Sabtu, 28 September 2013

Vickinisasi dan Kebohongan Publik


Vickinisasi dan Kebohongan Publik
Damang Averroes Al-Khawarizmi  ;   Peneliti Republik Institute 
& Co-Owner negarahukum.com
Tribun Timur Makassar, 28 September 2013





BERAKHIR sudah petualangan Vicky Prasetyo Alias Hendriyanto bin Hermanto, Mantan tunangan Zaskia Gotik, Ia ditangkap oleh tim Kejaksaan Negeri Cikarang di Hotel Santika, TMII, Jakarta Timur, Jumat (6/9/2013) sore, karena telah buron selama delapan bulan. Vicky ditangkap karena kasus pemalsuan surat tanah seluas 2.954 m2 dengan nominal Rp 1 miliar dan merugikan ahli waris Nyoih Binti Entong. 

Vicky dinyatakan bersalah atas Pasal 362 Ayat 2 KUHP tentang pemalsuan surat tanah, Vikcy dikenakan hukuman 1,5 tahun penjara. Meski sudah tiga kali dipanggil Kejari Cikarang untuk menjalani hukuman, Vicky mangkir dan ditetapkan sebagai buronan sejak 11 Januari 2013. 

Uniknya kasus Vicky ini, dan menjadi tanda tanya besar, mengapa pihak kejaksaan baru sekarang menangkap Vicky? Apakah Vicky sulit dilacak keberadaannya? Saya kira tidak, logikanya bagaimana mungkin kejaksaan kehilangan jejak atas Vicky? Padahal tiap hari, berita editorial, hingga berita gosip memunculkan namanya sebagai calon tunangan Zaskia Gotik. Ataukah kejaksaan ingin cari nama, dengan terlebih dahulu mengabaikan kasus itu, sembari menunggu nama Vicky tersedot media, tinggal tunggu momentnya oknum kejaksaan turut kecimprat, numpang tenar namanya, gara-gara ketenaran Vicky, yang diperoleh begitu mendadak.

Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis secara yuridis kasus Vicky, hanya akan dititikberatkan pada telaah filsufis, sehingga pola bahasa Vicky, mampu menerobos, melintasi zaman, segala lini, hingga menguasai seluruh aspek kehidupan.

Gejala Vickinisasi
Ketika Vicky masih memiliki ketenaran, apalagi dikabarkan akan menikahi pedangdut Zaskia Gotik, pelantun lagu “satu jam saja”itu. Media, panggung, dan jagat hiburan semua pada mengelu-elukannya. Vicky ibarat memiliki seribu ayah. Sebuah logika terbalik, ketika Vicky terungkap “selubung” kejahatannya, berada dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), terlibat dalam pemalsuan surat tanah yang merugikan seorang ahli waris, ditambah sederet pelantun lagu dangdut “jalanan” yang tertipu dengan “rayuan maut”-nya. Vicky akhirnya dihujat, dicerca, dicaci maki oleh publik. Puncaknya Zaskiapun akirnya memutuskan pertunangannya dengan Vicky secara sepihak. Vicky kini telah menjadi “yatim piatu”. 

Beruntung saja Ibunda Vicky (Emma Fauziah) masih membela mati-matian, kalau anaknya, tidak bersalah, tidak bodoh. Namun lagi-lagi media telah memainkan “karakter ganda” buat sang ibu Vicky, semakin dia membela anaknya, semakin ia ditertawai oleh jutaan pemirsa di layar televisi. Kalau ibunda Vicky (maaf) hanya mempertegas dirinya, pun sama bodoh dengan anaknya.

Namun sebuah lompatan besar telah dilakukan oleh Vicky, kita semua tidak dapat menisbatkan, kalau bahasa yang digunakan oleh Vicky selama ini, melalui jejaring media, bahasa yang digunakannya telah mengubah ruang-ruang kecil keluarga, bahasa Vicky telah menusuk hingga ke ruang domestik rumah tangga. Dari kalangan ibu-ibu, anak-anak, tidak ada yang tidak tahu, meniru gaya bahasa Vicky yang sering dikacaubalaukan dengan bahasa asing, tidak jelas tata bahasanya.

Bahkan saat Vicky tertangkap oleh kejaksaan, bahasa Vicky yang dulunya hanya dikenal oleh segelinir orang, gara-gara kasus hukum yang menyeretnya, seorang yang jarang menonton gosip (berita artis), akhirnya mengenal sosok Vicky. Di jejaring situs facebook, twitter, hari tertangkapnya Vicky, semua orang tiba-tiba, berseloroh menulis status dengan menggunakan kata “konspirasi”. Semua orang pada demam Vicky, inilah Vickinisasi.

Sudah ditahu salah istilah “konspirasi kemakmuran”, salah tetapi tetap banyak orang yang mengulang-ulangnya. Padahal, bagaimana mungkin terwujud kemakmuran, sementara disisi lain malah terjadi konspirasi ? Apalagi menguaknya kritik para ahli bahasa. Toh, tidak jua dapat membendung bahasa Vickinisasi di semua kalangan, tidak pandang Profesor, tidak pandang sarjana, tidak pandang buruh, pedagang asongan, tua-muda, tidak peduli kalau bahasa yang digunakan oleh Vicky adalah bahasa yang kacau balau dan tidak jelas maknanya. 

Tak ayal bahasa Vicky seperti; konspirasi kemakmuran, kontroversi hati, kudeta cinta, labil ekonomi, harmonisasi, statusisasi, akhirnya mendapat porsi di kalangan anak muda sebagaimana ngetrend-nya bahasa alay: ciyus, miapa, dan lain-lain.

Bahasa Kebohongan
Bahasa, sejatinya menunjukan sebagai alat komunikasi (Habermas, 2001), untuk bertindak, untuk berperilaku, untuk mematuhi norma, maka apa gunanya menggunakan bahasa kalau lawan bicara saja tidak mengerti?

Dalam konteks ini, yang lebih diutamakan oleh Vicky bukan mengertinya lawan bicara, tetapi bahasa yang dia gunakan dengan sesekali menyelipkan bahasa asing, bukan pada makna substantif bahasanya, tetapi citra artificial yang ingin dibangun, bahwa dirinya orang intelek, namun faktanya hanya seolah-oleh (as if) intelek.

Tampilan perfeksionis yang seolah-oleh intelek itulah, menjadi komoditi, barang dagangan, agar Vicky mampu memampatkan waktu untuk mendulang popularitas, karena popularitas memang tidak perlu dibangun dalam kerangka dan konsep yang tunggal, tetapi bermain dalam relasi ”oposisi biner” (baik-buruk, salah-benar, jujur-munafik), dua sisi yang dapat menjadi alat mensimulasi kebohongan. Semakin hari dengan guncangan media, persepsi publik atas kuasa media menimbulkan bahasa vickinisasi seolah-oleh berada dipuncak kebenaran dan mendapat kepercayaan.

Bahasa tidak lagi melalui proses pendalaman, tidak lagi melalui konsensus, tidak lagi meluluh sebagai objek telaah antropologi budaya. Media menjadi “remote control” menyebarkan bahasa ke segala lintas zaman.

Kebohongan bahasa yang tidak jelas substansinya ini perlu diparodi, dibongkar, direvaluasi, kalau bahasa bukan hanya sekedar permainan ala wetgenstein (language game). Jangan sisakan ruang, batas waktu atas bahasa untuk berhenti menafsirkannnya, karena boleh jadi bahasa yang dianggap benar ternyata dilanggengkan oleh kekuasaan, oleh sebuah ideologi yang tidak pernah objektif. 

Saatnya mendengungkan kembali argumen (Derrida, 1997), untuk menolak anggapan kaum realis, yang menyatakan bahasa menunjukan realitas yang sebenarnya, sehingga bahasa dapat menyingkap kebenaran yang pasti. 

Gejala Vickynisasi yang telah menyebarkan “virusnya” kemana-mana mesti dibongkar, didekonstruksi melalui proses hermeneutic, untuk menyetop simpton vicikinisasi, agar tak lagi menyebarkan kebohongan publik yang berkepanjangan. (.*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar