan mana yang memperjuangkan substansi. Saya ingin mencontohkan diri saya. Seingatku, hanya pada kasus Century sebagai inisiator pembentukan Pansus Century dalam kelompok Tim 9 (karena parpol besar punya agenda besar menjadi bagian dari pemerintahan meski bukan pendukung utama Presiden SBY pada pilpres 2009 lalu dan berhasil melalui Koalisi Setgab), dan pertarungan menggolkan UU Pemilu No.8 Tahun 2012 itu (karena parpol-parpol kecil terancam eksistensinya) saya bisa memenangkan pertarungan di Senayan sana. Yang lainnya, seperti menabrak tembok tirani mayoritas tadi.

Maka kemudian saya harus memilih untuk mundur selangkah –dengan berbagai risiko seperti mundur dari DPR dan meninggalkan zona nyaman meski cicilan rumah dan mobil belum lunas-- untuk datang dengan kekuatan yang lebih besar demi melakukan perubahan yang signifikan. Bertahun-tahun saya menjaga kredibilitas saya dihadapan konstitusi dan rakyat untuk menunjukkan komitmen saya kepada rakyat. Berbagai penghargaan seperti Guard of Promise (Penjaga Komitmen) dari RM Online atau Politisi Paling Berpengaruh Tahun 2012 dari Charta Politika adalah pelecut bagiku untuk menjaga ke-BUGIS-an saya di belantara politik nasional yang telah menjebloskan demikian banyak politisi Sulsel ke bui. Terobosan saya membuat laporan pertanggungjawaban kinerja setiap tahun sebagai anggota DPR menjadi benchmark bagi beberapa anggota DPR sekarang meski dengan susah payah karena demikian minim kinerja yang harus mereka pertanggungjawabkan.

Pada akhirnya, sebagai bahan diskusi di ruang publik, saya menggugah kaum intelektual ikut melakukan pendidikan politik yang elegan kepada masyarakat sebab tampaknya mereka masih kesulitan menemukan format akan figur seperti apa yang perlu mereka pilih –terutama pada Pemilu 2014 mendatang-- untuk memperjuangkan kepentingan mereka terlebih lagi di DPR-RI, tempat berbagai UU yang mengatur negara ini dibuat. Sangatlah naïf jika mandat diterjemahkan semata soal durasi waktu yang lima tahun itu namun substansi utamanya yakni memperjuangkan hak-hak rakyat pada berbagai ruang kehidupan sosial dan politik mereka diabaikan. Saya telah menunjukkan bagaimana seorang Bugis bertarung diranah politik. Namun realitas memaksa saya mundur selangkah untuk maju sepuluh langkah. Baju saya boleh berwarna apa saja namun ibu kandung saya bernama Konstitusi dan kearifan lokal sebagai orang Bugis menjadi penuntun saya selama ini. Betapa bangga saya sebagai orang Bugis di pentas politik nasional hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar